Memasuki dan menuju 30 hari penanganan COVID-19, kebijakan dan tindakan pemerintah Indonesia terhadap krisis kesehatan akibat COVID-19 mulai terlihat kuat dan koheren. Namun masih kurang cepat dan kurang memadai dibanding kebutuhan warga dan kebutuhan untuk mencegah perluasan dampak sosial ekonominya. Indikasinya adalah 3 hal: (i) Ketersediaan dan kecukupan alat alat kesehatan termasuk alat tes dan ventilators serta jumlah tenaga kesehatan. (ii) Kurangnya kepaduan informasi antar lembaga pemerintah dan (iii) Kurangnya jaminan sosial bagi warga dan insentif kemudahan bagi industti dan UMKM.
Secara angka, penanganan COVID-19 masih belum banyak berubah menjelang hari ke-30. Hal ini menyebabkan persentase angka kematian (CFR) Indonesia terus berada dalam lima besar global dengan angka 8,4%. Situasi korban per 30 Maret terus melonjak, yaitu 1.414 orang terinfeksi, 75 orang sembuh dan 122 orang meninggal (8,4%).
Ketidakcukupan fasilitas penanganan kesehatan COVID-19 masih mengkhawatirkan. Lima organisasi tenaga kesehatan (IDI, PDGI, PPNI, IBI dan IAI) mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, yang menegaskan bahwa alat pelindung diri (APD) sifatnya mutlak dibutuhkan begitupun keadilan distribusinya. Jika prioritas ketersediaan fasilitas testing masih belum mencukupi, maka sebaiknya perlindungan kepada tenaga kesehatan menjadi prioritas utama.
Pemerintah Indonesia tidak hanya kekurangan APD, tetapi juga ventilator. Menteri Mahfud MD bahkan menyebutkan bahwa kasus kematian COVID-19 yang terjadi di Indonesia akibat kekurangan ventilator (Tirto.id, 27 Maret). Prioritas dukungan dan kemudahan hendaklah diberikan bagi industri produksi alat kesehatan seperti masker, baju hazmat, ventilator dan sebagainya untuk mencukupi kebutuhan alat kesehatan
Ketersediaan dan fasilitas tes hendaknya dipercepat. Situasi per 30 Maret di Indonesia, jumlah spesimen tes warga yang dilakukan baru mencapai 6.534, dengan kasus infeksi 1.414 (data web kemenkes) – persentase tes dengan kasus infeksi yaitu 22%.
Membandingkan dengan Filipina yang berada di bawah Indonesia, tes sampel yang diperiksa mencapai 3.303, dengan positif 1.545 (47%). Thailand telah melakukan pengetesan sebanyak 16.531 dengan jumlah positif 1.245 (9%). Malaysia telah melakukan pengujian sebanyak 39.663 dengan positif 2.626 (7%). Praktek pengetesan dalam jumlah besar dapat membantu mengetahui tingkat kasus yang telah terjadi. Di beberapa kasus, dengan jumlah pengetesan yang tinggi, dapat membantu menurunkan jumlah tingkat kasus infeksi yang terjadi.
Di sisi lain, kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat telah muncul, akan tetapi belum diikuti kecukupan informasi dan diseminasi dari pemerintah. Contoh, kegiatan penyemprotan desinfektan. Upaya dan anjuran pemerintah telah mendapatkan dukungan secara swadaya dari warga, namun tanpa diimbangi dengan kecukupan informasi dan sosialisasi baik prosedur, takaran serta dampaknya pada manusia. Padahal, desinfektan semestinya digunakan pada benda tak hidup, dan antiseptik dipakai untuk tubuh manusia. WHO bahkan menyebutkan penyemprotan desinfektan ke tubuh seseorang dapat melukai selaput lendir (seperti mulut)
Meskipun demikian, apresiasi penanganan di tengah krisis COVID-19 perlu diberikan kepada pemerintah. Keberadaan fasilitas rumah sakit darurat COVID-19 sebagai lokasi penyembuhan dan isolasi telah dilakukan di Wisma Atlet Kemayoran. Hotel BUMD provinsi DKI Jakarta juga telah dialihfungsikan sebagai tempat inap bagi tenaga medis. Inisiatif lainnya yang patut diapresiasi adalah Presiden telah memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan sebagai bagian jaminan sosial bagi tenaga kesehatan.
Penanganan dampak sosial ekonomi bagi pekerja dan warga kelompok rentan ekonomi bawah, masih belum terlaksana dan dirasakan. Hingga saat ini, pemerintah masih belum lugas karena masih adanya tarik ulur keputusan lintas kementrian dan lembaga pemerintah.
