Peristiwa Deddy Corbuzier pindah agama dari Katolik ke Islam sedang ramai diperbincangkan dan bagaimana saya, sebagai seorang katolik–yang kebetulan–belajar agama ini sejak kecil melihat hal ini? Sebelum kita bicara macam-macam, pertama-tama saya mau bikin pengakuan bahwa saya baru mencari tahu informasi tentang peristiwa Deddy Corbuzier jadi mualaf ini belakangan saja. Tentu saja, hal ini sebenarnya menunjukkan betapa saya kurang update dengan gosip selebritis tanah air. Tetapi yang lebih penting, saya menganggap peristiwa seperti ini tidak ada gunanya untuk di-kepo-in.
Lah, kenapa bikin tulisan ini? Saya nggak ingin menilai mualafnya Deddy Corbuzier dari perspektif ajaran Kristiani. Saya juga nggak ingin berspekulasi tentang sebab dan akibat peristiwa yang sedang hangat di jagad digital ini. Saya cuma mau menulis pendapat pribadi saya tentang agama dan cara beragama orang Indonesia. Peristiwa mualafnya Deddy Corbuzier hanyalah pintu masuk untuk sampai pada maksud saya itu.
Agama Bagaikan Jalan
Saya akan memenuhi tulisan ini dengan analogi. Jadi semoga pembaca tidak menelan mentah-mentah apa yang saya katakan. Namanya juga umpama, tentu maknanya tidak sama persis dengan halnya sendiri. Tapi paling nggak, analogi itu bisa mempermudah suatu persoalan untuk kita pahami.
Kalau ditanya apa arti agama buat saya, saya masih setuju dengan kiasan lawas: agama bagaikan jalan. Tujuan hidup manusia adalah Tuhan. Namun untuk mencapainya, tersedia banyak jalan. Agama kurang lebih seperti itu, beragam. Kendati demikian, semua agama itu akan membawa kita kepada Sang Khalik.
Pindah agama menurut saya seperti memilih jalur lain untuk mencapai Tuhan. Saya coba jelaskan begini. Bila kita sedang ada di Jawa Tengah dan ingin pergi ke Jakarta, kita punya banyak pilihan rute yang bisa ditempuh. Kita bisa memakai jalur Pantura, jalur selatan, atau jalur lainnya. Sebagian besar dari kita memang sudah sejak lahir ada di jalur tertentu karena dipilihkan oleh orang tua. Namun ketika kita sendiri menyusuri jalur itu, kita mengalami pelbagai macam hal. Ada pula orang yang suka berpetualang, mencoba semua jalur yang ada. Lainnya mencoba untuk mencari tahu kian kemari, belajar dari sesama pengguna jalan. Intinya satu: mencari tahu manakah jalur yang paling cocok buat saya?
Setelah proses pencarian itu, sebagian orang menjadi mantap kalau jalur pilihannya memang tepat untuknya. Tapi sebagian lainnya meyakini bahwa jalur yang ditempuhnya tidak lagi sesuai dengan dirinya. Ketika sudah cukup yakin, ia pun memutuskan untuk memilih jalur lain yang lebih pas baginya. Tentu saja keluarga, sahabat, teman-teman yang masih menempuh jalur yang ia tinggalkan sangat mungkin merasa kecewa dan kehilangan. Tetapi, itu adalah pilihan dan keyakinannya yang harus dihormati. Toh akhirnya tujuannya sama, kenapa sih harus risau dan galau? Nantinya kita juga bakal ketemu, kan?!
Sebagai seorang Katolik, begitulah saya memandang saudara-saudari yang dulunya Katolik yang memilih mualaf, termasuk Deddy Corbuzier. Saya justru ikut bersyukur karena ia sudah memilih jalan yang menurutnya tepat. Saya sendiri hanya bisa mendoakan semoga ia menjadi orang yang lebih baik dengan jalan baru yang dipilihnya. Saya juga berdoa supaya ia dapat mengatasi tantangan yang mungkin ia hadapi dalam hidup barunya. Sebab bisa dibayangkan, semua itu tentu tidak ringan baginya.
Cara Beragama Kita Jangan Ugal-Ugalan
Menurut saya, masalah satu-satunya dari peristiwa yang sebenarnya biasa saja ini adalah publikasi dan sorotan yang berlebihan dari kita. Betul bahwa Deddy Corbuzier adalah pesohor di negeri kita. Tetapi soal pindah agama semestinya menjadi urusan pribadinya saja. Urusan keagamaan seseorang tidak perlu lah di-kepo-in sampai segitunya. Bukankah agama adalah jalan pada Tuhan? Kalau begitu biarlah agama menjadi domain antara saya dan Tuhan.
Loh, agama kan juga punya aspek sosial? Betul. Orang lain adalah sesama pemakai jalan yang sama-sama ingin menuju Tuhan. Maka masuk akal kalau sebagai sesama peziarah yang mau sampai pada Tuhan tidak dibenarkan saling sikut, jegal, apalagi bunuh. Kalau itu yang terjadi, jelas ada yang salah dengan cara beragama kita. Wong tujuannya Tuhan yang baik, mana mungkin caranya jahat? Sekali lagi, agamanya sih nggak salah, melainkan manusianya yang salah dalam beragama.
Maka, berlebihan menyoroti persoalan keagamaan orang lain, apalagi secara negatif, menurut saya bagaikan orang yang sedang menyetir tetapi perhatiannya tidak tertuju pada jalan di hadapannya. Ia justru sibuk memperhatikan spion atau melongok ke sesuatu yang lebih menarik atensinya. Hati-hati, cara menyetir (baca: beragama) seperti itu bisa membikin Anda dan orang lain celaka. Atau, setidak-tidaknya nyasar dan nggak sampai ke tujuan!