Penamaan al-Fil untuk surat ini diambil dari ayat pertama yang terkandung di dalamnya frase Ashab al-Fil “Pasukan Gajah”. Surat ini merujuk kepada penyerangan yang ingin dilakukan oleh pasukan Habsyah terhadap Mekah di tahun 570 Masehi, tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Abrahah, komandan pasukan Yaman, yang saat itu memeluk agama Kristen mendirikan katedral di San’a dan ingin menjadikan katedral tersebut sebagai pusat keagamaan untuk menggantikan posisi Ka’bah di Mekah. Akhirnya Abrahah atas perintah an-Najasyi diperintahkan untuk menyerbu Mekah.
Penyerbuan ke Mekah ini bertujuan untuk menghancurkan Ka’bah dan memindahkan qiblat kegiatan keagamaan ke Yaman. Tujuan penghancuran Ka’bah dilakukan agar dapat mengurangi peranan Quraish dalam kancah perdagangan internasional antara Yaman dan Syam dan dapat memindahkan peranan tersebut ke orang-orang Yaman, dan seterusnya beralih tangan ke Habasyah, aliansi Romawi saat itu. Penyerbuan Mekah ini menggunakan gajah sebagai alat kendaraannya sehingga tahun itu disebut oleh sejarawan sebagai tahun gajah.
Para ahli tafsir menceritakan kisah penyerbuan Mekah oleh Abrahah ini melalui dua narasi kisah yang berbeda;
Riwayat pertama menjelaskan bahwa Abrahah al-Asyram adalah gubernur raja an-Najasyi di Yaman atau sebut saja di Himyar. An-Najasyi adalah julukan bagi raja Habasyah. Hal demikian sama seperti halnya Kisra yang merupakan julukan/gelar raja bagi kerajaan Persia dan Heraklius julukan raja bagi kerajaan Romawi. Tentu yang perlu dicatat ialah bahwa an-Najasyi di sini bukanlah an-Najasyi yang pernah dikirimi surat oleh Nabi Muhammad SAW dan yang pernah menjadi pelindung bagi gerakan umat Islam awal-awal.
Abrahah ini membangun katedral yang besar sekali di San’a, salah satu wilayah Yaman. Pasca pembangunan, Abrahah mengirim surat kepada an-Najasyi yang isinya: “Sungguh aku telah membangun untukmu gereja terbesar yang belum pernah ada di muka bumi ini wahai raja. Namun aku tidak akan berhenti sampai di situ. Aku ingin mengganti kiblat keagamaan orang-orang Arab ke gereja itu. An-Najasyi pun kemudian memerintahkannya untuk menyerang Ka’bah dengan menggunakan gajah.”
Orang-orang Arab mendengar kabar Ka’bah akan dihancurkan dan mereka ketakutan. Abrahah mengutus seorang lelaki dari Habasyah bernama al-Aswad bin Maqsud ke Mekah dengan menggunakan kuda. Utusan ini pun dinego dan diberikan banyak harta oleh Quraisy. Bahkan ia mendapat 200 ekor unta milik Abdul Muttalib yang saat itu menjadi pembesar Qurasyh. Suku Quraisy, Kinanah, Hudzail dan suku-suku yang tinggal dekat dengan wilayah Ka’bah sebenarnya berhasrat besar untuk membunuh utusan ini.
Riwayat kedua menyebutkan alasan Abrahah ingin melakukan penyerbuan terhadap Mekah dang menghancurkan Ka’bah. Kala itu, ada beberapa pemuda Quraisy pergi berdagang ke wilayah Habasyah. Mereka beristirahat di tepi laut Merah, dekat dengan biara milik orang-orang Kristen. Orang Kristen menyebutnya haykal atau kuil. Para pemuda Quraisy ini menyalakan api untuk memasak makanan mereka dan api tersebut dibiarkan menyala saat mereka meninggalkan tempat. Lalu angin kencang menghembuskan api itu ke arah gereja sehingga membakar habis tempat peribadatan tersebut. Akhirnya orang-orang Kristen mengadu kepada an-Najasyi dan membuatnya marah besar. Akhirnya an-Najasyi menyiapkan pasukan yang dipimpin Abrahah untuk menyerang Mekah dan menghancurkan Ka’bah.
Meski menyajikan alasan yang berbeda di balik penyerangan dan penyerbuan terhadap Ka’bah oleh an-Najasyi di bawah pimpinan Abrahah, namun kedua riwayat tersebut sepakat bahwa penduduk Mekah sendiri tidak mampu melawan pasukan tersebut sehingga mereka melakukan diplomasi. Pimpinan yang diberikan tugas untuk berdiplomasi ini ialah Abdul Muttalib, kakeknya Nabi Muhammad SAW. Kendati demikian, diplomasi tersebut berujung kegagalan sehingga Abdul Muttalib memerintahkan penduduk Mekah untuk bersembunyi di wilayah-wilayah pengunungan.
