
Pagi-pagi, Jum’at, 4 April 2025, Faqihuddin Abdul Kodir (selanjutnya Pak Faqih) menulis catatan harian soal kritiknya terhadap pajak yang selama ini dikelola secara zalim oleh Negara, sambil menawarkan (tepatnya mengenang kembali) konsep pengelolaan zakat ala KH. Masdar Farid Mas’udi, di mana menurut Kiai Masdar yang juga dianggap brilian oleh Pak Faqih, saya pun masih ingat pernyataan Kiai Masdar: “Pajak itu zakat, uang Allah untuk kemaslahatan rakyat.”
Maksud Pak Faqih, zakat dalam dunia modern itu pajak. Sehingga ke depan, orang yang sudah bayar pajak tidak perlu bayar zakat.
Catatan harian Pak Faqih sendiri berjudul “Zakat sebagai Kritik atas Negara.” Terus terang, saya terpacu untuk membubuhkan komentar. Berikut komentar saya:
“Yang jadi problem mendesak itu sebetulnya pengelolaannya, Pak. Zakat dan pajak dikelola Negara maupun lembaga swasta problemnya dikelola oleh SDM yang mentalnya korup.”
Pak Faqih kemudian membalas komentar saya:
“Poin tulisanku: kritik atas pajak yang hilang di mata umat, terutama ulama he he he.”
Baca juga: Pajak sebagai Zakat: Amanah Pemerintah dan Kontrol Rakyat
Agar ulasan mengenai zakat ini tidak absurd, saya perlu menyampaikan tentang pengalaman saya bekerja di dua Lembaga Zakat Nasional (Laznas) terkemuka di Indonesia, PPPA Daarul Qur’an pimpinan Ust Yusuf Mansur dan Daarut Tauhiid Peduli pimpinan KH. Abdullah Gymnastiar.
Sungguh, terlalu banyak ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan, ternyata masih banyak yang luput dari perhatian kita, terutama berkenaan dengan pengelolaan zakat yang profesional.
Atas dasar pengalaman itulah, saya ingin mengatakan bahwa yang bermasalah bukan hanya pajak, melainkan juga zakat.
Meskipun nilai perolehan zakat dengan pajak sangat jauh. Pembayaran zakat yang selama ini diamalkan hanya identik dilakukan oleh umat Muslim, basisnya pun kesadaran diri bukan peraturan terikat hukum sebagaimana pajak. Sehingga sekali lagi, perolehan pajak sudah pasti akan jauh lebih besar dari pada zakat.
Agar ulasan soal zakat yang masih belum optimal dan bermasalah, masih ingatkah kasus korupsi yang melibatkan salah satu Laznas bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT)? Siapa yang tidak mengenal ACT? Sesuai namanya Laznas yang satu ini memang selalu beraksi paling cepat di antara Laznas lainnya. Mereka bahkan tidak mengandalkan sosok figur seperti di PPPA Daarul dan Daarut Tauhid Peduli, yang mereka andalkan adalah manajemen yang prima.
Tidak mesti publik figur yang menjadi pimpinan di ACT, asalkan manajemennya prima, Laznas akan berjalan efektif. Ternyata benar. Ini yang saya maksud pengelolaan zakat yang juga masih belum beres.
Oleh karena itu, gagasan Kiai Masdar soal pajak adalah zakat, masih belum kontekstual dan efektif manfaatnya secara praktis. Sebab problem mendasarnya adalah SDM yang mengelola pajak maupun zakat bermasalah sejak dari mentalnya, mentalnya mental korup.
Dengan begitu, jangan hanya karena nilai pajak yang fantastis, sampai melupakan kita terhadap pengelolaan zakat yang dianggap oleh Pak Faqih sudah beres sehingga efektif dijadikan alat untuk mengkritik pengelolaan pajak.
Kalau mau realistis, Kementerian Agama dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) segera melakukan perbaikan pengelolaan dana filantropi Islam itu, selain zakat, juga sedekah, infaq dan wakaf.
Setelah Kemenag dan Baznas klop, gandeng seluruh Laznas yang legal dan ilegal untuk melakukan transformasi sosial di antaranya mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, meningkatkan akses kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lainnya.
Bayangkan, kalau dana filantropi Islam didistribusikan secara koordinatif seperti ini sudah pasti akan sangat efektif dan bermanfaat. Yang terbantu bukan hanya kelompok orang yang menjadi guru honorer, siapapun bisa terjamah oleh manfaat pengelolaan zakat yang amanah dan tepat sasaran.
Lalu di saat yang bersamaan, kita pun terus menuntut Pemerintah dan instansi-instansi terkait, tak terkecuali intervensi dari segenap civil society (ormas keagamaan dan rakyat pada umumnya) untuk segera melakukan pengelolaan pajak yang bersih dari korupsi.
Sebab yang terjadi selama ini, para pejabat yang korup itu, selain mentalnya bermasalah, juga menjadikan alibi perilaku korupsi berbalut keagamaan sebagai tameng terjadinya korupsi dengan jumlah yang lebih banyak dan cara yang lebih canggih.
Terakhir, termasuk logika Kiai Masdar, tentang zakat dan pajak yang harus dilakukan bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi bagian dari iman, keadilan, dan pembebasan.
Juga narasi-narasi normatif seperti sudah pasti tidak akan menyelesaikan masalah. Betul juga bahwa Negara bukan penguasa dana umat, melainkan pelayan yang harus diawasi.
Hanya saja lagi-lagi problemnya adalah bukan hanya Pemerintah yang sulit mengemban amanah, para pegawai di Kemenag, Kemenkeu, dll dari pusat sampai daerah, berikut Laznas-laznas di luar Pemerintah masih rentan praktik korupsi.
Wallahu a’lam