Sekiranya 28 Juni 2020 lalu, Ketua Himpunan Dai Muda Indonesia, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri mengatakan:
“…dakwah virtual menjadi pilihan terbaik saat ini. Terutama, untuk mencegah perluasan Covid-19. Karena platform teratas untuk media dakwah terbaik di masa pandemi Covid-19 ini adalah Youtube, Facebook, Instagram dan Twitter. Dai saat ini perlu dibekali pengetahuan dan ketrampilan tentang penguasaan teknologi informasi. Sangat disayangkan jika seorang dai memiliki ilmu tapi tidak tersampaikan ke masyarakat.”
Terlepas dari sengketa klaim apakah ‘dakwah bernaung dibawah ilmu komunikasi’ atau ‘ilmu komunikasi bernaung dibawah ilmu dakwah,’ tapi yang jelas ada masalah mendasar yang―sependek pengamatan―belum pernah diurai secara lugas dalam ilmu maupun praktik dakwah di era digital, yaitu: praktik dakwah masih memandang teknologi informasi secara positivistik dan seakan-akan tanpa konsekuensi. Atau, jika semisal ada konsekuensi, konsekuensinya hanya sebatas hal teknis, retoris dan estetis. Dengan kata lain, tidak ada konsekuensi kebudayaan(?)
Pada pandangan yang seperti ini, saya melihat semakin dekatnya kita pada ungkapannya Jacques Ellul, “bila politik, sosial dan ekonomi bersentuhan dengan teknologi, maka teknologi akan menelannya.” Ellul tidak menyebut agama, tapi karena tidak disebut inilah seharusnya membawa kita pada kecurigaan terhadap kondisi saat ini.
Di era-era yang lalu, teknologi selalu menciptakan ‘kebudayaan’ baru, dan memang watak asli teknologi tidak bisa dilepaskan dari tujuan awal dan konteks di mana ia diciptakan.
Kisah Raja Thamus dan Dewa Theuth, misalnya, merekam tentang bagaimana penemuan ‘tulisan’ mendapat kecaman dari otoritas ‘pemerintah’ yang berkebudayaan oral. Di mata Raja Thamus, tulisan dapat membuat orang malas mengingat, tidak bisa mencerap konteks pembicaraan, dan berpotensi mendorong orang menciptakan ‘kebijaksanaan palsu’ (kebohongan, narasi pelintiran, dsb).
Seiring berjalannya waktu, kekhawatiran Raja Thamus semakin nyata. Di dunia keislaman misalnya, Penulisan Al-Qur’an yang diinisiasi Utsman bin Affan dan dipercayakan pada Zaid bin Tsabit pun tidak lepas dari khawatiran atas keanekaragaman oral di tanah Arab yang pada suatu masa nanti mungkin akan mengancam otoritas kebenaran Al-Qur’an itu sendiri.
Sekitar 700 tahun kemudian, apa yang dikhawatirkan Raja Thamus nampak semakin diseriusi. Di bukunya yang berjudul Muqaddima, Ibnu Khaldun menyeriusinya dengan menggarisbawahi pentingnya al jahr wat ta’dil (sejenis sikap kritis dalam menerima informasi).
Dalam uraiannya, ia mengeluhkan soal popularitas hoaks kota tembaga, dan juga hoaks tentang Alexander The Great yang menyelam ke sungai Nil hanya untuk memastikan apakah di sungai Nil ada monster atau tidak. Dengan kata lain, sejarah misinformasi berawal dari tulisan.
Namun di saat yang sama, tidak dapat dipungkiri juga bahwa kecemerlangan peradaban juga terjadi saat berada di tengah-tengah era tulisan. Tahun 1258, invasi Mongol ke Baghdad menyebabkan air sungai Tigris berubah menjadi warna hitam karena lunturnya tinta buku dari perpustakaan Baitul Hikmah.
Di Eropa, Enlightenment terjadi karena―salah satu faktornya―percepatan literasi yang di dorong oleh mesin cetak. Tokoh-tokoh seperti Kant, Voltaire, Leibniz dkk lahir di periode ini, dan estafetnya diteruskan oleh Goethe, Nietzsche dkk ke puncak modernitas.
Di manapun konteks geografisnya, prinsip kemajuan zaman yang berlaku adalah: rasa curiosity manusia yang selalu berkembang dan dukungan pemerintah terhadapnya. Namun ternyata ada faktor lain yang juga sangat mempengaruhi dua prinsip itu, yakni: pengaruh teknologi terhadap cara berpikir.
Dalam buku Orality and Literacy yang ditulis oleh Walter J. Ong, kenapa bahasa masyarakat era oral cenderung bercorak puitik, agak hiperbolik, repetitif dan kental penggunaan kata sifat? Karena mereka benar-benar mengandalkan ingatannya, dan corak-corak seperti itu dapat membantu mereka untuk mengingat lebih baik. Contohnya dapat ditemukan terserak di Film Game of Thrones, atau di ungkapan-ungkapan para tokoh dalam kisah 1001 malam, di Hikayat Kalilah & Dimnah, atau di karya-karya sastra para Troubador.
Ong juga mencatat, kenapa masyarakat era tulisan cenderung lebih analitik? Karena mereka bergantung pada media eksternal dan tidak bertumpu pada ingatan. Sehingga, untuk mengantisipasi kekeliruan dalam memahami konteks tulisan, masyarakat era tulisan sangat mengandalkan akurasi penggunaan grammar. Implikasinya, mereka cenderung lebih analitik karena tidak perlu lagi bergantung pada sesuatu yang puitik, hiperbolik, repetitif dan kental kata sifat.
