Tidak bisa dipungkiri, sejumlah aksi teroris mulai dari bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya hingga penyerangan aparatus negara di Riau tidak lepas dari kelompok radikalisme agama, yakni orang-orang yang berdasarkan pemahaman keagamaannya mendorong melakukan kekerasan terhadap orang atau kelompok yang dianggapnya sebagai musuh. Meski tidak semua radikalis menjadi teroris, tapi untuk menjadi teroris ia akan melewati apa yang disebut “radikalisme agama”. Karena itu untuk mencegah terorisme harus dimulai dari penanganan serius terhadap kelompok-kelompok radikal.
Setara Institute (2002: 102) dalam penelitiannya menyimpulkan, ada dua tipe Islam radikal di Indonesia, yaitu Islam radikal transnasional dan Islam radikal lokal. Yang pertama keanggotaannya melintas batas negara, sedangkan yang kedua hanya ada di Indonesia meski dalam beberapa hal memiliki jaringan dengan Islam radikal transnasional, bahkan dengan kelompok-kelompok teroris global.
Perjuangan kelompok radikal pada intinya sama, yaitu ingin menegakkan syariat Islam dalam versinya di Indonesia. Hal yang membedakan dari beragam organisasi atau kelompok radikal yaitu dalam hal tatacara atau jalan perjuangannya.
Pertama; Berjuang dengan pemurnian akidah, ibadah serta dakwah. Bagi kelompok ini, apa artinya menjadi muslim jika keyakinan teologisnya masih mengandung kemusyrikan dan ibadahnya penuh dengan bid‘ah. Karena itu kelompok radikal yang menempuh metode ini dalam dakwahnya kerap mengkafirkan, menyesatkan, dan menuduh kelompok yang berbeda dengannya sebagai orang-orang musyrik.
Kedua; melalui perubahan sistem kenegaraan, yakni upaya menegakkan Khilafah Islamiyah. Bagi kelompok ini, untuk menegakkan syariat Islam maka harus dimulai dari sistem kenegaraannya yang berdasarkan pada khilafah.
Ketiga; metode penyerangan langsung terhadap kelompok keagamaan yang berbeda dan menyerang tempat yang dianggap menjadi “ruang maksiat”. Kelompok yang mengambil jalan perjuangan ini menganggap aparatus negara tidak berfungsi dalam menertibkan tindakan-tindakan yang dianggapnya maksiat, karena itu kelompok ini melakukan tindakan sendiri tanpa melalui prosedur yang berlaku.
Seseorang menjadi teroris hingga berani menyerang aparatus negara secara langsung dan melakukan bom bunuh diri berangkat dari pemahaman keagamaannya yang menganggap Indonesia sebagai negara yang tidak islami atau negara “kafir” dan ingin menegakkan syariat Islam. Karena itu melakukan pengeboman atau penyerangan terhadapnya dipahami sebagai bagian dari ajaran jihad dalam arti perang melawan kekufuran dan kemaksiatan.
Dengan berdasarkan hasil penelitian Setara Institute di atas, tindakan pemerintah dalam melarang organisasi yang menghendaki berdirinya khilafah islamiyah sangat tepat. Hal ini tidak hanya semata-mata karena kelompok itu bertentangan dengan Pancasila, tapi juga bagian dari upaya deradikalisasi dan pencegahan terorisme sejak dini. Terlebih kelompok yang menghendaki berdirinya khilafah islamiyah telah masuk ke lembaga-lembaga pendidikan dan berhasil mempengaruhi orang-orang terdidik.
Kendati tidak semua kelompok radikal pasti teroris, tapi materi ceramah yang kerap disampaikan oleh kelompok-kelompok ini telah membentuk dan mendukung seseorang menjadi teroris, bahkan setiap kali terjadi aksi teror seperti bom bunuh diri, kelompok ini kerap bersuara sumbing dengan menuduh konspirasi dan sebagian memberikan dukungan kepadanya.
Karena itu masuk akal jika kelompok radikal yang mulanya hanya mengkafirkan dan merusak tempat ibadah agama non muslim yang masih dalam batas radikalisme kemudian mengubah orientasinya menjadi teroris atau dalam istilah mereka “jihadis”. Pasalnya, secara paham keagamaan memiliki kesamaan.
Upaya pemerintah dalam mencegah terorisme harus dimulai dengan pencegahan terhadap radikalisme agama dengan menjadikan kelompok-kelompok keagamaan moderat sebagai mitranya dalam mewujudkan Indonesia damai, aman dan bersih dari teroris.