Kenapa kita harus bersikap kritis terhadap segala aksi yang mengatasnaman ‘Bela’ meskipun itu kepada Mo Salah, bintang Mesir idola sejuta umat islam yang mencintai sepakbola di era kekinian? Sebelum ke sana, kita harus jernih melihat hal yang lebih besar. Meskipun terjadi sejumlah persekusi dan kekerasan atas nama agama, pasca 20 tahun reformasi, kita masih bisa menikmati kebebasan berekspresi di ruang publik. Hal ini tercermin dengan adanya kebebasan untuk melakukan demonstrasi, menunjukkan keberatan ataupun penuntutan terhadap satu isu yang merugikan, baik individu, komunitas, maupun institusi. Memang, tidak semua aksi demonstrasi tersebut membuahkan hasil. Namun, setidaknya, aksi demonstrasi tersebut menunjukkan bahwasanya ada sebuah persoalan yang harus diselesaikan.
Aksi demonstrasi ini biasanya meliputi mengenai hak-hak asasi manusia, hak-hak sipil, kerugian atas pencemaran nama baik dan agama, ataupun pembelaan terhadap masyarakat Muslim, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Misalnya, pembelaan terhadap pembebasan tanah Muslim di Palestina yang dicaplok Israel, solidaritas terhadap Rohingya, dan representasi empati terhadap yang menimpa Syria.
Berbeda dari demonstrasi-demonstrasi tersebut yang lebih bersifat politik, hak-hak sipil-HAM, dan pembelaan terhadap isu sosial atas masyarakat yang terpinggirkan, bertolak dari kekalahan Liverpool dari Real Madrid dalam final Liga Champion Eropa pada Minggu dini hari 27 Mei 2018, Mohammad Dendi Budiman menginsiasi aksi demonstrasi “Seruan Aksi: Indonesia Bela Salah” di depan Kedubes Spanyol pada Kamis 31 Mei 2018, jam 15.30.
Seruan aksi demonstrasi tersebut menuntut dua hal; Adili Sergio Ramos dan cabut gelar Liga Champions dari Real Madrid. Dalam pertandingan tersebut, Liverpool memang kalah telak 1-3 dari Real Madrid. Dalam pertengahan permainan, Mohammed Salah, salah satu pemain andalan Liverpool terkena cidera dalam duel perebutan bola di udara oleh Sergio Ramos. Akibat peristiwa tersebut ia harus ditarik dari keluar lapangan dan kemungkinan tidak akan membela Mesir untuk Piala Dunia 2018 di Rusia.
Cideranya Salah ini, bagi banyak orang, termasuk Dendi Budiman yang membuat Liverpool gagal untuk meraih torehan piala tertinggi dalam kancah pertandingan sepakbola sejagad Eropa tersebut.
Memang, Dendi tidak sendiri dan sudah dikonfirmasi bawah sosoknya bukanlah bagian dari Big Reds Indonesia, supporter resmi Liverpool dan aksi itu dianggap tidak sah dan jadi tindakan lucu-lucuan belaka. Di Mesir, negara asal Salah berasal, juga mengajukan keberatan. Ini tercermin dari upaya Bassem Wahba, pengacara, yang menuntut Sergio Ramos, Kapten Real Madrid tersebut sebesar Rp. 16 triliun dan mengadukan kasus tersebut ke FIFA sebagai institusi tertinggi lembaga sepakbola dunia. Selain telah memberikan luka fisik kepada Salah, Ramos dianggap bersalah karena telah memberikan luka psikologis bagi seluruh rakyat Mesir (www.kompas.com, 29 Mei 2018).
Secara geografis dan nasionalisme, apa yang dilakukan oleh Bassem ini memiliki irisan dengan Salah. Salah tidak hanya dianggap sebagai pahlawan Mesir, melainkan juga maskot dan simbol kebanggaan Mesir di mata dunia di tengah kemantapan kesebelasan nasional mereka yang ikut bertanding dalam Piala Dunia 2018. Karena itu, cideranya Salah bisa berdampak buruk terhadap bentuk permainan Mesir kelak saat bertanding di Piala Dunia.
Di sisi lain, identitas Salah sebagai seorang Muslim dan ia tidak malu menunjukkan ekspresi dirinya sebagai seorang Muslim yang taat di ruang publik juga menunjukkan bagaimana ia menjadi representasi ummat Islam dunia di tengah phobia Islam yang cenderung dengan aksi-aksi terorisme di Eropa. Karena itu, kemampuannya sebagai penyerang dalam mengolah kulit bundar, ia menjadi idola baru, tidak hanya bagi pendukung Liverpool, melainkan juga masyarakat Muslim yang merasa terepresentasikan dengan kehadiran Salah di panggung sepakbola Eropa.
Irisan inilah yang setidaknya membuat Dendi menyerukan Seruan Aksi Bela Salah. Sebagaimana diungkapkan dalam foto seruan yang bereda di lini masa media sosial “Umat Islam Indonesia tentu tidak dapat berdiam diri begitu saja. Atas dasar kemanusiaan dan pembelaan terhadap sesama umat yang teraniaya, seluruh elemen umat bersatu menyerukan dan secara serentak menyatakan aksi Indonesia bela Salah”.
