Baru-baru ini, Brunei Darussalam memberlakukan hukum rajam untuk pelaku kasus perzinahan dan hubungan seks homoseksual, yang berimbas pada pengecaman oleh banyak negara dan Lembaga perdamaian, dengan alasan melanggar HAM. Tetapi tidak sedikit pula warganet yang kagum dengan tegaknya hukum syariah di negri petro dolar ini. Tapi bagaimanakah sebenarnya pemberlakuan rajam dalam Islam?
Dalam hukum Islam, rajam adalah salah satu bentuk praktek hudud (jamak) atau hadd (tunggal). Hudud secara harfiah berarti juga batas atau pencegahan. Rajam adalah praktek hukuman untuk pelaku zina yang sudah atau sudah pernah menikah dengan cara dikubur separuh badan di tanah dan ditimpuk batu hingga meninggal.
Untuk menjatuhkan hukum rajam diwajibkan membawa empat saksi yang masing-masing dari saksi bisa memastikan terdakwa benar-benar berzina. Dalam sebuah riwayat diumpamakan, seperti melihat masuknya ember ke dalam sumur atau batang celak masuk ke wadah celak mata.
Barangsiapa yang menyatakan seseorang telah berzina tanpa membawa empat saksi, atau saksi yang dibawa tidak bisa memastikan bahwa perzinahan telah terjadi, maka si penuduh kena hadd cambuk 40 kali atas dasar penuduhan tanpa bukti (qadzaf). Jadi untuk membuktikan bahwa seseorang layak mendapatkan hukuman rajam ini bukan main-main. Untuk mempraktekkannya hampir tidak mungkin, sulit sekali memergoki orang berzina dengan syarat yang disebutkan.
Lalu, bagaimanakah awal mula implementasi hukum rajam pada zaman Rasulullah?
Adapun pidana rajam yang pernah dilakukan nabi ada tiga kali. Pertama, ada seorang lelaki yang memerkosa seorang perempuan. Sedangkan korban perempuan tidak dihukum. Kedua, seorang lelaki yang mengaku berzina kepada Rasulullah, namun disuruh pulang dan bertaubat. Anehnya, laki-laki tersebut malah datang lagi sampai empat kali dan minta dihukum. Rasulullah SAW pun memastikan dia dalam keadaan sadar alias tidak mabuk.
Ketika akan dihukum, laki-laki itu melarikan diri walaupun akhirnya tertangkap. Setelah Nabi SAW mengetahui peristiwa itu, Rasul SAW bersabda, “Kenapa kalian tidak biarkan saja dia kabur, mungkin dia akan bertaubat”.
Ketiga, seorang perempuan yang melaporkan diri telah berzina tapi disuruh pulang juga oleh Rasul SAW dengan alasan mungkin dia tidak benar-benar berzina. Perempuan itu kemudian datang lagi dalam keadaan hamil dan Nabi menyuruh dia pulang merawat janin di perutnya.
Setelah melahirkan, perempuan tersebut datang lagi, namun Nabi menyarankannya agar menyusui bayinya terlebih dahulu selama 2 tahun. Setelah anaknya sudah disapih, perempuan itu datang kembali kepada Rasul SAW. Ia menunjukkan bahwa anaknya sudah bisa memakan makanan padat. Barulah setelah itu, jatuh hukuman rajam untuk perempuan itu.
Pidana rajam juga terjadi masing-masing sekali di masa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Ali, yang semuanya berdasarkan pengakuan.
Mungkin kita juga bertanya-tanya, mengapa Nabi suka menunda dan tidak tegas dalam menghukum rajam pelaku zina, apakah karena rajam itu bukan hukuman mutlak untuk diberlakukan? atau karena esensi hudud sendiri adalah pencegahan?
Ketika Nabi memerintahkan pulang dan bertaubat bagi orang yang mengakuinya secara langsung kepada Nabi, apakah taubat lebih utama daripada menegakkan hukum rajam? Padahal untuk hadd potong tangan bagi pencuri, Nabi sangat tegas sehingga pernah menyatakan jikalau Fatimah mencuri pun, beliau akan memotong tangannya.
Dalam hukum fikih, mayoritas ulama sepakat bahwa pemerintah setempat boleh menentukan bentuk hukuman pidana yang lebih sesuai untuk negaranya. Kita sebagai orang Indonesia mungkin lebih familiar dengan hukuman penjara dari pada rajam.
Atas beberapa kejadian di atas, bisa kita simpulkan bahwa selama Rasul hidup, tidak ada satu kasus pun terkait rajam yang dibuktikan melalui kesaksian empat orang. Semua kasus rajam yang terjadi merupakan pengakuan dari pelakunya sendiri.
Ini juga membuktikan bahwa syarat hukuman zina yang berbentuk rajam, sangat sulit terjadi, bahkan hampir tidak mungkin. Empat saksi yang mengetahui masuknya penis ke dalam vagina pun tidak pernah terjadi. Jika ada yang “menyaksikan” atau bahkan mencari celah untuk bisa menyaksikan orang yang berzina, bukankah itu berbenturan dengan keharusan menjaga pandangan dari aurat seseorang yang bukan hak mata kita?
Wallahu a’lam bis shawab