Abrahah bersikeras untuk menyerang Mekah dan menghancurkan Ka’bah. Namun penyerangan tersebut berujung kegagalan. Mereka hendak menyerang Ka’bah namun di perjalanan pasukan gajah ini banyak yang mati. Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah menyebutkan bahwa di tahun itu terjangkit wabah yang mematikan. Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah menyebutkan:
إن أول ما رؤيت الحصبة والجدري بأرض العرب ذلك العام
“Bahwa awal munculnya penyakit demam dan cacar yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.
Berangkat dari ingin menyerbu Mekah dan menghancurkan Ka’bah inilah, surat al-Fil bercerita mengenai kegagalan usaha tersebut: (1) Tidakkah kamu mengetahui wahai Muhammad apa yang telah diperbuat Tuhanmu terhadap pasukan gajah? (2) Bukankah Tuhan telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia. (3) dan mengirim burung-burung yang berbondong-bondong; (4) yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah liat yang dibakar; (5) sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan [ulat].
Ada beberapa kata atau frase tertentu yang perlu sedikit penjelasan di sini: yang pertama ialah hijaratan min sijjil (batu dari sijjil). Sijjil sendiri dalam bahasa Arab sebenarnya artinya ialah “catatan” dan karena itu, kata Muhammad Asad, bisa jadi artinya ialah “sesuatu yang sudah ditakdirkan sebelumnya”. jadi frase hijaratan min sijjil merupakan metafora yang berarti “batu-batu azab yang telah ditakdirkan sebelumnya”.
Seperti yang telah disinggung di atas, yakni kutipan dari Ibnu Ishak yang kemudian banyak dikutip oleh ahli tafsirnya setelahnya seperti Ibnu Kathir misalnya, azab yang diberikan Tuhan kepada pasukan gajah ialah terjangkitnya wabah penyakit yang menyeluruh: “awal munculnya penyakit demam (hisbah) dan cacar (judari) yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.
Menariknya lagi, dalam kamus-kamus bahasa Arab klasik, terutama penjelasan lebih detail dapat kita temukan pada kamus Tajul Arus, kata hisbah yang menurut ahli disebut juga penyakit tiphus dalam bahasa Arab bisa diekspresikan dengan ungkapan “ashabathu al-hasbah” dan “tarmi hijaratan ”. Secara literal, ungkapan “tarmi hijaratan” ini mengandung arti “melempar batu” namun dalam bahasa Arab klasik “tarmi hijaratan” bisa juga dianggap sebagai frasa idiomatic yang artinya tidak bisa dilihat dari masing-masing satuan lingualnya. Karena dianggap sebagai frasa idiomatik, “Tarmi hijaratan” ini, seperti yang dijelaskan dalam Tajul Arus, artinya ialah terkena penyakit tiphus.
Sementara itu, dalam banyak literatur tafsir, banyak sekali yang menafsirkan kata tha’iran ababil secara imaginer. Ada yang menafsirkannya secara literal sebagai burung Ababil yang dikirim dari neraka. Ini seperti yang dipegang oleh Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an. Kendati demikian, kalau seandainya yang dimaksud “tarmihim bi-hijarat” pada ayat di atas ditafsirkan sebagai penyakit menular seperti tiphus dan cacar, maka kata thairan ababil bisa jadi dapat ditafsirkan sebagai “burung” atau “serangga” atau “virus” dalam jumlah besar (dalam bahasa Arab ababil berarti banyak dan tidak bisa dihitung) yang dapat menularkan penyakit sehingga membunuh pasukan Abrahah.
Simpulnya Tuhan melalui surat al-Fil ini menjelaskan kepada kita bahwa pasukan gajah tewas terkena wabah penyakit menular dan mematikan di tengah perjalanan mereka menuju Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Kalau dikonstruksi ulang, kira-kira terjemahan dan tafsir surat al-Fil bisa dikemukakan demikian: (1) Tidakkah kamu mengetahui wahai Muhammad apa yang telah diperbuat Tuhanmu terhadap pasukan gajah? (2) Bukankah Tuhan telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia. (3) dan mengirim virus-virus dalam jumlah besar (tairan ababil); (4) yang menularkan kepada mereka penyakit tiphus dan cacar; (5) sehingga mereka binasa seperti daun-daun yang dimakan [ulat].
Dengan demikian surat ini juga tidak perlu kita tafsirkan berdasarkan mitologi tertentu selagi pendekatan rasional masih bisa kita terapkan dalam memahami ayat-ayat Allah SWT. Allahu A’lam.