Banyak orang yang mengamini pernyataan itu. Penduduknya yang ramah, deretan sekolah dan kampus-kampus megah, jajanan dan kos-kosan yang murah—meski tetap selalu menyajikan pengalaman yang meriah—menjadikan rindu selalu lekat bagi mereka yang pernah singgah.
Sayangnya, semakin ke sini, pengalaman itu semakin pelit. Perkaranya bermula dari beberapa hal: milisi sipil semakin menguat, kebencian yang tak kunjung disikat, dan kesadaran hidup rukun dan saling menerima tak lagi dapat tempat.
Minggu pagi, 11 Februari 2018, publik Jogja dibikin kaget karena jemaat gereja St Lidwina di Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta diserang oleh seorang pemuda. Si penyerang, dengan sebilah pedang sepanjang satu meter, masuk dan mengamuk ketika ibadah misa berlangsung di dalam gereja. Empat orang mengalami luka-luka karenanya, termasuk sang pastur.
Tentu, ini adalah preseden yang buruk bagi kehidupan keberagaman di Indonesia, lebih-lebih Yogyakarta. Kota ini lagi-lagi menjadi cermin bagi kita bahwa meningkatnya kehendak dan ekspresi keagamaan belum diiringi dengan semangat toleransi yang memadai. Kejadian ini menambah daftar panjang kekerasan berbasis agama yang terjadi di Yogyakarta.
Akhir bulan lalu, 29 Januari 2018, Ormas Front Jihad Islam (FJI) membubarkan paksa acara bakti sosial yang diselenggarakan Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul. FJI menuding acara bakti sosial itu sebagai upaya kristenisasi. Padahal, acara itu merupakan peringatan catur windu (32 tahun) Gereja Katolik Santo Paulus.
Masih jelas juga di ingatan ketika pertengahan tahun lalu, 10 Mei 2017, ratusan orang datang berkumpul membawa lilin di Tugu Yogya. Aksi damai itu merupakan dukungan untuk Basuki Tjahaja Purnama yang divonis dua tahun penjara. Di tengah-tengah aksi damai, puluhan orang hendak menyerang massa aksi. Oleh polisi, enam orang ditangkap karena ditengarai sebagai provokator. Sebelum pengepungan itu, ancaman disebar lewat grup-grup Whatsapp. Sentimen agama Basuki Tjahaya Purnama dan kasus penistaan agama dipakai kelompok penyerang untuk membubarkan aksi damai itu meski akhirnya digagalkan pihak kepolisian.
Setahun sebelumnya, 24 Februari 2016, FJI mengepung pondok pesantren waria yang diasuh Shinta Ratri. FJI menilai pesantren itu tidak sesuai dengan nilai dan akidah Islam. Mereka memaksa pesantren dibubarkan. Karena tekanan tersebut, pondok pesantren yang berada di Kotagede ini akhirnya ditutup. Padahal, pesantren ini sudah berdiri sejak 2008. FJI adalah kelompok yang sama pernah membubarkan kemah yang diikuti 1500-an pemuda kristiani di Wonogondang, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta pada 5 Januari 2015.
Di tahun yang sama, 14 Juli 2015, Gereja Baptis Indonesia Saman di Sewon, Bantul, dikepung oleh ormas. Mereka menuntut gereja tersebut ditutup karena izin mendirikan bangunan yang belum terbit. Minggu depannya, tepatnya 20 Juli 2015, pintu gereja tersebut dibakar oleh orang tidak dikenal.
Dilansir dari data laporan yang dimiliki LBH Yogyakarta, terdapat beberapa rumah ibadah lain yang juga mendapat perlakuan serupa. Selain kasus soal pendirian patung Yesus di Gereja Katolik daerah Pajangan di Bantul, terdapat pula penolakan Taman Gua Maria di Gunungkidul, serta penolakan Gereja Saman di Bantul, dan penolakan IMB pendirian kantor Klasis.
Dirunut lagi ke belakang, 29 Mei 2014, jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng di Ngaglik yang sedang melakukan kebaktian di rumah Julius Felicianus diserang oleh sekelompok orang bersenjata tajam. Tujuh orang menjadi korban karena kejadian ini.
Diskusi buku pun tak lepas dari serbuan milisi-milisi sipil. Kala itu, 9 Mei 2012, Irshad Manji yang datang mengisi diskusi bukunya Allah: Liberty and Love di LKiS Yogyakarta tak diduga-duga diserang oleh dua ratusan orang dari Majlis Mujahidin Indonesia (MMI).
Membaca kembali kejadian-kejadian ini tidak bisa tidak merupakan kesedihan. Padahal, kekerasan sipil karena beberapa isu lain—seperti klitih, komunisme, rasisme, dan LGBT–masih tak kalah banyak.
Sayangnya, daftar hitam yang semakin memanjang ini hanyalah menjadi angka. Semacam ada simplifikasi kalau kejadian ini adalah murni kriminalitas belaka. Unsur sosiologis dan diskriminasi identitas dan keyakinan seperti ditanggalkan dalam melihat peristiwanya.
Walhasil banyak orang santai saja melihat kejadian demi kejadian. Bahkan, pemerintah sempat tak percaya kalau wajah Yogya sudah sedemikian merah. Tidakkah ini sebuah pertanda bahwa dialog dan kampanye keberagaman harus terus dilakukan agar daftar kekerasan ini tak bertambah panjang?
Saya sendiri cemburu pada KLa Project yang selalu menemukan “tiap sudut bersahabat, penuh selaksa makna” pada tahun 1991 di Yogyakarta. Kini, lagu legendarisnya itu masih sering diperdengarkan, meski sejatinya kondisi tak lagi sama.
Kasus penyerangan yang terjadi di gereja St Lidwina di Trihanggo Gamping Sleman kemarin adalah sebuah tamparan bertubi-tubi untuk pemerintah kota Yogyakarta agar tidak melakukan pembiaran terhadap oknum atau ormas intoleran yang gemar menebar benci dan amuk massa.
Jujur, kami rindu Jogja yang damai, Sultan..
Aziz Dharma, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.