Seorang kiai yang tengah mengajar tiba-tiba kedatangan seorang tamu bekas temannya semasa di pesantren. Temannya itu kini juga menjadi kiai di salah satu daerah yang jauh.
Kedatangan temannya yang tiba-tiba ini merupakan kejutan yang amat menyenangkan hatinya. Untuk menghormati sang tamu, pengajian ia liburkan seketika. Lalu ia menyuruh seorang santrinya, sebut namanya Safik, untuk pergi ke pasar membeli kepala kambing.
Kiai mempersilahkan tamunya menuju kamar tamu yang khusus disediakan. Kedua sahabat yang muhallit itu pun ngobrol dengan amat asyiknya. Mereka mengisahkan pengalaman hidup masing-masing setelah sekian lama berpisah.
Safik menghidangkan suatu jamuan istimewa, tidak ketinggalan gulai kepala kambingnya. Amat lahaplah kedua sahabat ini bersantap sambil meneruskan kisah masing-masing.
Safik menunggui dari kejauhan, kalau-kalau ada hal yang harus dikerjakan, mengambil sendok, serbet atau menambah nasi dari dapur, dan sebagainya. Lama sekali kedua teman muhallit itu bersantap sambil berbincang-bincang. Ada-ada saja yang diungkapkan. Tak kering-keringnya ingatan keluar dari kepala masing-masing untuk diceritakan. Namanya juga teman muhallit yang sudah puluhan tahun tidak berjumpa.
Safik merasa betapa lamanya mereka bersantap.
Hatinya disabar-sabarkan menanti, biarpun perutnya sudah merasa lapar sekali. Ia berharap bisa menikmati sisa hidangan.
Namanya saja santri yang taat kepada guru, dan ia merasa bahagia bisa menjadi khadam yang melayani kebutuhan kiai.
Tetapi yang membuat Safik menjadi cemas, gulai kambing itu hampir ludes. Buat menghibur diri, ia melirik mangkok itu. Katanya dalam hati, syukurlah lidah kambing itu masih ada. Mungkin menjadi bagianku. Tapi baru saja hatinya berkata demikian, tiba-tiba kiai bertanya kepada tamunya.
“O, jadi sudah 200 orang juga santrimu?” sambil mencomot lidah kambing.
Safik jadi kaget. Tetapi dihiburnya batinnya. Ah, kupingnya masih ada satu, mungkin itulah bagianku.
Sang tamu mengajukan pertanyaan kepada sahibul bait: “Ente sudah punya menantu juga? Dan menantumu pun membantu mengajar di pesantren?” sambil mbetot kuping kambing dan mengunyahnya cepat-cepat.
Safik terkejut dan jadi tambah panik melihatnya, tetapi ia tenangkan hatinya dan menghibur diri: “Ya, tapi cungur kambing itu masih ada sebagian, itulah bagianku.”
Kiai melanjutkan kisahnya: “Begini, aku ingin isteriku membuka pesantren khusus buat anak-anak perempuan. Ente setuju itu?” sambil tangannya menyomot bagian hidung kambing idaman Safik. Bukan main kecewa hati Safik. Idaman hatinya, potongan hidung itu sudah wassalam.
Ia harus lebih sabarkan hatinya, dan ia melihat masih ada sisa dari gulai kepala kambing itu yang belum dijamah, yaitu mata kambing yang tinggal satu-satunya. Inilah, Insya Allah bagian ana, demikianlah ia menghibur diri.
Pikirnya selesailah kedua kiai ini bersantap. Sudah kedengaran dahak masing-masing menandakan keduanya makan dengan lahap dan nikmat. Kiai masih mengajukan pertanyaan kepada tamunya: “Jadi sudah bulat ente naik haji bulan depan?” tiba-tiba tangan kiai hinggap di tulang-tulang kepala kambing sambil menggerayangi mata yang tinggal sebiji, ia colek-colek lalu ia kirim ke mulut.
Bukan main paniknya Safik.
Ia tak sabar lagi, melompatlah ia memasuki ruang hidangan. Tak bisa menahan diri lagi, ia maju menghampiri kiai sambil menyibakkan matanya. “Kiai, kalau masih kurang, ini mata saya…!”
***
Teman-teman santri mungkin baru tahu lelucon ini, tapi pasti sudah pernah, dan sering, mendengar lelucon seperti ini. Mengapa?
Karena inilah salah satu dari folklor dunia pesantren. Folklor di sini adalah “sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang dibantu dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.” Masuk dalam folklor adalah teka-teki, legenda, dongeng, cerita rakyat, peribahasa, dan lainnya, serta jangan lupa! lelucon dan humor. Para buruh, kaum muda, sopir bis, waria, dan berbagai kelompok masyarakat punya folklor sendiri.
Sebagai suatu subkultur, pesantren juga tentu memiliki folklor. Yang menarik, pesantren sangat kaya dengan folklor lelucon dan humor.
