Banyak gerak-gerakan Islam, terutama yang ekstrim di kalangan mereka, memulai perjuangan keislamannya dengan pertama-tama mendirikan negara Islam sebagai agenda prioritasnya. Bagi penganut paham ini, mendirikan negara Islam itu wajib hukumnya agar syariat Islam dapat diberlakukan secara keseluruhan, terutama jika kaidah usul: ma la yatim al-wajib illa bihi fahuwi bihi wajib ‘segala hal yang denganya suatu kewajiban akan terlaksana secara sempurna maka hukumnya wajib’ diperhatikan.
Kaidah ini sebenarnya diambil dari kasus-kasus parsial dalam fikih seperti kasus shalat yang tak akan sempurna dan sah jika tidak berwudu terlebih dahulu. Sama seperti kasus wudhu yang wajib dilaksanakan yang tanpanya shalat tidak sempurna, mereka berpandangan bahwa syariat Islam tidak akan pernah berdiri secara kokoh jika tidak ditopang oleh negara Islam.
Pertama-tama, kita pahami dulu kaidah fikih yang mengatakan bahwa ma la yatim al-wajib illa bihi fahuwi bihi wajib, ‘segala sarana yang denganya suatu kewajiban akan terlaksana secara sempurna maka sarana tersebut hukumnya wajib’. Dalam kaidah ini, paling tidak ada dua konsep yang perlu diperhatikan; pertama, konsep wajib li-dzatihi, yakni kewajiban yang hukum wajibnya ada dengan sendirinya seperti shalat, zakat dan lain-lain dan kedua, wajib li-ghairihi, kewajiban sarana yang menjadi penopang bagi kewajiban yang ada dengan sendirinya.
Mendirikan negara jika kita kontekskan dengan kaidah ini termasuk ke dalam sarana (wajib li-ghorihi) bukan tujuan (wajib li-dzatihi). Artinya negara Islam adalah sarana sedangkan syariat Islam yang ingin diberlakukan ialah tujuannya. Kewajiban mendirikan negara Islam bukan termasuk ke dalam kategori wajib li-dzatihi tapi hanya sekedar wajib-lighoirihi. Bagaimanapun juga dalam bingkai fikih wajib li-ghoirihi posisinya lebih rendah signifikansinya daripada wajib li-dzatihi. Hal demikian dapat dilihat dalam dua poin berikut:
Pertama, usaha kita untuk melaksanakan amalan yang termasuk ke dalam kategori wajib li-ghoirihi tidak boleh sama kedudukannya atau bahkan lebih diprioritaskan daripada amalan yang wajib li-dzatihi, bahkan yang wajib li-ghorihi ini, kata ar-Raysuni, tidak boleh merusak wajib li-dzatihi.
Kedua, melaksanakan amalan yang termasuk ke dalam kategori wajib li-ghoirihi ini jika dipahami hanya sebatas pada kewajiban mendirikan negara Islam, konsekwensinya jika sebagian kewajiban syariat Islam sudah terlaksana, gugurlah kewajiban mendirikan negara tersebut secara parsial.
Artinya jika sebagian besar negara-negara demokrasi memperbolehkan bagi umat Islam untuk melaksanakan segala aktifitas mereka seperti shalat, puasa, zakat dan haji, maka kewajiban mendirikan negara (wajib li-ghoirihi) sudah gugur dengan sendirinya karena sebagian atau bahkan keseluruhan rukun Islam (wajib li-dzatihi) sudah terlaksana.
Dan perlu diperhatikan juga bahwa pemberlakuan syariat Islam tidak mesti melalui jalur negara. Ada banyak cara untuk memberlakukannya seperti misalnya penguatan dan pemberdayaan umat. Memprioritaskan pendirian negara Islam yang hanya sebagai sarana sangat rentan dengan kepentingan politik, bahkan syarat akan terjadinya konflik berdasar kepada keyakinan agama yang justru akan merusak Islam sendiri.
Selain itu, selayaknya agenda kita lebih terfokus kepada tujuan, bukan sarana. Bagi para penganut negara khilafah, seolah sarana hal terpenting daripada tujuan. Hal demikian seperti agenda mereka yang lebih memprioritaskan yang wajib li-ghoirihi ketimbang yang wajib li-dzatihi. Padahal, mendirikan negara hanya satu dari sekian banyak sarana.