Siapa yang tidak mengenal istilah bilal? Di masjid-masjid pada umumnya, utamanya pada jadwal-jadwal shalat, selain eksisnya nama-nama imam shalat, di sampingnya tentu tertulis: bilal/muadzin. Ternyata sejarah istilah “bilal” itu berasal dari nama seorang sahabat Nabi Saw.
Namanya Bilal bin Rabah. Konon, beliau adalah budak yang dimerdekakan oleh sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallahu ‘anhu. Dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’, disebutkan bahwa Bilal bukanlah pribumi asli Arab. Ada yang mengatakan beliau dari daerah Habasyah (sekarang Ethiopia) ataupun peranakan dari bangsa tersebut. Beliau sangat dibanggakan Nabi, dan termasuk pendahulu orang-orang yang masuk Islam.
Dikisahkan bahwa sebelum dimerdekakan oleh Abu Bakar, ia pernah disiksa oleh tuannya. Ia dijemur di padang pasir, ditindih dengan batu, serta dipaksa untuk menyatakan bahwa Tuhannya adalah berhala-berhala sesembahan kaum musyrik. Namun Bilal mengelak, dan terus menyerukan, ”Ahad, ahad,” sebagai pernyataan ia menyembah Allah yang esa.
Ketika Abu Bakar hendak membelinya, malah sang tuan berkata bahwa ia tak butuh pada budak yang tak patuh dan dijual dengan harga murah. Padahal Abu Bakar tahu, bahwa Bilal adalah pribadi yang mulia, dan kemuliaan seorang hamba terletak pada ketakwaannya, bukan kedudukannya.
Sahabat yang juga turut terlibat dalam Perang Badar ini, diistimewakan Nabi dalam berbagai keterangan yang menyebutkannya adalah penduduk surga.
“Wahai Bilal, beritahu aku tentang amalan favoritmu dalam Islam. Sesungguhnya aku mendengar derap sandalmu di surga,” pinta Nabi kepada Bilal, suatu ketika setelah shalat Subuh.
Bilal menjawab, “Saya tidak melakukan amalan tertentu, wahai Nabi. Kecuali yang paling saya sukai adalah setiap kali usai berwudhu baik malam maupun siang, saya melakukan shalat dua rakaat yang saya wajibkan untuk diri saya sendiri,”.
Karena itulah, dari kisah yang populer dalam kitab-kitab hadis tersebut, beberapa ulama menyebutkan adanya shalat sunnah wudhu, sebagaimana dicontohkan Bilal. Namun tak hanya itu. Bilal yang disebutkan berparas kurang tampan lagi tak begitu berpunya, mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah juga sebab kedudukannya sebagai muadzin di kalangan sahabat.
Muadzin? Ya, pada masa Nabi, ada dua orang yang rutin menjadi penyeru adzan ketika shalat. Selain Bilal bin Rabah, ada satu sahabat lagi yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum.
“Sebaik-baik orang adalah Bilal. Ia adalah pemuka para muadzin di hari kiamat, dan orang-orang yang menyerukan adzan adalah orang yang ‘panjang lehernya’ di hari kiamat,”. Maksud dari “panjang lehernya” di sini adalah ia mendapatkan kemuliaan dan tersohor. Demikian sebagaimana dicatat Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’.
Sahabat yang wafat pada tahun 20 Hijriyah ini memberikan pelajaran bagi kita. Islam mengajarkan bahwa tidak ada pembedaan status maupun etnis dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah, bukan pribumi atau non-pribumi. Sesungguhnya yang paling mulia bagi Allah adalah yang paling bertakwa, bukan karena golongan tertentu.
“Bilal adalah pemuka orang-orang Habasyah dalam Islam,” kata Nabi Muhammad. Tidak ada sikap rasialis dan sektarian dalam Islam, membedakan mana yang pribumi Arab, mana yang bukan, mana yang golongan sendiri, mana yang liyan.
Kemudian, Bilal mendapat kemuliaan di sisi Allah sebab kebaikan-kebaikan sederhana yang ia lakukan. Meskipun tak berpunya, tapi ia memaksimalkan diri untuk istiqamah dalam shalat setelah wudhu maupun menyeru adzan untuk kaum muslimin. Dan dari kebaikan-kebaikan kecil yang tulus, kita tahu bahwa Bilal bin Rabah selalu dikenang dan disebut namanya hingga saat ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas ibadah kita sehari-hari. Wallahu A’lam.