Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya tentang “Pro-kontra Zionisme di Kalangan Yahudi.”
Pembahasan tetap tentang respon kaum yahudi terhadap Zionisme, tapi fokusnya tidak tentang kaum sekuler yahudi, melainkan kaum religiusnya. Sebelum masuk ke persoalan zionisme, ada baiknya kita bahas dulu apa dan siapa kaum yahudi orthodoks itu.?
“Orthodox judaism” mengacu pada reaksi penolakan sebagian kaum yahudi terhadap Reform Judaism dan yahudi sekuler di Eropa awal abad 19. Dalam tulisan saya di atas, sudah paparkan bagaimana reaski kaum yahudi Eropa terhadap Pencerahan dan modernitas. Bagi sebagian kaum yahudi, Pencerahan adalah kesempatan untuk mendapatkan emansipasi penuh sebagai warga negara
Kaum Yahudi yang antusias dengan modernitas yang tergabung dalam Haskalah (Pencerahan Yahudi) menyerukan tafsir ulang total terhadap Judaisme. Dari situlah muncul Reform Judaism, yang ditandai dengan berdirinya synagog “liberal” di Hamburg-Jerman awal abad 19.
Prinsip utama Reform: ke-yahudi-an dipandang sebagai sistem etika, ketimbang sistem hukum agama (halakhah). Kaum Reform berpendapat, yang sakral hanyalah “Torah tertulis” (Perjanjian Lama). selebihnya adalah formulasi manusia. Artinya, di mata Reform, hukum dan tradisi yahudi, yang dasarnya Torah lesan (Talmud) bisa direvisi, atau diubah sesuai zaman. Atas dasar itu, kaum Reform melancarkan pembaruan agama yahudi, misalnya mengganti bahasa hebrew/Ibrani dalam ibadah dengan bahasa jerman. Aturan-aturan makanan minuman (kashrut), khitan, ornamen sinagog dan lain-lain juga direvisi, agar kompatibel dengan modernitas.
Pembaharuan Judaisme oleh Reform mendapat sambutan luas di Jerman, tetapi juga penolakan dan kritik tajam. Penolakan keras datang dari kelompok yang disebut kaum Orthodox, yang kemudian terpecah dalam dua aliran utama. Di mata kaum yahudi orthodox, Reform sudah melakukan “protestantisasi” terhadap judaisme, dan hal itu dianggap kebablasan. Dengan melucuti judaisme dari tradisi dan hukum agama (hakakhah). Reform mereduksi Judaisme sebagai semata iman personal (Protestanisasi)
Sebagai reaksi terhadap Reform, kaum yahudi orthodox menegaskan komitmennya terhadap halakah dan tradisi yahudi, yang berdasar Talmud. Keyahudian bagi kaum orthodox: kepatuhan terhadap hukum agama yahudi (halakhah), yang mengatur seluruh aspek hidup. Tapi bagaimana memaknai “patuh terhadap halakhah” dalam konteks modern? Orthodox Judaism juga terbelah jadi dua aliran utama.
Aliran pertama adalah neo-orthodoks yang dipelopori rabbi hirsch di jerman. semboyannya: Torah im derekh Eretz, Artinya, Torah dengan jalan atau cara dunia. Torah memang mengatur semua aspek hidup. Tak ada pemisahan agama dan dunia, tapi cara hidup yang berbasis Torah tersebut harus juga mengakomodasi cara hidup duniawi yang modern juga, Dengan kata lain, kaum neo-orthodox tidak menolak modernitas secara serta merta, tetapi modernitas tersebut mesti diberi muatan religius, neo orthodox patuh terhadap halakhah, dan tidak menolak modernitas, tapi modernitas tersebut diberi cita rasa yahudi.
Sikap tersebut berbeda dengan aliran ultra-orthodoks, yang juga disebut haredim (mereka yang gemetar bila menzikirkan Yahweh) kaum ultra orthodox menekankan kepatuhan terhadap hukum yahudi secara ketat, dan menarik garis batas dengan modernitas. Dipelopori oleh rabbi chatam sofer, kaum ultra-orthodox bersemboyan: hadash asur min ha Torah: kebaruan itu dilarang dalam Torah. Kaum ultra Orthodo, banyak di Hungaria dan Eropa Timur lain, menegaskan identitas keyahudian melalui pakaian, bahasa hebrew . Singkatnya, dalam rangka menolak Reform, kaum yahudi orthodox menegaskan pentingnya identitas keyahudian berbasis halakhah.
Bagaimana kaum Yahudi Orthodox merespon Zionisme, gerakan nasionalis yahudi yang muncul pertengahan abad 19? Zionisme adalah gerakan nasionalisme yahudi yang diilhami romantisisme Jerman abad 19, oleh karena itu Zionisme berwatak sekuler. Zionisme yang dirintis Herzl muncul sebagai respon terhadap antisemitisme yang marak di Eropa. Menurut herzl, kaum yahudi jadi target serangan antisemit karena sebagai bangsa mereka tidak punya negara sendiri. Herzl lantas menawarkan ide negara yahudi, dengan model negara swiss yang sekuler. Menurut herzl, di negara yahudi yang dibangun di tanah zion wewenang rabbi dibatasi, tidak boleh mengendalikan kehidupan publik yahudi. Herzl mendambakan negara modern yang memisahkan agama dan negara.