Sebagai contoh, pemerintah berkoordinasi dengan OJK, masih berupaya menggagas implementasi kelonggaran cicilan berupa kendaraan bermotor untuk tujuan produktif bagi para supir online serta nelayan. Pada kesiapan BLT, tambahan dana kepada keluarga miskin dan kelompok rentan yang terdampak COVID-19 juga baru hendak diberikan di bulan April mendatang. BLT ini direncanakan akan diberikan kepada 15,2 juta keluarga yang terdaftar sebagai penerima bantuan pangan nontunai (BPNT).
Di beberapa negara, pencegahan dampak ekonomi menjadi prioritas utama bersama dengan penanganan kesehatan. Singapura misalnya, mengumumkan paket stimulus COVID-19 “Resilience Budget” sebesar US$ 33 miliar dari cadangan negara, dimana sepertiganya untuk mendukung pekerja dan bisnis yang terdampak langsung dengan menaikkan skema upah. Bantuan jaring pengaman juga diberikan kepada wiraswasta dan pemberian tunai kepada semua warga diatas 21 tahun. Besaran nilai dan penerima manfaat, haruslah cepat diputuskan agar keadaan krisis COVID19 tidak membebani sosial ekonomi masyarakat.
Alokasi Stimulus COVID-19 dengan Besaran Nilai dan Persentase di Beberapa Negara
“Pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan afirmatif khusus untuk melindungi warga rentan. Afirmasi kepada kelompok warga lanjut usia (lansia) dan disabilitas yang rentan usia dan kondisi kesehatan, termasuk ketahanan ekonominya,” tutur Bona Tua, Program Officer SDG INFID.
Perlindungan ini, lanjutnya, bisa mencakup layanan kesehatan, bantuan pangan non-tunai melalui jemput bola hingga tunjangan pendapatan bulanan selama periode April dan Mei (sesuai Periode Darurat Bencana Wabah Virus Corona Pemerintah).
Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti senior dan Direktur INFID, Sugeng yang menyatakan bahwa, kita sebagai publik menunggu kebijakan publik yang kuat melindungi warga dan merawat harapan rakyat Indonesia. Salah satu caranya, adalah dengan memanfaatkan modal sosial dan peran masyarakat dalam penanganan COVID-19.
“Test Massal di Kota Besar bisa dengan melibatkan RS dan Klinik Swasta dan RS dan Klinik lembaga sosial keagamaan (NU, Muhammadiyah, dll) dapat mencapai tujuan efektivitas dan legitimasi. Pada masa krisis ini semua pihak perlu bahu-membahu ikut serta mengatasi masalah,” tambahnya.
Untuk mempercepat penanganan Covid-19, dan mencegah dampak sosial ekonomi yang dapat menjadi tidak terkendali, mengutip dari usulan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh jajaran pemerintah dan pihak berwenang untuk :
- Test Massal segera dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia termasuk DKI Jakarta dalam jumlah sedikitnya 500.000 orang dengan melibatkan dan membuka/melibatkan RS dan Klinik swasta termasuk RS dan Klinik lembaga-lembaga sosial keagamaan sebagai modal sosial Indonesia, seperti RS dan Klinik dibawah NU, Muhammadiyah, dan sebagainya
- Memastikan investasi dan penambahan alat kesehatan dan segera untuk semua RS dan Klinik di 10 Kota besar di Indonesia, seperti APD, ventilator dan sebagainya untuk memastikan perawatan yang memadai bagi warga di pusat dan daerah.
- Dukungan insentif dan kemudahan bagi industri untuk beralih produk untuk produksi kepada alat kesehatan darurat seperti masker, baju hazmat, ventilator dan sebagainya untuk mencukupi urgensi pengadaan dan produksi alat kesehatan. Realokasi APBN secara lugas segera diputuskan dan dilaksanakan.
- Percepatan realiasi tunjangan pengangguran bagi warga yang ter-PHK, terkena dampak kelesuan ekonomi akibat social distancing, setidaknya untuk dua juta pekerja selama empat bulan
- Penguatan informasi pencegahan dan penanganan COVID-19 kepada warga dan pemerintah daerah untuk mencegah kesalahan penanganan. Termasuk informasi rujukan satu pintu terkait prosedur dan mekanisme akses pelayanan penanganan kesehatan akibat COVID-19 yang beban anggarannya ditanggung oleh Negara