Kontroversi Yel Pramuka ‘Islam Yes, Kafir No’ di Yogyakarta dan Bagaimana Seharusnya Bersikap

Kontroversi Yel Pramuka ‘Islam Yes, Kafir No’ di Yogyakarta dan Bagaimana Seharusnya Bersikap

Bagaimana bersikap terhadap tepuk Pramuka yang kontroversial itu?

Kontroversi Yel Pramuka ‘Islam Yes, Kafir No’ di Yogyakarta dan Bagaimana Seharusnya Bersikap

Tepuk pramuka ‘Islam islam Yes, Kafir kafir No’ dalam kegiatan pramuka di SDN Timuran, Yogyakarta sontak ramai dan kontroversial lalu diprotes wali murid karena dianggap rasis. Pun banyak mendapat tanggapan yang variatif dari nitizen. Dari itu kemudian si pembina meminta maaf.

Kasus ini menarik jika ditarik dengan nafas keberagamaan yang cukup, sehingga kehadiran publik melihat kejadian ini sebagai bentuk menghindarkan dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang mestinya disudahi lalu sesegera mungkin mengembalikan semuanya ke ruang yang lebih positif.

“Salamatul insan bihifdzillisan” ujar sabda suci. Bahwa lisan adalah menjadi bagian penting sebagai parameter suatu keselamatan. Maka lisan adalah bagian inti untuk menciptakan kondusifitas (keselamatan). Baik antara yang melakukan dan yang mengomentari (publik).

Maka, diskursus soal ‘Islam-Kafir’ sebenarnya adalah hal yang klasik, meski dalam perkembangannya banyak sekali menuai banyak sekali penafsiran. Secara harfiyah istilah “kafir” berarti tertutup. Termasuk pula menutup diri untuk tidak mencoba melakukan penerimaan terhadap kekhilafan yang kemudian memunculkan kerusakan yang lebih besar.

Memaklumi dalam konteks ini tak berarti melakukan pembiaran-pembiaran yang begitu saja. Tapi upaya untuk melakukan langkah-langkah yang arif, bijak, dan profesional adalah titik muara dalam setiap persoalan apapun. Begitu dalam rangka melokalisir kondisi yang mestinya terselesaikan dengan baik, kemudian tidak merambah dengan berbuah hal-hal negatif yang lebih besar.

Pun, istilah pramuka tak belaka asing dikenal publik. Bahwa didalamnya diajarkan cinta tanah air, berelasi antar sesama, lalu bekerjasama atas nama negara dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Maka sentimen-sentimen antara satu dan yang lain mestinya dicegah. Meski sebuah kekhilafan (baik disengaja maupun spontan– tak sengaja) cukup dijadikan penjelasan atas terjadinya problem ini. Sebab posisi pramuka yang menjunjung kebhinekaan harus terus dirawat dan dijaga agar mampu diterima dan menerima siapapun atas nama bangsa.

Oleh sebabnya, menjadi komentator yang baik juga sangat penting. Artinya harus mampu melihat tiap realitas (persoalan) dari banyak sudut pandang. Sehingga melahirkan kesimpulan dan prilaku yang mampu memberikan kebijaksanaan yang menenangkan publik.

Termasuk hal penting dalam kasus ini adalah pembelajaran bagi kita semua untuk bagaimana berupaya memilih bahasa yang tepat bagi setiap siapapun (khususnya bagi guru maupun tokoh agama). Sehingga setiap apapun yang keluar mampu diterima publik dengan renyah dan menggembirakan.

Maka menyikapi persoalan apapun (kecil maupun besar) perlu kecapakapan literatur, sikap yang tenang dan menenangkan yang tetap memposisikan stabilitas sebagai tujuan utama.

Jika demikian, pada akhirnya kita sadar bahwa antara semua bukankah sekedar berikhtiyar untuk terus menjadi pribadi yang termaktub dalam point terkhir “Dasa Dharma Pramuka”– suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, bukan?