Sebagaimana ciri awal folklor, ia pertama-tama bersifat lisan, karena itulah ia bisa memiliki banyak versi dan varian.
Melalui kerja pengumpulan, dan penulisan, folklor bisa tampil dalam bentuk tulisan.
Sebagai contoh kerja pengumpulan ini adalah karya Ahmad Fikri AF, Tawashow di Pesantren (2000) dan Humor Ngaji Kaum Santri (2004) yang dikumpulkan oleh Hamzah Sahal.
Beberapa karya sastra yang menggarap pesantren sebagai settingnya –secara tidak langsung—juga banyak mengangkat folklor pesantren ini. Misalnya kumpulan cerpen Ummi Kulsum: Kisah-Kasih Pesantren (1950), karya Djamil Suherman yang disiarkan beberapa dasawarsa yang lalu.
Atau terdapat dalam otobiografi-otobiografi para kiai.
Cerita yang saya kutip di atas, diambil dari otobiografi KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren (1974). Ajaib, meski buku ini sebuah otobiorafi, tapi banyak sekali di dalamnya lelucon-lelucon mengenai pesantren. Last but not Least, Abdurrahman Wahid melalui kumpulan kolomnya di Majalah Tempo, Melawan dengan Lelucon (1999), serta tentu berbagai ceramahnya yang penuh selingan humor.
Mengingat pentingnya folklor sebagai “jendela” untuk melihat sistem budaya suatu kelompok, maka penghargaan yang tinggi harus diberikan pada pengumpul dan penulis ini. Kita tunggu bagaimana nanti para penafsir melihat pesantren melalui “kumpulan humor” yang unik dan eksotik ini.
Bagaimana para penafsir budaya memakai dan memanfaatkan kumpulan humor ini sebagai suatu ‘pandangan dunia’ yang senyap dan tersembunyi dari kalangan yang disebut santri.
***
Kekuatan folklor sebenarnya terletak pada kelisanannya. Dengan kelisanan itu, ia bisa dituturkan dalam situasi dan kondisi apapun. Kapan dan di mana pun. Dengan kelisanan itu ia bisa bertransformasi menjadi berbagai versi. Dengan kelisanan itu, ia bisa menari-nari, dibolak-balik dan dijungkir-balikkan oleh subjek yang menceritakan, tapi juga oleh para audiens pendengarnya. Penuh spontanitas dan keserentakan. Dengan tetap sebagai tradisi lisan, ia terus menjadi kekayaan dan milik kolektif. Karena ia juga anonim.
Nah, lalu bagaimana kalau ia dituliskan?
Tentu saja, pemindahan dari lisan ke tulisan ini beresiko menghilangkan nuansa-nuansa subtil dari sebuah folklor, atau katakan humor ini: misal konteks, gaya, spontanitas, formula penyampaian, situasi, istilah-istilah spesifik, dan lainnya. Kadang ada standarisasi kejam yang muncul dari hasil penulisan di sana.
Seolah-olah ia menjadi versi resmi, dan tak ada lagi versi selain itu. Karena bukankah sekarang, folklor itu sudah ada penulisnya? Author-nya? Pemilik otoritasnya.
Itu bukan berarti folklor tidak bisa dan tidak perlu dilisankan.
Dengan beberapa alasan, folklor itu perlu dikumpulkan. Mengumpulkan, tak ada lain, kecuali dengan menuliskan. Dengan tulisan, folklor bisa meluas dan melintas batas, serta memungkinkannya untuk diperbandingkan. Tapi jelas, kekuatannya sebagai tradisi lisan, dengan sendirinya mencair, tapi pada saat yang sama –sebagai suatu bentuk tulisan— ia memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan sebuah komunikasi humor dalam bentuk tulisan.
Jadi, menuliskan atau mengaksarakan yang lisan itu, tentu bukan sekadar mengalihkan dan memindahkan. Mesti ada suatu kepekaan dan kemampuan teknis yang prima untuk memindahkan folklor ke dalam tulisan, termasuk ‘logika’ ketika humor itu dituturkan.
Selain itu, sewaktu masih dalam rahim kelisanan, sebuah folklor tentu dimaksudkan sebagai komunikasi internal kolektivitas pemiliki folklor. Untuk kepentingan apapun komunikasi itu.
Tapi, setelah ia dilisankan, tentu ia akan melintas batas. Jadi ada kepentingan untuk menguniversalkannya setelah sebelumnya sangat partikular.
Keberhasilan suatu bentuk tulisan yang berasal dari lisan tentulah terletak pada kemampuannya keluar dari kawasan partikularnya menuju ke kawasan yang lebih luas dan lebar.
Masalahnya, menurut saya, banyak humor kita –termasuk humor-humor pesantren- sering dituliskan seperti sebuah transkripsi semata dari tradisi lisan.