Tanggal 10 Oktober adalah Hari Kesehatan Mental sedunia. Hanya saja, tidak sedikit orang masih mengira bahwa kesehatan fisik dan mental adalah dua hal yang jauh berbeda. Padahal, ada banyak sekali penyakit mental yang disebabkan oleh kondisi fisik yang buruk.
Pun sebaliknya, banyak sekali penyakit fisik yang berangkat dari mental yang mengalami gangguan. Contohnya adalah psikosomatis, gangguan yang banyak terjadi saat pandemi ini. Psikosomatis memungkinkan keluhan fisik yang timbul dari faktor mental seperti stres dan kecemasan.
Di lain pihak, tanpa adanya mental dan fisik yang prima, seorang umat beriman kecil kemungkinan dapat menunaikan ibadah dengan sempurna. Itulah kenapa agama menyediakan skema dispensasi bagi mereka yang udzur (berhalangan), dan bahkan menghukumi “batal” bagi mereka yang bermasalah secara mental.
Beririsan dengan itu, agama pada prinsipnya telah menegaskan bahwa terdapat hal-hal prinsipil yang musti kita jaga dengan sepenuh hati. Ini semata-mata dimaksudkan agar setiap umat Muslim dapat menjalankan ibadah secara khusyu, sehingga memancarkan kebaikan-kebaikan bagi seluruh alam.
Nah, hal-hal prinsip itu lalu diterjemahkan oleh disiplin ilmu ushul fiqh sebagai lima aspek fundamental (maqashid al-khomsah). Ternyata, penerapan maqashid al-khomsah itu dapat pula kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan jiwa dan raga yang selalu sehat, berdasarkan anjuran dari Nabi dan para ulama.
Menjaga Agama (Hifdzu ad-diin)
Menjaga agama dalam kehidupan sehari-hari mewujud lewat instrumen ibadah. Di titik ini, agama seyogianya dimengerti sebagai aspek pertama dan utama yang perlu dijaga karena ia merupakan sumber terbangunnya spiritualitas manusia.
Pasalnya, ajaran tauhid sebagai dasar agama Islam secara mutlak menggambarkan bahwa Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa memiliki kuasa atas segalanya. Apabila segala aspek kehidupan dapat dihubungkan melalui keyakinan (iman), islam (kepasrahan), dan ihsan (karakter) yang selalu tertuju kepada-Nya, maka kehidupan kita secara menyeluruh juga akan terjaga.
Hasbunallahu wa ni’mal wakil. Cukuplah Allah sebagai pelindung jiwa dan raga. Dengan selalu meyakini prinsip ini, maka jiwa akan tenang dan nyaman dalam menjalani hidup.
Menjaga Jiwa (Hifdzu an-nafs)
Jiwa manusia terbagi menjadi dua komponen, yaitu jism (badan) dan ruh. Keduanya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas manusia secara penuh. Berbagai cara menjaga jiwa telah diajarkan oleh para Nabi dan Ulama terdahulu.
Imam As-Syatibi dalam kitab al-Muawafaqaat menjelaskan bahwa keberhasilan dalam menjaga jiwa terdapat dalam tiga pengertian, yaitu: berketurunan dengan upaya yang sesuai syariat; makan dan minum untuk menjaga eksistensi; serta pakaian dan tempat tinggal untuk menjaga keamanan diri.
Senada dengan itu, Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa olahraga merupakan salah satu cara menjaga jiwa dengan tujuan kebugaran dan kekuatan tubuh.
Dan, sebagai umat Muslim kita musti meyakini bahwa cara yang cukup efektif untuk menjaga jiwa adalah mengikuti gaya hidup ala Nabi. Bagaimana cara Beliau SAW makan, tidur, olahraga, dan bergurau untuk menghilangkan penat adalah gaya hidup sehat yang sah kita teladani. Tak lupa, bepergian (safar) juga bisa menjadi sarana rekreasi untuk menyegarkan jiwa yang lelah dari rutinitas sehari-hari.
Menjaga Akal (Hifdzu al-‘Aql)
Akal merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah kepada manusia dan menjadi kekuatan pembeda dibanding makhluk lainnya. Imam Al-Ghazali menjelaskan, akal menjadi salah satu aspek yang perlu dijaga karena merupakan alat pemahaman, pembawa kepercayaan, dan tempat bagi pengetahuan.
Menurut Imam Syafi’i, menjaga akal dapat dicapai dengan beberapa cara yang telah disyariatkan, yaitu belajar dan mengajar, menghindari khamr dan obat-obatan terlarang, bermain-main hingga melalaikan diri dari ibadah (disebutkan larangan untuk bermain dadu dan catur).
Dengan demikian, menjaga akal dapat dilakukan dengan cara senantiasa mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat dan manajemen waktu yang baik. Mengisi waktu untuk mencari atau mengajarkan ilmu dan bermain seperlunya dapat menjadi langkah awal agar kesehatan akal (pikiran) tetap terjaga dalam hal-hal yang positif. Dengan melakukan dan memikirkan hal-hal yang positif, maka peluang untuk mengalami berbagai gangguan mental seperti depresi dapat dihindari.
Menjaga Keturunan (Hifdzu an-Nasl)
Lingkungan terdekat seorang individu adalah keluarga dimana keturunan bersumber dan terhimpun di dalamnya. Tidak jarang, gangguan mental yang mendera seseorang umumnya bersumber dari hubungan dalam keluarga yang tidak sehat.
Sebagai contoh adalah seorang anak menderita depresi karena kekerasan fisik yang terus-menerus dilakukan oleh ayahnya. Dengan demikian, diperlukan muhasabah secara bersama dalam sebuah keluarga untuk meninjau ulang: apakah semuanya telah benar dan baik-baik saja? Atau, adakah luka yang masih terpendam antar anggota keluarga yang membekas? Sudah sehatkah mental anak dengan pola asuh yang terbangun?
Menjaga keturunan juga dapat dimulai sebelum menikah dan membangun rumah tangga. Dengan senantiasa menjaga diri dari maksiat, menghindarkan diri dari zina, dan meningkatkan kualitas diri sebagai persiapan menjadi orangtua juga semestinya dilakukan.
Menjaga Harta (Hifdzu al-Maal)
Imam As-Syatibi memberikan pengertian menjaga harta dengan perhatian terhadap masuk dan berkembangnya harta yang dimiliki, dan melakukan pembatasan terhadap pengeluaran kebutuhan. Literasi mengenai kesehatan finansial perlu dipelajari untuk menjaga agar keuangan individu dan keluarga tetap terjaga. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mental yang sehat juga dipengaruhi oleh finansial yang sehat pula. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor ekonomi juga dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Dengan kesehatan finansial yang baik, kebutuhan primer, sekunder, dan tertier individu dapat terpenuhi sehingga kesejahteraan fisik dan psikologis tercapai. (AK)