Saat itu puncak pimpinan negara dipegang langsung oleh pengganti Abu Bakar as-Shiddiq yang bergelar Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman), Umar bin Khattab.
Tiba-tiba datang sahabat Rasulullah Saw yang lain kepada Umar. Nampak dari kejauhan seperti Ali bin Abi Thalib. Namun sepertinya ayah Hasan dan Husein ini tidak sendiri. Ia bersama seorang perempuan, tetapi perempuan itu sama sekali tidak mirip seperti istrinya, Fatimah.
Mukanya lusuh dan pakaiannya tidak beraturan. Sungguh berbeda jauh dengan putri Rasulullah Saw, istri Ali yang bersih dan rapi. Perempuan itu juga tak seperti perempuan pada umumnya. Tingkah lakunya menyuratkan bahwa ia memang benar-benar berbeda.
Ternyata benar, perempuan yang bersama Ali itu benar-benar berbeda. Ia adalah seorang perempuan gila yang ternyata telah melakukan perbuatan tercela, yakni berzina. Walaupun perempuan itu gila dan telah berzina, sepertinya Ali tak sampai berlaku kasar dengan perempuan itu. Bahkan saat Ali membawanya kepada Umar, Ali berjalan mendampingi perempuan gila itu.
Hal ini jelas ditunjukkan dalam redaksi hadis riwayat al-Baihaqi dengan kata “marra bi” yang berarti berjalan bersama.
Sebagaimana para pezina lain, maka hukuman yang berlaku saat itu untuk pelaku adalah rajam. Ali pun bertanya kepada Umar atas hukuman yang diterima perempuan ini. Ia hendak membela hak-hak yang seharusnya diterima oleh perempuan gila ini.
“Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau yang telah memerintahkan seseorang untuk merajam perempuan gila ini?”Tanya Ali.
Umar lantas menjawab, “Benar.”
Ali seketika menyela, “Apakah engkau tidak mendengar sabda Rasulullah Saw, tentang orang ini wahai Amiral Mukminin?”
Ali kemudian melanjutkan dengan mengutip sebuah sabda Rasulullah Saw, “Pena (amal seseorang) diangkat (untuk menulis amal) bagi orang tidur sampai ia bangun, seorang anak kecil ketika ia telah baligh, dan bagi orang gila ketika ia telah sembuh.”
Umar pun tersadar bahwa tidak selayaknya ia memperlakukan orang gila tersebut seperti ini, walaupun sebenarnya ia telah melakukan tindakan tercela, yakni berzina.
Setelah faham dan tersadar, Umar pun melepaskan perempuan gila tersebut hingga ia tidak jadi menerima hukuman rajam.
Dari kisah ini bisa disimpulkan bahwa bagaimanapun tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang gila, sesungguhnya tidak dicatat oleh Allah Swt. Karena sejatinya, mereka berbeda dengan manusia normal lainnya. Sehingga kita tetap harus memperlakukannya secara manusiawi sebagaimana manusia pada umumnya.
Jika ada orang gila diketahui telah melakukan kejahatan, maka tidak ada alasan untuk menistakannya apalagi menyakitinya. Serahkan saja kepada pihak berwenang, dengan tanpa melakukan perlakuan kasar dan merendahkannya. Sebagaimana dicontohkan Ali dan Umar dalam kisah di atas.
Wallahu A’lam.
Disarikan dari hadis riwayat al-Baihaqi dari jalur Ibnu Abbas dalam al-Sunan al-Kubra.