Jika bukan karena komentar dan pernyataan kurang patut dan terkesan melecehkan pribadi atau keterbatasan fisik Bu Sinta Nuriyah di dinding-dinding facebook dan pagar-pagar twitter sejumlah akun, mungkin saya tak akan tergesa-gesa menulis sepagi ini. Soal penolakan FPI atas acara bukber yang digagas beliau bukanlah perkara serius. Mereka tak setuju hal biasa. Saya kira publik sudah mengerti ini. Tapi, soal pelecehan dan kebencian, itu perkara serius dan “tidak biasa”.
Orang mungkin bakal menilai pandangan saya ini subyektif. Saya kan “orang” Wahid Foundation, organisasi yang didirikan almarhum Gus Dur. Wajar dong ingin membela pimpinan atau keluarga pendiri organisasi tempat bekerja. Tapi di sinilah masalahnya.
Pernyataan yang dilontarkan Bu Sinta di media, justru tak ingin perkara ini dibesar-besarkan. Beliau ingin pendukungnya tenang dan tak terpancing. Ini teknik mendinginkan suasana. Bahkan, dalam situasi “genting” itulah beliau justru sedang mendidik publik.
Kepada media, Bu Sinta bilang. “Kemarin tidak ada penolakan apapun. Saya tetap berpidato dan ceramah di gereja yang bagus. Yang kedua buka di balai desa. Dan mereka (FPI), ketika saya keluar dari gereja saya buka kaca mobil melambaikan tangan mereka juga, cium tangan, Ya sudah. Mereka sedang merindukan kasih sayang seorang ibu, itu saja, tidak ada apa-apa,” katanya seperti dikutip salah satu media online. Padahal berita yang lain menolak acara tersebut, sampai protes ke polisi segala.
Bagi saya inilah pendidikan itu. Saya seperti sedang membaca beberapa bagian dalam Ta’lim Muta’allim (Pembelajaran Kaum Pembelajar), karya yang tentu saja beliau hayati. Jika tak berlebihan, beliau sedang menjalankan pelajaran di bab sembilan tentang kasih sayang (syafaqat) dan nasihat.
Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, pengarang kitab ini, menjelaskan bahwa para pemilik ilmu atau yang tengah mencari ilmu sebaiknya memiliki tiga akhlak ini: kasih sayang (syafaqah), menghindari pertikaian dan memusuhi orang lain, serta berpikir positif (husnuzhan).
“Hendaklah orang alim tak bertikai dan memusuhi orang lain, sebab hanya menghabiskan umur (yudhayyi’u awqatihi),” kata Syaikh Az-Zarnuji. Beliau juga mengutip nasihat-nasihat itu dalam balutan syair yang menggetarkan ini:
Idzâ syi’ta an-talqâ ‘aduwwaka râghiman//
Wataqtuluhu ghamman wa tahriqahu hamman//
Farum li al-`ulâ wajdad min al-`ilmi, innahu//
Manizdâda `ilman zâda hâsiduhu ghamman//
Bila kau ingin melihat musuhmu dilempar kehinaan//
ditikam kesusahan dan dibakar derita//
Tingkatlah ilmu dan gapailah kemuliaan//
Jika ilmu anda bertambah, bertambah dengkilah musuh anda//
Mengapa dilarang buruk sangka? “Fainnahu mansya’ al-`adâwah (sumber permusuhan),” jawab Az-Zarnuji. Dan biasanya, lanjutnya, orang yang sering berburuk sangka mencerminkan perilakunya. Buruk sangka sering timbul dari hati yang kotor atau karena memang tidak mengerti.
Idza sa’a fi’l al-mar’i sa’ar dzununuhu//
wa shaddaqaa ma ya’tadu min tawahhumi//
Wa ‘ada muhibbihi biqauli ‘udatihi
Jika buruk perbuatan seseorang buruk pula pikirannya//
Ia melegitimasi apa isi pikirannya//
Dia membenci orang yang mencintainya lantaran pengaruh musuhnya//
Saya kira Bu Sinta tulus mencintai orang yang membencinya itu. “Mereka sedang merindukan kasih sayang seorang ibu.” Saya belajar dari sini. Tapi sulit menerapkannya bukan?
Kalimulya 19 Juni 2016