Politisasi masjid kok ya makin banyak saja. Memang, perkara masjid jelas tak sesederhana rest area di sepanjang jalan Pantura. Yang di dalamnya kita akan mendapat jamuan segelas harapan dan semangkuk pengampunan. Faktanya, selain digunakan sebagai tempat menghamba kepada Tuhan Yang Maha Esa, masjid juga memiliki varian fungsi eksternal.
Memang, jika kita merujuk ke zamannya Kanjeng Nabi Muhammad, masjid merupakan pusat peradaban. Fungsi masjid bahkan tidak hanya sebagai medium menyembah, akan tetapi juga sebagai tempat menyampaikan wahyu dan sabda, arena diskusi, tukar informasi, serta pertemuan-pertemuan yang berfaedah lainnya.
Namun, kita juga musti ingat, jika Kanjeng Nabi dalam setiap rekam jejaknya sama sekali tidak menghendaki narasi kebencian dan permusuhan apalagi kekerasan, atas nama apapun. Alih-alih membuat buletin jumat yang menggunjing Barat dan Komunis sebagai musuh Islam dan lalu menarik kesimpulan khilafah solusinya, Kanjeng Nabi yang saat itu jelas-jelas dizolimi justru menahan Jibril yang hendak meratakan negeri Thaif di masa-masa awal dakwahnya.
Demikian halnya ketika melihat seorang badui yang kencing di pojokan masjid. Terang saja, para sahabat yang saat itu turut menyaksikan hal itu pun geram dan hendak mencegah si badui mengotori kesucian masjid. Akan tetapi Kanjeng Nabi justru menahan para sahabatnya sehingga seorang badui itu menyelesaikan kencingnya. Baru setelah itu para sahabat diminta membersihkan kencing itu, sementara yang bersangkutan dipanggil dan diberi nasihat tentang fungsi dan etika ketika di masjid.
Karena itulah Kanjeng Nabi menyabda bahwa al-ardhu kulluha masjidun. Bumi itu masjid. Ya, masjid dalam pengertian di samping sebagai tempat ibadah, juga untuk menyemai kebaikan dan nilai-nilai luhur rahmatan lil ‘alamin.
Tapi ingat, itu zamannya Kanjeng Nabi dan juga termasuk era beberapa generasi terbaik selanjutnya.
Kita barangkali boleh saja bergembira dengan Indonesia yang cukup kaya akan kuantitas masjidnya. Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, bahkan disebut sebagai kota dengan predikat seribu masjid.
Lain tempat, Madura misalnya, di beberapa bilangannya kita dihadapkan pada realitas jajaran orang yang sepanjang jalannya mengajak setiap pengendara luar kota yang kebetulan melintas agar berinvestasi pahala dengan membangun masjid lewat mereka.
Di Jawa, Masjid identik dengan kuburan. Maksudnya, secara konstruktif pemakaman biasanya berada di sebelah barat masjid. Kalau tidak percaya, sesekali tengoklah Masjid Patok Negoro di Jogjakarta.
Pada realitas demikian, masjid terlihat menyimpan aspek yang sangat filosofis. Selain mengandung makna sebagai dan tempat bersujud—jika ditelisik dari aspek gramatikal bahasa Arab—, masjid juga direlevansikan dengan urgensi kematian.
Oleh sebab itu, semangat masjid sebagai simbol kesetaraan manusia menemukan signifikansinya dengan kesadaran bahwa pada dasarnya setinggi-tingginya jabatan kepala seseorang, ia masih tak lebih tinggi ketimbang pantat. Dan di masjid, semua pantat itu setara tanpa dibedakan oleh merek celana dalam, jabatan atau penghasilan.
Sehingga harapannya, setiap muslim atau muslimah yang sembahyang di masjid akan mengalami semacam revolusi batiniyah. Ya, kerendahan hati yang kaffah.
Maka, ketika sekarang ada yang menggunakan masjid sebagai medan pertarungan politik, ajang unjuk rasa, atau ketua partai yang menghimbau kadernya rajin berjamaah di masjid untuk mencuri hati masyarakat agar menang dan terpilih di Pemilu, itu aneh. Sekali lagi, betul-betul aneh.
Sungguh, perkawinan antara kepentingan politik dengan hasrat memanipulasi agama inilah yang merupakan alasan paling masuk akal kenapa khotbah keagamaan belakangan ini membuat sakit jiwa.
Keanehan itu kini semakin paripurna ketika masjid digunakan sebagai ladang propaganda kebencian yang dibonsai dengan ayat-ayat Tuhan. Jelas-jelas masjid merupakan sarana untuk menyembah Allah. Eladah, belakangan kok malah ada yang ingin melembagakan Allah dengan serumpun partai.
Hal Itu belum termasuk buletin-buletin yang tiap jumatan melimpah ruah di masjid-masjid dengan narasi kebencian kepada Barat, Yahudi, Zionis, Komunis dan lalu dikaitkan dengan khilafah solusinya.
Masalahnya, yang shalat jumat di masjid itu biasanya sekompi anak-anak yang taunya beban terberat di dunia ini hanyalah PR Matematika. Dan ketika melihat selembar kertas, sontak saja jika kreativitas mereka terpantik.
Peduli apa anak kecil dengan istilah-istilah njlimet macam, urgensi khilafah, krisis global, partai setan, dan negara konfilk Timur Tengah. Yang ada malah buletin itu jadi bahan pesawat-pesawatan. Di sinilah saya merasa gapapa prihatin dengan para pejuang khilafah itu. Tapi, itu kalau di masjid tempat saya sih.
Diakui maupun tidak diakui, di sadari maupun tidak disadari, demikianlah situasi aktual masjid-masjid kita kini. Ya, keanehan-keanehan yang hqq itu kini sedang pangung-rayakan oleh manusia-manusia dengan berahi yang meledak-ledak di masjid-masjid kita.
Sek sek, atau justru kita sendiri yang sedang tersesat di masjid, manakala keanehan itu semakin kaffah dan lumrah?