Jika membela Salah karena dianggap sebagai sesama umat Islam yang ditindas, mengapa Dendi sampai sebegitu seriusnya menyerukan untuk aksi turun ke jalan menuntut Kedutaan Spanyol hanya perkara sepakbola? Padahal, dalam pertandingan sepakbola, terjadinya cidera merupakan satu hal yang wajar karena ini permainan yang menunjukkan kontak fisik (full body contact). Kalaupun ada yagn merasa dicurangi, mereka memiliki organisasi UEFA yang mengurusnya dengan tingkat hukuman dan disiplin yang ketat. Di sisi lain, banyak dari pertandingan sepakbola di Indonesia, tempat Dendi tinggal, seringkali juga terjadi persoalan cidera. Bahkan, seorang wasit bisa babak belur hanya karena dianggap tidak menunjukkan sportivitasnya.
Jika membela atas nama umat Islam, bukankah Zinedine Zidane, pelatih Real Madrid, juga merupakan seorang Muslim, yang justru menunjukkan profesionalitasnya dalam bidangnya sehingga membuat Real Madrid bisa menjuara Liga Champhion selama 3 tahun berturut-turut? Saya melihat ada tiga faktor setidaknya yang bisa menjelaskan dukungan tersebut.
Pertama, keterpurukan sepakbola Indonesia. Dibandingkan dengan cabang Olahraga lainnya, seperti Bulu Tangkis, Panahan, dan (saat ini) Panjat Tebing, meskipun digemari oleh hampir sebagian masyarakat Indonesia, sepakbola bukanlah lahan basah suburnya prestasi klub dan tim nasional kesebelasan Indonesia. Meskipun pada aras lokal, klub-klub sepakbola begitu banyak memiliki penggemar, namun, miskinnya prestasi sepakbola Indonesia di kancah Asia dan Internasional membuat orang banyak kecewa.
Di sini, di tengah arus globalisasi dan pertumbuhan platform digital, klub-klub sepakbola eropa dengan kualitas permainan yang bagus menjadi industri hiburan bagi dunia berkembang seperti Indonesia. Kehadiran pertandingan sepakbola Eropa inilah yang menjadi semacam pelarian dan kemudian menjadi bentuk pengabaian atas yang terjadi dengan sepakbola Indonesia. Meskipun tidak sedikit, banyak dari masyarakat Indonesia yang juga mencintai keduanya.
Kedua, politik agama yang menjadi toksin. Islamisasi ruang publik pasca rejim Orde Baru dan adanya politisasi agama yang dimainkan dalam politik elektoral, alih-alih membentuk kesalehan publik, yang terjadi hal tersebut menjadi, meminjam ungkapan Made Supriatma (2018)sebentuk racun yang menyerang orang yang berakibat mereka bisa membela mati-matian atas figur yang didukungnya. Pilpres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan cerminan dari merasuknya toksin semacam ini. Karena itu, meskipun di luar nalar dan terlihat tampak sebagai bahan tertawaan, upaya membela Salah mengalami proses semacam ini, di mana orang tidak saja rela untuk turun ke jalan membela keyakinannya, melainkan juga siap membela secara mati-matian atas idolanya yang dianggap benar.
Selain kedua faktor tersebut, ada faktor ketiga, waktu luang dan kesenangan. Meskipun tidak semua, orang Indonesia memiliki waktu luang yang berlimpah. Keberlimpahan waktu luang ini bisa disebabkan karena tidak memiliki pekerjaan tetap, usaha sendiri, sekaligus juga bagian dari kesenangan. Akibatnya, hal-hal yang dianggap sepele untuk usia produktif sangat mudah untuk diisi oleh demonstrasi-demonstrasi semacam ini.
Meskipun demikian, saya tidak menafikan orang melakukan demonstrasi atas pilihan-pilihan politiknya dan proses advokasi karena proses peminggiran yang terjadi karena kebijakan negara. Namun, melakukan demonstrasi untuk membela Salah dalam Liga Champion Piala Eropa yang sama sekali tidak terkait dengan Indonesia, kecuali identitasnya sesama Muslim, hal itu merupakan cermin betapa kita menyukai hal sepele untuk diseriusi.
Pembelaan Salah sebagai sesama Muslim, apalagi dilakukan demonstrasi di bulan Ramadhan, hal tersebut jangan-jangan bisa dimaknai juga sebagai bentuk ibadah. Karena itu, di tengah kemacetan kota Jakarta, dan apabila mereka jadi aki demonstrasi, urusan sepele tersebut bisa menjadi sangat penting.
Namun, dari ketiga faktor tersebut, ada satu hal yang saya khawatirkan, yaitu munculnya tagar #2019gantipresiden dalam demonstrasi tersebut. Meskipun tidak memiliki ketersambungan, tagar tersebut seolah-olah menjadi semacam aksesoris utama dalam setiap demonstrasi sebagai bentuk oposisi terhadap rejim Jokowi. Meminjam iklan minuman ringan, “apapun demonstrasi, yang penting ganti presiden”.
Jika itu yang terjadi, percayalah, Salah sendiri rasanya tidak mau mendukung kalau akhirnya kembali kepada politik elektoral semacam ini. Hal yang sama sebagaimana kedutaan Palestina untuk Indonesia yang benderanya selalu digunakan untuk demonstrasi membela Islam, yang sebenarnya tidak terkait dengan politik dan kedaulatan Palestina.