Malam 17 Ramadhan kala itu di kaki gunung Gua Hira Muhammad SAW (belum menjadi Rasul) menerima “surat cinta” pertama dari Tuhan lewat bisikan Jibril yang disebut nuzul al-Qur’an. Terdengar oleh Nabi SAW iqra’ (bacalah wahai Muhammad) sekian kali perintah membaca, acap itu pula Nabi SAW selalu menjawab ma ana bi qaari’ (saya tak bisa membaca). Meskipun sebagian menilai Nabi sedang menanyakan pada Jibril apa yang dia mau baca bukan tak bisa membaca.
Lalu apa kaitannya perintah membaca dengan isi wahyu yang didengar dan diterima Iqra bismi rabbika (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.!!). Perlu kembali menarik sejarah awal al-Qur’an turun kepadanya dalam rangka dan tujuannya apa? Perintah membaca sama sekali dan bukanlah tujuan sekedar dibaca, dilafalkan hingga ditamatkan. Jika ia dipahami demikian, berarti memisah jarak dari tujuan awal Qur’an dengan umat manusia
Al-Qur’an sering menceritrakan dirinya hudan linnas (petunjuk bagi manusia) ketimbang bacaan. Ia menampilkan sisi kemanusiaannya, keramahan dan nasihatnya, lihat QS. al-Isrâ`[17]:9, QS. al-A’râf [7]:52, QS an-Nahl [16] 89). Imam Ali dalam dawuhnya : inna hadza al Qur’ana huwa al nashih alladzi laa yagusysyu, wa al hadi alladzi laa yudhillu, wa al muhadditsu alladzi laa yakdzibu (Al-Qur’an kitab suci yang memberi nasihat tapi tak menipu, petunjuk yang tak menyesatkan, dan pembawa berita yang tak berdusta).
Bahkan, kata Iqra bismirabbika jika ditelisik ke dalaman maknanya, tak berorientasi membaca (seperti teks) tapi bacaan, pendalaman, penghayatan dan perenungan. Mengapa mesti bacalah? Tapi bismi rabbik (menyebut nama Tuhanmu) bisa jadi ada orang yang membaca firman-Nya, tapi melupakan dan lalai yang empunya Firman itu sendiri. Ia akan dikategori demikian, jika suara merdu, lembaran ayat al-Qur’an ia bicara tentang keramahan, tapi dirinya pemarah dan penuh dengan dendam.
Atau banyak orang yang membaca bahkan berlomba lomba menamatkan tapi abai bismirabbik. Mengapa? setiap seduran firman yang dibaca ia tak paham makna dan pesannya, ia menyibukkan dengan menghafal dan menghiasi nan merdunya sehingga nilai petunjuk tak tersingkap dalam benak pikirannya. Karena iqra (bacalah) perintah untuk memahami dan mendalami makna al-Qur’an.
Karena itu, membaca al-Qur’an baik dan sangat baik, tapi ia tak sekedar diperlakukan “bacaan” karena mengejar pahala berlipat ganda. Al-Qur’an tak menjangkau sisi kemanusian, keadilan dan toleransinya jika ia hanya sekedar hafalan dan suara merdu. Menghadirkan nilai al-Qur’an (sikap, perilaku, dan pola pikir) dalam lingkungan hidup jauh lebih mulia dan bermartabat disisi Tuhan ketimbang orang yang hanya sekedar membaca dan berlomba-lomba menamatkannya. Tapi akan lebih paripurna, jika bacaan benar dan merdu, semangat al-Qur’an pun dihadirkan. Kam min Qaariin Qur’anun yal’anuhu (betapa banyak orang yang membaca al-Qur’an, tapi Qur’an sendiri yang mengutuknya).