Islam dan Internet (II): Paceklik Kejumudan dan Autentisitas Agama

Islam dan Internet (II): Paceklik Kejumudan dan Autentisitas Agama

Islam dan Internet (II): Paceklik Kejumudan dan Autentisitas Agama

Pergumulan Islam tradisional dengan teknologi memperlihatkan peralihan sekaligus menjawab poros yang menyebut Islam menghadapi ‘paceklik kejumudan peradaban’.

Secara teologis, penolakan kejumudan berkaitan dengan kaidah al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah artinya melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Kaidah tersebut biasanya diperhalus dengan kaidah khudz ma shofa wa da’ kadara, ambil yang jernih dan tinggalkan yang keruh.

Berpijak pada kaidah itu kaum Islam tradisional cenderung reaktif terhadap perubahan sosial. Keyakinan determinan yang terartikulasikan dari keyakinan teologis itu membuat perubahan dalam ranah internal cenderung lamban.

Pola yang masih dipelihara adalah sikap korektif dan berhati-hati terhadap gempuran kemajuan zaman yang, dalam konteks ini adalah kemajuan teknologi dan informasi. Ditambah dengan pengaruh sikap ‘kepatuhan’ kiai yang begitu kuat berupa pola atau unsur yang dalam bahasa Clifford Geertz disebut sebagai penyaring kebudayaan (cultural broker).

Tidak berhenti di sana, adopsi teknologi pesantren mempengaruhi desain besar media baru yang mereka kelola. Sejauh yang penulis dalami, penyusunan strategi media pesantren masih terkesan dikelola secara ala kadarnya, aksidental dan reaktif terhadap berbagai terpaan isu fenomena sosial-keagamaan, mengesankan bahwa pengadopsian teknologi dalam taraf tertentu masih sangat lamban dan minim.

Sialnya, grand desaign yang diusung dengan tagline “Islam rahmatan lil ‘alamin” kurang terlihat dominasinya di setiap konten yang disuarakan dan didistribusikan. Sebab narasi yang dipakai hanya narasi-narasi nostalgik. Meskipun teladan melalui kisah-kisah keulamaan tidak bisa dinafikan.

Dalam nomenklatur pembahasan kontestasi identitas Islam tradisional di ruang digital, secara pedagogis, menurut Nurcholish Madjid (1997) pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang bertujuan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.

Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki fungsi sebagai berikut; (1) lembaga pendidikan yang melakukan transfer dan transformasi ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values), (2) lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), (3) lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).

Melalui beberapa fungsi transmisi keilmuan, pesantren dalam perannya di era sekarang melalui media baru berjalan berkelindan dengan dakwah virtual keagamaan. Sementara itu, menilik paham keagamaan yang variatif berdasar pada mazhab yang diyakini, memberikan distingsi atas klan-klan keagamaan secara terpisah.

Bukan rahasia umum ketika kemudian term #bukangolongankami yang dipromosikan oleh @tretanmuslim pada dua tahun silam melecut perdebatan gradual umat Islam. Larangan untuk mengkritik agama sekilas tidak mahal di Indonesia. Namun, itikad untuk bertindak preventif masih saja menjadi kendala utama.

Selain saluran dakwah, media sosial juga memiliki peran sebagai medium kritik agama. Penyebabnya sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh corak keberagamaan di Indonesia. Islam Indonesia, dalam taraf ini, dikatakan tidak bisa berbuat lebih selain reaktif terhadap gejala kekerasan beragama.

Fakta larangan mengkritisi agama sekilas menunjukkan geliat pasar bebas literatur keilmuan agama (religious knowledge) yang diproduksi individu ataupun organisasi keagamaan memasuki fase membanjiri linimasa post-modern yang kering akan spiritualitas (Haidar Bagir, 2000).

Beberapa dari pengetahuan keagamaan di internet itu mempunyai akar referensinya masing-masing, ada yang tarbawi, salafi, jihadis, puritanisme agama, dan Islamisme populer mengembang menjadi online fatwa.

Di sini, penguatan moderasi agama dinilai penting. Makna fatwa itu bervariasi, ada fatwa untuk berjihad dan fatwa yang dimaksudkan sebagai penetapan hukum Islam yang seakan-akan fardu untuk ditepati.

Persoalannya kemudian, setelah berganti rupa, bagaimana cara mendulang otoritas dan keontentikan agama di era digitalisasi kini dan nanti? Geliatnya kian menjadi perhatian mengingat fungsi media sosial sebagai media sosialiasi sekaligus media propaganda, maka jadi menarik kiranya melihat fenomena perkembangan diskursus Islam tradisional dan kontestasinya dengan aliran lain di publik digital.

Marshal Mcluhan sebagai teoritisi sosial yang concern terhadap perubahan sosial dan media menyebut media sebagai perluasan manusia (the extensions of man), baik dari aspek psikis maupun aspek fisik yang dimiliki manusia.

Setiap komunitas, menurut Van Dijk (1999) memiliki struktur partikuler dan aktivitas, oganisasi sosial, bahasa dan model berinteraksi, dan digolongkan sebagai kepemilikan budaya dan identitas. Sama halnya ketika tatanan demikian dihadapkan dalam konteks komunitas virtual, masyarakat memiliki komponen tatanan sosial yang dikonstruksi atas nilai-nilai ajaran yang diyakini. Tidak aneh apabila kontestasi itu ada.

Hal ini tercermin di saat kita ikut merasakan media sosial yang dikelola oleh komunitas pesantren dan media yang dikelola oleh komunitas non-pesantren. Perbedaan dari media pesantren dan non-pesantren adalah selain mereka didekte oleh etika jurnalisme, kontrol yang bersumber dari nilai pesantren juga tertata dalam setiap nilai konten-konten. Bahkan di beberapa media sosial pesantren, nilai-nilai pesantren relatif lebih mendominasi daripada nilai-nilai jurnalisme.

Begitu pula dengan produk jurnalisme kalangan Islamis Sabili, yang dalam temuan Janet Steele (2017) mereka lebih suka membingkai nilai keislaman daripada nilai-nilai jurnalistik dalam penyebaran ajaran Islam melalui media laring maupun daring. Sebab itu, komponen yang dibawa oleh media sosial pesantren berwajah media dakwah. Hal yang paling diprioritaskan adalah ajaran pesantren tersampaikan tanpa memperhatikan nilai-nilai jurnalisme. Kesenjangan antara Islam dan nilai profesionalisme jurnalistik tidak menyeluruh tersampaikan.

Sedangkan Muhammad Najib (2017) berpendapat bahwa etika bermedia dalam Islam merumuskan pentingnya tabayun sebelum membenarkan dan menyebarkan informasi. Urgensitas tabayun di sini salah satunya berfungsi untuk pengembalian marwah dalam persaudaraan sesama umat. Hal ini dikarenakan tidak sedikit netizen mencoba untuk melintirkan atau menyelewengkan kebenaran (hoax) demi kepentingan tertentu.