Zaman Cetak dan Niaga Buku di Nusantara (Bag. 2 Habis)

Zaman Cetak dan Niaga Buku di Nusantara (Bag. 2 Habis)

Sistem pembelajaran berislam saat ini masih pada taraf mengajak umat Islam membeli air di pinggir sungai jernih.

Zaman Cetak dan Niaga Buku di Nusantara (Bag. 2 Habis)

Muslim Keaksaraan

Apa yang dilakukan Azhari adalah peristiwa awal kebangkitan keaksaraan umat Islam sebagai umat pembaca Al-Quran secara massal. Sejak zaman percetakan itu, perlahan dan semakin massal umat Islam meninggalkan posisi sebagai umat pendengar. Al-Quran bukan lagi didengarkan sepotong-sepotong dari mulut agamawan (setingkat apa pun ilmunya), tapi hadir di depan mata umat pembaca secara langsung.

Wahyu bukan lagi berupa suara, tapi tulisan sunyi. Semua ini, sewajarnya, bukanlah sesuatu yang revolusioner dalam teologi Islam. Dari kuasa percetakan dan digdaya kapitalisme cetak, kita menyaksikan, merasakan, dan mengalaminya, meski mungkin tak sepenuhnya hendak disadari: kita sudah bergerak dari umat pendengar ke umat pembaca, dari lebih banyak mendengarkan telinga ke umat yang menggunakan mata terhadap tulisan, dari mulut agamawan ke kata-tertulis dalam mata pembaca, dari kuasa suara ke kuasa tulisan, dari mulut agamawan ke tulisan Tuhan dan nabi, dari, dari halaqoh mulut ke sunyi kertas. Individualisme tumbuh, kolektivisme menurun (bukankah kita berikrar ketauhidan menggunakan aku bukan kami atau kita?).

Niaga buku atau kitab suci (sewajarnya) merombak secara perlahan dan drastis pola-pola pembelajaran agama, status hierarki kepemahaman, dan penguasaan ilmu agama Islam. Jutaan Al-Quran sudah dicetak di Indonesia. Dan jauh lebih banyak lagi buku-buku keislaman yang sudah beredar di masyarakat. Termasuk, yang sangat menarik, terjadinya pergeseran dan penggantian huruf Arab-Jawi ke alfabet Latin dan semakin dominannya buku-buku keislaman berbahasa Indonesia daripada yang berbahasa Arab.

Tentu saja bahkan sampai sekarang, para umat sering tidak diperkenankan secara langsung untuk membaca sendiri kitab-kitab keislaman. Selalu dianggap bahwa yang dari mulut agamawan adalah yang paling murni dan paling wahyu. Kata ‘Allah’ yang beralfabet Latin lebih benar dipahami dengan huruf Arab; Al-Quran berbahasa Arab lebih murni daripada yang berbahasa Indonesia (seakan yang masuk ke pikiran manusia bukan tafsir tapi wahyu yang original!); buku karangan orang Indonesia lebih tidak islami daripada karya orang Timur Tengah, dan seterusnya.

Secara perlahan, meski tidak diakui, akibat percetakan modern terjadi sejenis pergeseran otoritas ilmu beragama. Semua ini juga salah satu alasan ulama yang memberikan fatwa untuk Sultan Bayazid II agar melarang percetakan Eropa.

Sungguh sangat sering terjadi dan kita menyaksikannya: beribu-ribu jamaah, yang memang tidak pernah dikondisikan dan dipersyaratkan untuk melakoni iqra’, punya hanya kitab Al-Quran plus mungkin kitab 40 hadis shahih, berhadapan dengan seorang agamawan yang merasa diri paling alim berkat membaca sekian banyak kitab berbahasa Arab.

Dan, yang ironis, umat Islam masih sering tidak diperintahkan menjadi pembaca (Iqra!) tapi selalu didamba menjadi umat pendengar setia. Umatnya ditakut-takuti dengan salah menafsirkan kitab suci yang berbahasa Indonesia—seakan sang agamawan mendapatkan wahyu-suara-ucapan langsung dari Allah bukan hasil belajar.

Namun, semakin tersebarnya kuasa percetakan dalam arus niaga buku, kita menyaksikan bahwa semua itu hanya omongan yang tak cukup kuasa. Seseorang yang sudah terbiasa membaca sendiri seperti Ir. Sukarno, sebagai satu contoh sangat menarik, bisa dengan langsung membaca Al-Quran, membaca kitab-kitab hadis, bahkan bukan dalam bahasa Arab.

Suara dan kuasa agamawan tidak penting amat bagi pemahaman dan penafsiran Ir. Sukarno. Tentu, masih tak banyak umat yang akan menjadi apalagi mengikuti tindakan Ir. Sukarno: membaca sendiri, mencoba memahami dan memikirkan sendiri dengan otak-hati yang sudah dianugerahkan Allah, dan mencoba mengamalkan sesuai dengan tingkat pemahamannya.

Maka, yang bisa kita catat dari kuasa percetakan modern: corak pembelajaran keislaman di Indonesia sudah memasuki zaman cetak beralfabet Latin, bukan Arab atau Arab-Jawi; hampir semua tokoh agamawan-penulis dipaksa menuliskan ilmu keislaman dalam bahasa Indonesia; dan umat Islam membacanya di rumah atau di perpustakaan atau di lembaga pendidikan. Yang akan dicatat sebagai kejayaan ilmu keislaman di Indonesia di masa depan ada dalam kertas-kertas berbahasa Indonesia berhuruf Latin.

Satu lagi, jika kita mendengar di masa lalu dan di masa depan bahwa tingkat minat pembaca orang Indonesia berada di posisi rendah atau tak beradab, lihatlah sistem pembelajaran-pengajaran agama umat Islam di Indonesia yang menjadi mayoritas: berorientasi mulut agamawan atau berbasis keaksaraan huruf; agamawannya tidak mengajak umat Islam membaca (iqra’) atau memaksa mendengarkan mulutnya. Ini berarti sistem pembelajaran berislam masih pada taraf mengajak umat Islam membeli air di pinggir sungai jernih.

Wallahu A’lam.