Bagaimana respon kaum agama di kalangan yahudi (orthodox dan Reform) terhadap zionisme? Menarik untuk dicatat, secara umum kaum Reform dan Orthodoks sama-sama menolak Zionisme, meski dengan alasan yang berbeda. Kaum Reform menolak zionisme, karena bagi mereka, kebangsaan yahudi hanyalah konstruksi sejarah, yang tidak permanen dan bisa ditafsir ulang. Kaum Reform melihat keyahudian tak lagi sebagai bangsa, melainkan individu-individu. Ini sejalan dengan prinsip individualisme modern. kaum Reform memaknai Zion tidak lagi sebagai tanah israel sebagai tanah air di mana mereka tinggal. Kota berlin sama dengan yerusalem baru mereka. Itu sejalan dengan prinsip patriotisme, loyalitas kaum Reform lebih kepada tanah airnya di Eropa.
Selain itu, kaum Reform memahami messianisme yahudi tidak lagi secara personal, tapi lebih sebagai zeitgeist (spirit zaman) yang impersonal. Bagi kaum Reform, Pencerahan yang berbasis kemanusiaan universal adalah bentuk modern dari messianisme. Sejalan dengan kaum Reform, kaum yahudi orthodox, neo dan ultra, menolak Zionisme, tapi dengan alasan yang berbeda sama sekali.
Kaum yahudi Orthodox sepakat dengan zionis dalam hal bahwa yahudi adalah bangsa, tetapi dasarnya bukan nasionalisme romantis jerman yang sekuler. Kebangsaan Yahudi bagi kaum Orthodox adalah kebangsaan yang berbasis ketaatan terhadap Torah dan hukum agama. Kaum yahudi orthodox juga menolak keras zionisme karena dianggap sebagai gerakan yang “mengkudeta” otoritas Tuhan dalam hal messiah.
Dalam keyakinan orthodox, migrasi ke tanah israel hanya absah kalo dipimpin sang messiah yang diutus Tuhan. Kapan Messiah tersebut datang? hanya Tuhan yang tahu, bangsa Yahudi hanya bisa menunggu di tanah eksil mereka. Kaum Yahudi orthodox berpegang pada “tiga janji/kontrak dengan Tuhan” yang tertuang dalam talmud. Tiga janji tersebut terdiri dari:
1. Kaum yahudi tidak boleh meninggalkan tanah eksilnya menuju zion (israel) secara massal.
2. Bangsa yahudi tidak boleh memberontak terhadap pemerintahnya di tanah diaspora.
3. Kaum non yahudi dijamin Tuhan tak menyakiti bangsa yahudi secara berlebihan.
Tiga janji itulah yang dilanggar oleh kaum zionis. Dengan menyerukan migrasi ke tanah Israel, kaum zionis dengan lancang mendahului takdir. Bagi yahudi orthodox, zionisme adalah bid’ah yang justru lebih berbahaya ketimbang Reform. Mengapa demikian? Reform, menurut orthodox, masih setia dengan judaisme, hanya keliru dalam memaknainya. Mudah ditandai, dan ini lah bedanya dengan kaum Zionis.
Kaum zionis menegaskan yahudi sebagai bangsa, yang sejalan dengan orthodox, hanya dasarnya bukan Torah tapi nasionalisme modern. Dengan kata lain, di satu sisi kaum zionis mengamini kaum orthodox, tapi menyimpang darinya. Semacam “musuh dalam selimut”. Karena itulah kaum yahudi orthodox menolak keras zionisme. Sikap ini masih dipegang oleh Neturei Karta sampe skrg.
Lantas bagaimana kita menjelaskan fakta bahwa bahkan di israel sendiri banyak juga kalangan yahudi orthodox? .Meski secara umum yahudi orthodoks menolak zionisme, ada juga komunitas orthodoks yang hidup di israel, karena beberapa alasan. Sejak dulu ada yahudi orthodoks yang migrasi ke Israel, dengan alasan agama. Bagi mereka, tanah Israel, bangsa israel dan Torah adalah satu kesatuan. Simak, misalnya doa yahudi sejak ribuan tahun lalu, be shana haba’a le yerushalaim (tahun depan ke yerusalem). Kaum Reform, yang menganggap Eropa Pencerahan sebagai yerusalem baru, memaknai doa itu sebagai metafor. Tapi tidak bagi kaum yahudi orthodox. Bagi yahudi orthodoks, ke tanah zion tetap merupakan cita-cita religious. Tapi tidak dalam format sekuler ala zionisme.