Puncak kecemerlangan masyarakat era tulisan, di Amerika misalnya dapat terlihat di acara The Great Debate tahun 1859 antara Abraham Lincoln (yang pada masa itu hendak mencalonkan diri sebagai senator di dapil Illinois) dan Stephen Doughlas (yang saat itu sedang menjabat sebagai senator Illinois) yang berdebat tujuh sesi berturut-turut, yang satu argumennya berkisar 60-90 menit dari masing-masing pihak.
Antusias penontonnya tidak surut meski satu sesi berdurasi 3 jam telah silih berganti. The Great Debate sangat kontras dengan debat publik yang kita kenal saat ini yang hanya berdurasi 1-2 menit per-argumen.
Di Indonesia, kecemerlangan masyarakat era tulisan misalnya dapat ditengok pada bagaimana di rentang abad 17 sampai awal abad 20 menjadi periode emas penulisan dan distribusi kitab kuning di Nusantara.
Di saat yang sama, ulama-ulama seperti Syekh Mahfudz Tremas, KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahhab Chasbullah menjadi ikon standar kualitas hafalan, ketajaman analisis dan kemahiran dalam berdebat. Buntutnya, pesantren/langgar―sebagai tempat diseminasi ilmu dan Islam―memprasyaratkan santrinya untuk memenuhi kriteria minimum kompetensi tata bahasa, logika, yurisprudensi dan hafalan (baik itu hadist, Qur’an ataupun syair) sebelum mendapat ijazah.
Seiring berjalannya waktu, era tulisan mulai redup dan era televisi mulai bersinar. Tulisan memberikan dampak bagi pikiran manusia berupa kemampuan manajemen analisis pengetahuan, ketajaman dalam mengidentifikasi kebohongan dan inkoherensi argumen. Berbeda dengan tulisan, televisi mengukir pikiran manusia dalam bentuk semangat kerecehan, inkoherensi gagasan, ingatan peristiwa yang sekejap langsung lupa, dan sampah informasi.
Era tulisan telah mengafirmasi ungkapan Ellul dalam bentuk kemajuan-kemajuan peradaban. Sementara itu, soal televisi, dalam buku Amusing Ourselves to Death (1985), Neil Postman mengafirmasi ternyata televisi menciptakan ‘agama’ yang tanpa ritual, tanpa kesakralan, tanpa nilai sejarah, tanpa tradisi, tanpa tauhid, tanpa rasa spiritual, dan adapun jika si pemuka agama itu sering menyebut-nyebut nama tuhan, tidak lain dilakukan untuk mengglorifikasi dirinya, alih-alih Tuhannya. “On these shows, the preacher is tops. God comes out as second banana,” begitu kata Postman.
Ukiran hasil televisi berhasil diwariskan ke era media sosial dan berkembang menjadi sesuatu yang mengerikan yang belum kita jelajahi sepenuhnya. Di saat yang sama, postmodernisme (sak-karepe-dewek-isme) yang tumbuh di era televisi kini telah mapan di era media sosial. Salah satu implikasinya, sebagian dakwah di media sosial kerap hanya sebuah ekspresi kepanikan moral, bukan upaya diseminasi ilmu atau Islam yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kalau era oral menggunakan puitika sebagai corak cara berbahasa dan berpikir; era tulisan menggunakan grammar dan ketelitian; era televisi menggunakan visual dan inkoherensi. Maka, filter, visual efek dan plug-in menjadi corak cara berbahasa dan berpikir masyarakat era digital.
Di tengah mapannya semangat kerecehan, tidak ada yang lebih efektif untuk menutupi lemahnya kemampuan berargumentasi selain mempertebal citra diri dan jor-joran menyuguhkan muatan yang memupuk kepercayaan terdalam audiens. Watak media sosial yang tidak mengenal kepakaran dan tanpa moderasi editorial membuka kesempatan bagi siapapun untuk andil dalam reproduksinya. Sayangnya, tergelincirnya pendakwah pada praktik ini semakin menjadi tren di era digital.
Praktik ini berjalan dalam kerangka logika akumulasi. Motif monetisasi sering kali membayang di balik motivasi dakwah digital. Pandangan tentang berdakwah seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya punya potensi berdamai dengan kapitalisme algoritmik (semakin tinggi jangkauan dan viralitas, semakin besar monetisasi yang didapat).
Masalahnya, kapitalisme algoritmik diciptakan untuk memprediksi dan mengubah perilaku manusia agar mendulang pendapatan dan mengontrol pasar. Kecanggihan praktiknya merentang mulai dari sesederhana self-branding, ternak bot, propaganda multi-akun, hingga jaringan cyber army. Dengan demikian, anggapan bahwa dakwah adalah sebatas hubungan pendakwah dan audiens yang dipayungi oleh firman-firman Tuhan perlu ditinjau ulang karena leburnya dunia digital dan dunia nyata memicu distorsi yang menimbulkan kesakralan semu.
Di tengah situasi seperti ini, jika kepakaran dan kharisma dapat divirtualisasi sekaligus dapat diedit, dan makna ‘kontribusi sosial’ bergeser dari pengertian luring ke pengertian daring. Dan jika semua pengalaman religius yang dialami oleh ustadz-ustadz muda hari ini dijejal oleh pengalaman religius virtual. Maka apakah standar predikat ‘kiai’ yang notabenenya harus memenuhi prasyarat (1) pakar dalam ilmu agama, (2) punya kharisma relijius dan (3) terbukti punya kontribusi nyata bagi masyarakat, kemudian akan bergeser di masa depan?
Jika hari ini pengajaran luring kehilangan antusias dari masyarakat, maka, apakah nanti di masa depan, ‘kiai’ adalah mereka yang memiliki kemampuan penguasaan teknologi informasi?
Jika kelak terjadi, maka teknologi telah benar-benar menelan agama.