Setiap sepasang suami istri pasti mengharapkan akan adanya keturunan. Benar, sebagaimana salah satu tujuan menikah, Pasutri (pasangan suami-istri) menikah untuk melestarikan keturunan.
Ada yang baru nikah langsung dikaruniai momongan. Banyak juga yang sudah lama menikah, namun tak kunjung dikaruniai buah hati. Kehadiran anak akan selalu dinantikan oleh para orang tua. Selain sebagai generasi penerus, anak juga salah satu harapan yang akan mendoakan kedua orang tuanya yang sudah mati. Pun anak yang akan menjaga dan merawat orang tua setelah renta.
Bagi yang sudah lama menikah dan tak kunjung punya anak, pasti akan mengalami kegalauan. Mereka tiada henti mereka berdoa dan berusaha agar mendapatkan momongan.
Dalam tradisi daerah tertentu, mereka yang tidak kunjung mendapatkan anak, biasanya memancingnya terlebih dahulu. Yakni dengan cara mengadopsi atau mengangkat anak. Dalam kasus orang daerah tertentu pula, ketika mengangkat anak tidaklah sembarangan. Ia biasanya akan mengangkat anak dari lingkungan keluarganya sendiri. Lebih-lebih yang memiliki hubungan darah (mahram) dengan mereka. Sehingga ketika besar (baligh) tidak menciderai hukum islam (misalkan bercampur lain jenis yang bukan mahram dalam satu rumah).
Jika yang dijadikan anak angkat adalah mahromnya sendiri (misalkan ponaan), maka tidak ada kekhawatiran hukum saat ia dewasa nanti. Dalam artian bersentuhan kulit tidak membatalkan wudhu keduanya (misalnya orang tua laki-laki sedangkan anaknya perempuan, atau sebaliknya) dan satu rumah (bercampur) dengan anak angkat yang masih mahrom tidak menyebabkan keharaman.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang mengadopsi anak di luar mahrom? Apakah wudhu-nya batal ketika mereka saling bersentuhan kulit?
Jika pertanyaannya tentang batal atau tidak wudhu dari mereka, maka jawabannya adalah batal. Karena dalam Islam, anak angkat tidak bisa dianggap sebagai anak sendiri. Ia tetap bernasab pada orang tua aslinya. Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Ahzab (33) ayat 4,
وَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ
dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).
Dalam Tafsir At-Thobary (Juz 19: 10) dijelaskan,
وقوله وما جعل ادعياءكم ابناءكم يقول ولم يجعل الله من ادعيت انه ابنك وهو ابن غيرك ابنك بدعواك وذكر ان ذلك نزل على رسول الله صلى الله عليه وسلم من اجل تبنيه زيد بن حارثة
(Maksud ayat tersebut) Allah Swt. tidak menjadikan anak yang diangkat sebagai anakmu, padahal ia anak orang lain, adalah anak kandungmu. Adapun asbabunnuzul dari ayat tersebut adalah berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. yang mengadopsi Zaid bin Haritsah dan dinisbatkan padanya.
Artinya, anak angkat selamanya tetap anak angkat. Ia tidak akan berubah menjadi anak kandung sehingga tidak boleh dinasabkan pada ayah angkatnya sebagaimana Sayyidina Zaid Bin Haritsah, tidak bisa dikatakan Zaid bin Muhammad Saw., walaupun nabi mengangkatnya sebagai anak.
Oleh karena itu, Imam Abi Syuja’ (Shohib Fathul Qorib) menjelaskan bahwa salah satu yang dapat membatalkan wudu’ adalah bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom (ajnaby), termasuk anak angkat.
Dalam artian, anak angkat tetap dihukumi orang lain (ajnaby) sehingga Islam menghukumi batalnya wudhu sesorang apabila bersentuhan kulit dengan yang bukan mahromnya. Salah satunya adalah menyentuh anak angkat.
Kesimpulannya, menyentuh anak angkat dapat membatalkan wudhu, kecuali, sebagaimana yang dipaparkan di atas, mengadopsi ponakannya, yakni anak dari saudara. Maka walaupun sudah tamyiz, bersentuhan kulit dengannya tidak membatalkan wudu’. Atau dengan cara lain, yakni dijadikan anak susuan (di bawah umur 2 tahun). Karena anak susuan sama dengan anak kandung. Dalam artian ia menjadi mahrom. Nabi Muhammad Saw. bersabda,
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
“Menyusui dapat menyebabkan adanya hubungan mahram, seperti halnya mahrom dalam keluarga (keturuanan)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala A’lam.