Alasan lain, ketika pembantaian oleh Nazi terhadap kaum yahudi terjadi, yang paling banyak menjadi korban adalah kaum orthodox. Karena itulah kaum yahudi orthodoks punya trauma kolektif yang akut terhadap holocaust. Ini memperngaruhi sikap mereka terhadap zionisme. Menariknya, semakin banyak kaum yahudi orthodoks yang secara de facto menerima berdirinya negara israel, tetapi tidak secara de jure. Mereka tetap menganggap zionisme sebagai bidah, tetapi apa boleh buat, mereka tak bisa berbuat apa-apa juga untuk menentangnya, sehingga banyak yahudi orthodoks yang menerima negara israel, tetapi bukan sebagai negara yahudi yang “kosher”/ menurut halakhah.
Negara israel diterima, tapi dianggap sebagai negara biasa sebagaimana dalam diaspora. Dengan kata lain, mereka merasa jadi eksil di tanah israel. Respon orthodoks pun bervariasi, ada yang tetap mempertahankan segregasi/pemisahan, ada yang mau kerjasama, tapi ada juga yang menolak total. Bagi yang menolak total seperti Neturei Karta tentu menganggap negara israel sebagai “musuh.” Tapi yang lain sikapnya terhadap israel tidak frontal.
Bagaimana respon Zionis? Sebagaimana saya sebutkan, konsep Herzl tentang negara yahudi adalah memisahkan agama dan negara, akan tetapi faktanya beda. Ketika negara israel berdiri tahun 1948, konflik dengan Arab membuat kaum zionis yang umumnya sekuler tidak bisa mengabaikan kaum orthodoks. Kaum zionis mengesampingkan konflik mereka dengan kaum yahudi orthodoks, dan malah merangkulnya. Kaum zionis mau merangkul kaum orthodoks karena mrk menganggap orthodoksi adalah bagian masa lalu yang dengan laju modernitas lama-lama akan lenyap, Artinya, kaum zionis sekuler saat itu meremehkan “kekuatan” kaum yahudi orthodoks.
Di sisi lain, kaum yahudi orthodoks yang menganggap negara zionis sebagai bidah mau dirangkul karena mrk yakin bisa mengubahnya dari dalam. Situasi itulah yang memicu lahirnya perjanjian “status quo” antara kubu zionis sekuler dan orthodoks. Perjanjian “status quo”: kaum yahudi orthodoks mau bersatu dengan zionis sekuler asalkan mereka memegang otoritas dalam urusan keyahudian. Kaum yahudi orthodoks menuntut agar shabbat sebagai hari libur, kekosheran makanan/minuman dan identitas keyahudian jadi wewenang mereka. Selain itu, kaum orthodoks dibolehkan untuk mengelola pendidikannya sendiri, dan mendapat subsidi negara. Bahkan Ben Gurion, perdana menteri pertama, setuju kalo yahudi orthodoks yang hidupnya hanya untuk Torah dan tidak perlu ikut wajib militer. Konsesi-konsesi yg dinikmati kaum orthodoks inilah yg lama-kelamaan berkembang jadi pangkal perseteruan kubu sekuler-agamis di Israel hinga sekarang.
Hal lain yang menjadi persoalan, di kalangan yahudi orthodoks pun berkembang aliran zionisme religius, terutama setelah “Perang 6 Hari. Kemenangan telak Israel dalam perang tersebut yang memungkinkan Israel menguasai West Bank, tempat situs-situs sakral yahudi, seperti Judea dan samarea. Bayangkan saja, selama ribuan tahun bangsa yahudi hidup terpencar-pencar, lalu tiba-tiba bisa menguasai lagi tanah israel secara lengkap.
Situasi inilah yang mendorong sebagian kalangan yahudi ultra-orthodoks untuk memaknai zionisme sebagai bagian dari takdir Tuhan. Kelompok pro zionisme religius ini, Gush Emunim, memaknai negara dan tanah israel sebagai bagian sakral yang tak boleh dikompromikan. Menarik bahwa pemahaman thd judaisme orthodoks bisa memunculkan sikap yang anti zionisme, tapi bisa juga pro zionisme. Problemnya, aliran zionisme religius ini banyak diamini oleh warga israel di tanah pendudukan. Karena itulah persoalan tanah pendudukan jadi isu yang pelik, sebab bercampur dengan keyakinan agama. Inilah yang memicu Judaisasi konflik Israel-Palestina di sebagian kaum orthodoks. Ironisnya, muncul juga “Islamisasi” isu Palestina. Persoalan agamaisasi konflik ini, saya singgung dalam esai saya berjudul : Israel, antara Shakespeare dan Chekov http://jakartabeat.net/kolom/konten/israel-antara-shakespeare-dan-chekov
Dari Penjabaran yang panjang ini, kita bisa melihat kompleksitas dan nuansa sikap yahudi orthodoks terhadap zionisme. Nuansa yang beragam juga terdapat pada respon kaum yahudi sekuler terhadap zionisme. Bahkan dalam zionisme juga ada kubu-kubu yang saling benturan. []
*) Akhmad Sahal