Di Indonesia, nama Nurcholis banyak kita jumpai. Saya sendiri punya beberapa teman yang menyandang nama tersebut. Teman KKN saya di Jogja dulu, yang berasal dari Pati-Jawa Tengah, namanya Nurkholis. Teman saya dari Ciamis-Jawa Barat, aktivis LBH Jakarta, Nurkholis juga namanya. Guru saya di Pesantren Kotagede-Jogjakarta, yang murah senyum, bernama Nurkholis. Sebelum kenal tiga Nurkholis itu, di kampung, Cirebon-Jawa Barat, saya sudah akrab dengan lelaki bernama Nurkholis, yang sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu, yang tak lain saudara sepupu saya sendiri.
Nurkholis, dengan penulisan yang berbeda-beda, adalah nama yang jamak, terutama di kampung-kampung yang memiliki banyak langgar atau di pesantren-pesantren atau sekolah-sekolah yang beremblem kementerian agama.
Tapi, Nurkholis yang anaknya Ki Madjid hanya seorang. Namanya ditulis begibi: Nurcholish Madjid. Nama kedua inilah yang membuat nama depan istimewa. Dan lantaran Nurkholis juga, nama Madjid masyhur. Keduanya tak bisa dipisahkan, seperti nama Abdurrahman yang biasa saja dan Wahid yang lumrah. Tapi jika digabung, Abdurrahman Wahid, mendengar atau membacanya, hati kita bergetar. Ups, tapi jangan disimpulkan ya, bahwa gabungan-gabungan nama itu akan menjadi spesial. Jangan. Karena ada contohnya gabungan dari dua nama yang populer, Susilo dan Bambang, biasa saja orangnya. Nama Susilo Bambang sih tetap bagus, sebagus Nurcholish Madjid atau Abdurrahman Wahid.
Kembali ke nama yang istimewa tadi: Nurcholish Madjid. Saya tidak mengenal orang ini, pernah bertemu, tepatnya melihat langsung, juga cuma sekali, di Jogja, sekitar tahun 2000. Tapi wajah dan suaranya akrab, karena sering muncul di koran dan televisi. Namanya sering muncul dalam obrolan-obrolan tentang keislaman, di kampus-kampus, di media-media, baik nyelip ataupun menjadi tema utama.
Sudah barang tentu, nama Nurcholish Madjid juga “menembus” pesantren. Keduanya punya keterpautan, bukan saja karena Nurkholis Madjid peminat kajian-kajian keislaman dan pesantren sebagai institusi keislaman, tapi karena dia memang anak pesantren.
Nurkholis Madjid itu santri, bukan saja karena pendidikan dasarnya di masjid lalu dilanjutkan di Gontor, tapi ayahnya, Ki Madjid, punya hubungan dengan Hadrotusy Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari.
Latar belakang itulah yang membuat Nurkholish Madjid demikian akrab dengan Gus Dur. Keakraban keduanya bisa dengan saling ngledek dan kritik. Latar belakang itulah yang membuat Nurkholish Madjid dengan Kiai Ilyas Ruchiat saling takdim dan makan sambal pesantren bersama, tentu saja dengan Gus Mus, Kiai Irfan Zidni, Pak Masdar F Mas’udi, dan sebagainya.
Anehnya, nama Nurkholis Madjid di dalam pesantren seperti barang asing. Barang asing itu ya diterima. Tapi menyentuhnya harus hati-hati, bila perlu diletakkan di tempat yang tak terlihat, tak tersentuh.
Teman saya, santri dari Brebes, Jawa Tengah, menceritakan ketika dirinya memegang buku Islam, Doktrin, Peradaban karya Nurkholish Madjid, kiainya berujar, ”Hati-hati, Kang, itu buku Mu’tazilah, ente saja ya yang baca, disembunyikan buku itu.”
Teman saya yang ngaji bareng bahkan mengatakan lebih keras dari dari kiainya teman saya di atas itu, “Oh, itu orang yang mengkritik praktik tasawuf Imam al-Ghozali ya, yang menyepelekan Ta’limul Muta’allim. Temannya Pak Masdar itu ya?” Santri yang fanatik dengan pesantren tradisional bilang, ”Gontor ya memang begitu.”
Pandangan-pandangan tentang Nurkholis Madjid di atas tidak layak jadi pijakan untuk menjauhi sesorang, siapapun dia, apalagi pandangan tersebut bisa ditepis dengan mudah, lebih-lebih masih bisa diajak duduk untuk membuka obrolan.
Bagi santri, membicarakan Nurkholis Madjid itu (mestinya) “mudah”. Makin mudah jika ditambah Mu’tazilah, Imam al-Ghozali, Ta’limul Muta’allim, Pak Masdar, atau Gontor. Semua itu bisa bicarakan, apalagi semuanya disebutkan dengan kalem. Ya dingin-dingin sedikit sih masih wajar-wajar saja. Yang penting dari santri itu kan bukan karena dingan atau hangatnya, tapi karena masih bisa diajak duduk bareng. Wong diajak lari atau ditinggal lari saja, santri itu masih mau kok. Lah yang repot itu kan mereka yang ngatain Nurkholish Madjid merusak Islam, antek Yahudi, bahkan kafir segala. Yang begini-begini susah, jangankan diajak duduk, namanya saja sering kali palsu. Yang begini-begini jauh dari akhlak santri.
Mari kita bicarakan dia. Sekarang waktu yang tepat untuk merefleksikan pemikiran, juga tindak-tanduk Nurcholish Madjid. Akhir Agustus ini kita memperingati haulnya yang kedelapan. Mau membicarakan karyanya, mari. Tulisan-tulisannya banyak. Dia ini ilmuwan yang kita tahu dari karyanya loh, bukan dari hasil menonjol-nonjolkan profesor atau doktor, atau membangga-banggakan almamaternya. Bahkan panggilan “Cak” yang begitu melekat dan akrab, seperti keakraban kita dengan pedagang pecel Lele atau sate ayam langganan kita.
Jika ada perbedaan pendapat, cara dan lain sebagainya dengan dia, itu biasa kan? Tapi kita tidak boleh mengurangi bertemu dan berbicara, persis seperti perbedaan kita dengan tukang pecel Lele langganan, berbeda, tapi saling membutuhkan. Asyik.
Mau membicarakan haliyah-nya juga amat layak. Dia bukan intelektual yang hanya fokus dengan buku-buku, tapi juga memperhatikan tingkah pola dan ucapannya. Ini penting disyiarkan. Sebab, sekarang ini, banyak intelektual yang manis-manis di bibir saja, bicara ini melontarkan itu. Sementara perbuatannya disepelekan oleh diri sendiri dengan alasan perbuatan itu urusan pribadi atau tak ada sangkut pautnya. Banyak kan orang yang semangat mengatakan etika akademik harus dijunjung, tapi di jalanan dan di mana-mana nyorobot-nyorobot? Tak sedikit kan, orang dengan santun mengatakan akhlak pesantren harus disebarkan, tapi cawuk sana cawuk sini?
Keakraban almarhum dengan banyak kalangan adalah bukti dari ilmunya yang tinggi dan akhlaknya yang mulia. Keduanya, ilmu tinggi dan akhlak mulia, merupakan magnet yang amat susah digapai, tapi menyatu dalam diri Nurkholis Madjid. Al-Fatihah..