“Bersenang-senanglah kamu di setiap bulan Ramadan tiba, karena di dalamnya terdapat masjid-masjid yang menyediakan takjilan dan acara buka bersama”. (Bukan hadis nabi).
Bagi anak kosan, Ramadan adalah bulan yang paling dinanti, karena banyak masjid yang menyediakan menu buka puasa; alias makanan gratis. Apalagi di Jogja, yang saya sebut sebagai kota “sejuta takjil”. Karena hampir setiap masjid yang saya temui, rata-rata menyediakan makanan atau sedekah bagi mereka yang berpuasa.
Mungkin para jama’ah di masjid tersebut terinspirasi dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Barang siapa yang memberi makan orang yang menjalani ibadah puasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sama sekali”. (HR. Tirmidzi)
Bahkan, ada masjid yang sengaja menyebarkan pamflet, dengan menampilkan daftar menu buka puasa mulai dari hari pertama sampai hari akhir Ramadan. Sungguh mulia sekali masjid tersebut. Semoga Allah merahmati para takmirnya.
Hampir sama dengan kota-kota lainnya di setiap bulan Ramadan tiba–masjid-masjid di Jogja selalu semarak, ramai dihiasi dengan kajian, tadarus, dan pesantren kilat. Sebagai manusia Indonesia yang beragama Islam, pasti sangat bersyukur merasakan nikmatnya beribadah di bulan suci Ramadan. Kita mendapatkan kebebasan melakukan ritual, bahkan sampai melakukan kegiatan-kegiatan, yang mungkin hal itu tidak kita temukan di negara-negara lain yang mayoritasnya Islam.
Seperti: kampung Ramadan, pasar Ramadan, bazar buku dan bazar sembako di masjid, lomba rebana, lomba baca alqur’an dan pidato, bahkan di akhir bulan Ramadan, ada sekolompok orang yang mendirikan tenda-tenda untuk beriktikaf di masjid demi menjemput malam lailatul qadar.
Kurang bersyukur apa kita sebagai umat Islam di Indonesia ini. Oleh sebab itu, sangat gagal paham manakala masih ditemukan suara-suara lantang yang menarasikan bahwa umat Islam sedang didzolimi, masjid diserang, dan ulamanya dikriminalisasi. Ingin rasanya menghela nafas sedalam-dalamnya lalu beristighfar sembari mengucapkan kalimat: amit-amit jabang bayi.
Kamu Tim 4-4-3 atau 2-2-2-2-3?
Dalam dunia sepak bola kita pasti kenal dengan sebuah formasi atau strategi bermain, seperti 5-3-2, 4-3-1-2, atau 4-4-3. Namun, berbeda jika ketika kamu sedang menjalani ibadah shalat Tarawih di Jogja.
Saya pernah mencoba dan dengan sengaja berkeliling dari satu masjid ke masjid yang lain untuk menjalani ibadah shalat tarawih dan witir berjamaah. Ingin mengetahui dan merasakan atsmosfer seperti apa sih formasi shalat tarawih di masjid-masjid sekitar kota Jogja.
Saya menemukan sebuah keunikan yang bisa saya pelajari di sini. Di antaranya saya menemukan masjid yang menerapkan shalat tarawihnya dengan formasi 4 rakaat-4 rakaat, lalu disambung dengan witir 3 rakaat (4-4-3). Ada masjid yang dengan formasi tarawih 2 rakaat-2 rakaat, lalu disambung witir 2 rakaat dan 1 rakaat (2-2-2-2-2-1).
Hampir rata, yang saya temui—kalau dalam guyonan lawas Gus Dur dengan Pak Harto, masjid di Jogja menggunakan formasi gaya NU baru. Yaitu diskon 60 %. Karena NU lama sholat tarawihnya masih keukeh 20 rakaat dan witir 3 rakaat.
Bagi saya, ini adalah sebuah keunikan dalam beragama. Saya merasakan betapa beragamnya umat Islam di Jogja. Itu saja, skalanya baru Jogja lho, belum lagi di kota-kota lain yang bermacam-bermacam ragamnya. Jadi semakin bangga saya menjadi muslim Indonesia.
Saya menemukan sunnatullah Tuhan di setiap masjid yang saya pilih untuk sholat berjamaah. Saya menyadari tentang kemahaagungan Tuhan dalam surat Al-Hujurat ayat 13, yang menciptakan manusia, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan mungkin bermadzhab-madzhab untuk saling mengenal. Bukan saling bermusuhan.
Di kota sejuta takjil ini, tepatnya di bulan Ramadan, semakin menguatkan ketauhidan saya akan kebesaran Tuhan dalam menciptakan beranekaragam manusia. Yang mana masing-masing dari manusia itu punya caranya sendiri dalam mendekati Tuhan. Asal tidak merugikan orang lain.
Seusai jama’ah shalat Isya’, ada ustadz yang memberikan kultum singkatnya. Di kota ini, sudah terbiasa ada selingan dari penceramah ketika hendak melakukan sholat tarawih dan witir berjamaah. Yakni, dengan kultum.
Bapak ustadz bilang: “Sesungguhnya darah itu haram hukumnya. Allah Swt melarang atas alasan apa pun menghilangkan nyawa seseorang. Baik itu saudara seiman maupun bukan seiman. Karena jiwa adalah milik Allah. Bukan hak manusia untuk menumpas atau menghilangkannya.”
Seketika itu, saya teringat dengan para teroris yang menghilangkan nyawa dengan dalih agama yang baru-baru ini terjadi di Mako Brimob, Surabaya, dan Riau.
Saya tidak bisa berfikir, agama yang seperti apa yang mereka pahami? Tentu, peristiwa tersebut ingin menjelaskan bahwa orang yang mempunyai pikiran tertutup sangatlah membahayakan kemanusiaan.
Alhamdulillah, di kota sejuta takjil ini, saya dikenalkan dengan arti keberagaman dan perbedaan dalam beribadah. Tentu hal ini semakin membuka pikiran saya untuk mengenal lebih dalam lagi; apa itu Islam?
Muhammad Autad Annasher, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.