Ada salah satu kisah menarik di balik munculnya sebuah hadis Nabi SAW tentang sedekah. Suatu ketika, para sahabat saling menunjukkan besaran nilai sedekahnya masing-masing. Si A menunjukkan nilai sedekahnya kepada si B, begitupun sebaliknya, tidak ada tujuan kecuali untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Sementara para sahabat masih sibuk membahas sedekahnya masing-masing, sahabat lain terdiam diri. Ia merasa belum melakukan sedekah apapun. Sehingga ia tidak bisa bercerita kepada sahabat yang lain. Sahabat ini kemudian melaporkan masalah yang ia alami kepada Rasulullah Saw.
“Wahai Rasul, saat para sahabat lain sedang giat-giatnya bersedekah, aku diam saja. Hanya aku yang tidak bersedekah. Aku tidak bersedekah bukan karena aku tidak mau, tapi aku tidak mampu. Jangankan bersedekah, untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari saja aku tak mampu.”
Mendengar pertanyaan sahabat nabi tadi, Nabi kemudian meyampaikan sabdanya:
«تَبَسُّمُكَ فِي وجْهِ أخِيكَ صَدَقَةٌ»
“Senyummu kepada saudaramu itu sedekah.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Sahih Ibn Hibban, diriwayatkan juga oleh Imam al-Bukhari dalam kitabnya yang lain, yaitu al-Adab al-Mufrad, diriwayatkan juga oleh Imam al-Tirmidzi dalam matan yang lebih panjang.
Dalam hadis yang lebih lengkap dijelaskan bahwa sedekah itu bukan hanya senyum saja. Dalam al-Jami’ al-Saghir karya al-Suyuthi dijelaskan beberapa hal lain yang bisa disebut juga sebagai sedekah.
تَبَسُّمُكَ فِي وجْهِ أخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ وأمْرُكَ بالمعررف ونَهْيُكَ عنِ المنْكَرِ صَدَقَةٌ وإرْشادُكَ الرَّجُلَ فِي أرْضِ الضَّلالِ لَكَ صَدَقَةٌ وإماطَتُكَ الحَجَرَ والشَّوْكَ والعَظْمَ عَن الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ وإفْراغُكَ مِن دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
Artinya, “Senyummu kepada saudaramu itu sedekah. Mengajak orang lain agar menjalankan hal ma’ruf dan meninggalkan hal mungkar juga sedekah. Menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat juga sedekah. Menyingkirkan batu dan duri dari jalan juga sedekah. Menuangkan isi embermu ke ember orang lain juga sedekah.”
Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra dan juga diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِى بُرْدَةَ بْنِ أَبِى مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ. قَالُوا : فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ : فَيَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ. قَالُوا : فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَوْ لَمْ يَفْعَلْ قَالَ : فَيُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ. قَالُوا : فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ قَالَ : فَيَأْمُرُ بِالْخَيْرِ أَوْ قَالَ بِالْمَعْرُوفِ. قَالُوا : فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ قَالَ : فَلْيُمْسِكْ عَنِ الشَّرِّ فَإِنَّهُ لَهُ صَدَقَةٌ
“Wajib bagi setiap muslim untuk bersedekah.” Kemudian beberapa orang bertanya, “Jika kita tidak mampu wahai Rasul?” Rasul kemudian menjawab, “Bekerjalah dengan tangannya sendiri, kemudian bermanfaat bagi dirinya dan bersedekah.” Mereka kemudian bertanya kembali, “Jika tidak bisa wahai Rasul?” Rasul pun menjawab, “Maka boleh dengan menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan.” Mereka masih saha bertanya, “Jika tidak dikerjakan wahai Rasul?” Rasul menjawab, “Maka boleh dengan meneggakkan kebenaran atau mengatakan yang jujur.” Mereka bertanya kembali, “Jika masih belum bisa melakukan?” Rasul menjawab, “Maka sebaiknya mencegah untuk berbuat kejelekan, karena hal itu bernilai sedekah baginya.” [lihat: Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, (Hederabad: Majelis Dairah al-Maarif, 1344 H), j. 4, h. 188.]
Setidaknya dari hadis di atas, ada empat hal yang bisa dilakukan seseorang sebagai amalan pengganti sedekah.
Pertama, bekerja kemudian dari hasil kerjaan tersebut bisa bermanfaat bagi dirinya kemudian bersedekah.
Kedua, menolong orang yang sedang membutuhkan bantuan.
Ketiga, menegakkan kebenaran dan berkata jujur.
Keempat, menahan diri agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
Berdasarkan hadis tersebut, Badruddin al-Aini dalam Umdatul Qari fi Syarhi Sahih al-Bukhari menjelaskan bahwa sedekah merupakan bentuk kasih sayang kepada makhluk Allah Swt. Dan bentuk kasih sayang tidak hany dihasilkan dari harta, bisa juga dari amalan atau perilaku kita.
يستفاد منه أن الشفقة على خلق الله تعالى لا بد منها، وهي إما بالمال أو بغيره، والمال إما حاصل أو مقدور التحصيل له والغير، إما فعل، وهو: الإعانة، أو ترك وهو: الإمساك، وأعمال الخير إذا حسنت النيات فيها تنزل منزلة الصدقات في الأجور ولا سيما في حق من لا يقدر على الصدقة، ويفهم منه أن الصدقة في حق القادر عليها أفضل من سائر الأعمال القاصرة على فاعلها
“Dari hadis tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa kasih sayang kepada makhluk Allah merupakan sebuah keharusan. Hal ini bisa dilakukan dengan harta atau sesuatu yang lain. Adapun kasih sayang dengan harta bisa atau mampu bermanfaat bagi pemberi dan yang lainnya (penerima). Dan juga bisa dilakukan dengan amalan atau tindakan, yaitu dengan menolong atau meninggalkan, yakni seperti menahan (agar tidak berbuat jelek kepada orang lain). Adapun perbuatan-perbuatan yang baik jika dilandasi dengan niat yang baik maka setara dengan pahala bersedekah, khususnya bagi orang yang tidak mampu untuk bersedekah. Dan bisa difahami bahwa sedekah yang sesuai dengan kemampuan lebih utama daripada banyak amalan akan tetapi hanya terbatas (manfaatnya) bagi orang yang mengerjakannya saja.” [lihat; Badruddin al-Aini, Umdatul Qari fi Syarhi Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.t.), j. 8, h. 312.]
Inti dari pernyataan al-Aini di atas adalah bahwa setiap hal baik, misalnya sedekah sesuai kemampuan jika dilandasi dengan niat baik dan bermanfaat bagi orang lain, maka pahalanya setara dengan pahala sedekah serta lebih baik daripada banyaknya amalan akan tetapi hanya bermanfaat pada diri sendiri. (AN)
Wallahu a’lam.