Prof. Yudian Wahyudi, seperti dikabarkan oleh detik.com dengan judul yang sangat bombastis, mengatakan bahwa “agama jadi musuh terbesar Pancasila”. Akibat dari pemberitaan itu, publik menjadi gonjang-ganjing.
Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas bahkan sempat mengecam Yudian dengan meminta Jokowi agar mencopot secara tidak terhormat Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru dilantik beberapa hari lalu ini. Sampai tulisan ini dibuat tagar #BubarkanBPIP masih bertengger di tiga besar trending twitter.
Selain itu, tanggapan dari publik dari berbagai lapisan masyarakat tak kalah gempita. Berbagai tanggapan banyak orang ini, terus terang membuat saya pribadi akhirnya mengikuti dan menyimak berita tersebut sampai selesai, menghayati setiap kalimat, dan berusaha memahami maksud dari setiap paragraf berita.
Dari situ, saya kemudian menyimpulkan, “apa yang salah dari statement itu, jika membaca keseluruhan berita?”
Kenapa, misalnya, ada orang yang saking selonya sampai-sampai mengusulkan pembubaran BPIP, atau bahkan merasa bahwa statement Prof. Yudian itu merupakan benturan Agama dan Pancasila?
Sebetulnya, jika kita membaca keseluruhan berita, lalu merespon dengan kritik, itu sah-sah saja. Tapi yang menjadi soal adalah kita kerap berhenti pada judul dari suatu berita atau minimal merasa puas dengan membaca setengah saja, kemudian dengan cepat menyimpulkan berbagai hal.
Dan, lebih ironi, kita seringkali gagal paham dengan pendapat orang lain, kendati telah membaca secara keseluruhan. Fenomena seperti ini, disadari maupun tidak, seringkali terjadi di belantara media sosial.
Akibatnya, ruang dialog pun menjadi semakin tertutup rapat manakala hal ini menjadi budaya masyarakat kita di jagad maya. Yang ada kemudian hanya saling menyimpulkan, atau dengan mudah mengecam tanpa mengetahui secara jelas apa yang dimaksud.
Sehubungan dengan hal ini, ada hal-hal krusial yang membuat saya agak geli dengan respon para netizen terkait ‘Agama musuh Pancasila’. Kalau boleh jujur, pada pernyataan Prof. Yudian sebetulnya mengandung kritik atas kelompok tertentu yang sejauh ini mereduksi agama untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Kemudian dia juga memberi tamsil dengan menyentil kelompok yang dengan genitnya gemar melibatkan agama untuk urusan lima tahunan.
“Si minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan”, begitu kira-kira tegas Prof. Yudian seperti dikutip detik.com.
Dengan begitu, jika kita membaca secara saksama maka yang dimaksud oleh Prof. Yudian dengan ‘agama musuh pancasila’ sebetulnya adalah kelompok agama yang mereduksi agamanya sesuai keinginan kelompok.
Meski begitu, mengutip Savic Ali, sebagai tokoh publik Prof. Yudian harusnya jeli dalam memilih diksi. Artinya, dia juga tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang berpotensi dapat memancing kekeruhan. Salah-salah malah seperti perkara Ahok tiga tahun silam yang salah sasaran.
Lagi pula, kalaupun harus kita kritisi, bukankah lebih elegan jika kita mengomentari soal bagaimana masa depan Pancasila sebagai ideologi bangsa atas berbagai persoalan nasional maupun internasional?
Atau, pada persoalan lain seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan mengusulkan bagaimana Pancasila ke depan bisa menjadi lebih berkarakter pada kehidupan bangsa, alias tidak saja sebatas jargon belaka.
Atau, seperti Tarli Nugroho dalam komentarnya di Facebook. Menurutnya, sejak awal Soekarno tahu persis jika Pancasila diposisikan sebagai ideologi, maka posisinya akan satu level dengan ideologi-ideologi politik yang sudah berkembang di Indonesia, seperti marhaenisme, komunisme, sosial demokrasi, atau islamisme.
Kemudian, demikian lanjut Tarli, Pancasila dihadirkan sebagai dasar negara agar tidak terjebak pada pertarungan konyol melawan ideologi-ideologi politik yang ada ditengah masyarakat. Lha, sekarang kok mau dibenturkan dengan agama (lagi)?
Begitulah. Dari jubelan komentar yang ada, akan lebih memberi manfaat bilamana ia dapat membuka ruang perdebatan Pancasila ke frekuensi yang lebih luas, seperti demokrasi, HAM serta pengelolaan negara yang harusnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Memang, tema yang diangkat oleh Prof. Yudian adalah perdebatan lama yang harusnya telah purna sejak lama. Tapi, baiklah, anggap saja bahwa pelantikan Prof. Yudian Wahyudi sebagai kepala BPIP yang baru merupakan cerminan keinginan Pemerintahan saat ini untuk menyelesaikan perdebatan mengenai agama dan pancasila, yang sejak tahun 2017 sampai 2019 mencuat kembali, terutama saat Pemilu.
Prof. Yudian, dengan demikian, dianggap tepat karena memiliki otoritas pengetahuan agama yang mumpuni dengan latarbelakang alumni pesantren Termas, Pacitan dan juga Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta.
Artinya, dia memiliki perangkat pengetahuan agama dengan literatur pesantren melalui kitab-kitab klasik (kitab kuning). Lagi pula, Prof. Yudian juga merupakan akademisi lulusan kampus kawakan seperti Harvard University, serta memiliki segudang karir akademik yang mumpuni.