Kesediaan Katib Aam NU dan sekaligus pengurus Bayt Ar-Rahmah KH Yahya Staquf memenuhi undangan The Israel Council on Foreign Relations memicu kontroversi dan perdebatan di dalam negeri Indonesia. Di tengah ketegangan Israel-Palestina pasca penembakan yang menewaskan sejumlah orang diantaranya aktivis kemanusiaan Razan el-Najjar, kunjungan tersebut dianggap bisa memperkuat posisi politik Israel yang bersikukuh memindahkan ibukotanya ke Yerusalem.
Tapi apakah demikian? Wawancara KH Yahya Staquf di forum tersebut mungkin bisa jadi tolok ukur penilaian apakah KH Yahya Staquf dalam posisi memperkuat daya tawar politik Israel atau ia sedang mencari solusi atas konflik Israel-Palestina sebagaimana yang pernah diupayakan almarhum Gus Dur.
Berikut wawancara KH Yahya Staquf (YS) dengan Direktur Internasional Urusan Antar-Agama American Jewish Committee (AJC), Rabbi David Rosen (DR):
DR: Selamat datang. Anda adalah salah satu murid terbaik dari salah satu guru terbaik yang pernah ada, presiden Abdurrahman Wahid. Dan AJC sudah berhubungan dgn Gus Dur sejak 20 tahun lalu. Gus Dur juga bicara di acara seperti ini, 16 tahun lalu. Beliau juga pernah mengunjungi Israel sebanyak 3 kali. Lalu anda sekarang mengikuti jejaknya. Bagaimana perasaan anda?
YS: Terima kasih atas kesempatan ini. Adalah sebuah keberuntungan bagi NU bahwa Gus Dur meninggal dunia dengan meninggalkan murid-murid yang kemudian tumbuh dan mengikuti jejaknya. Apa yang selama ini saya saya dan rekan-rekan saya lakukan hanyalah sebatas melanjutkan pekerjaan dari Gus Dur.
DR: Tapi ini bukan sekedar ketersambungan. Kehadiran anda di sini memiliki signifikasi tersendiri di mata dunia. Bagaimana anda memaknai hal ini?
YS: Idealisme dan visi yang dimiliki oleh Gus Dur adalah keberlangsungan umat manusia dalam jangka waktu yang sangat panjang. Dan oleh karenanya tidak bisa dicapai secara instan. Gus Dur telah menjalankan perannya dalam mewujudkan visi tersebut, dan kini adalah giliran murid-murid beliau di generasi ini untuk melanjutkan pekerjaan tersebut. Kami merasa beruntung, sebab berkat Gus Dur, kami telah mencapai titik tertentu di mana kami bisa melihat arah yang lebih jelas di depan kami.
DR: Dalam pidatonya di forum AJC di Washington, Gus Dur bicara tentang hubungan yang istimewa antara Yahudi dan Islam yang telah berjalan ratusan tahun. Bagaimana anda memandang hubungan ini?
YS: Hubungan antar Islam dan Yahudi adalah hubungan yang fluktuatif. Terkadang baik, terkadang konflik. Hal ini tergantung pada dinamika sejarah yang terjadi. Tapi secara umum kita harus mengakui bahwa ada masalah dalam hubungan dua agama ini. Dan salah satu sumber masalahnya terletak pada ajaran agama itu sendiri. Dalam konteks realitas saat ini, kaum beragama, baik Islam maupun Yahudi perlu menemukan cara baru untuk pertama-tama memfungsikan agama dalam kehidupan nyata, dan kedua menemukan interpretasi moral baru yang mampu menciptakan hubungan yang harmonis dengan agama-agama lain.
DR: Jadi anda mengatakan bahwa melakukan intrepretasi ulang terhadap teks Quran dan Hadis—sebagai upaya untuk menghilangkan penghalang bagi terciptanya hubungan baik antara Islam dan Yahudi—adalah sesuatu yang mungkin dilakukan?
YS: Bukan hanya “mungkin”, tapi ini sesuatu yang “harus” dilakukan. Karena setiap ayat dari Quran diturunkan dalam konteks realitas tertentu, dalam masa tertentu. Nabi Muhammad SAW dalam mengatakan sesuatu juga selalu disesuaikan dengan situasi yang ada pada saat itu. Sehingga Quran dan Hadits adalah pada dasarnya dokumen sejarah yang berisi panduan moral dalam menghadapi situasi tertentu. Ketika situasi dan realitasnya berubah, maka manifestasi dari moralitas tersebut sudah seharusnya berubah pula.
DR: Lalu, anda dan Gus Dur selalu menekankan pentingnya memerangi ekstremisme dan mempromosikan pendekatan yang lebih humanis. Apakah menurut anda Indonesia memiliki sesuatu yang bisa diberikan pada dunia dalam kaitannya dengan hal ini?
YS: Ini bukan tentang menawarkan sesuatu dari Indonesia. Karena Indonesia sendiri bukannya sudah terbebas dari masalah. Kami memiliki masalah kami sendiri. Kami memang memiliki semacam kearifan lokal yang membantu masyarakat untuk hidup secara harmonis dalam lingkungan yang heterogan, tapi kami masih punya banyak masalah terkait agama, termasuk Islam. Apa yang kita hadapi saat ini, apa yang seluruh dunia hadapi saat ini adalah sebuah situasi di mana konflik terjadi di seluruh dunia, dan di dalam konflik-konflik ini, agama hampir selalu digunakan sebagai senjata untuk menjustifikasi konflik.
Sekarang saatnya kita bertanya, “apakah kita ingin hal ini berlanjut? Atau kita ingin memiliki masa depan yang berbeda?” Jika kita ingin hal ini berlanjut, konsekuensinya jelas: tidak ada yang bisa bertahan hidup di dalam kondisi seperti ini. Jika kita ingin masa depan yang berbeda, kita harus merubah cara kita mengatasi persoalan.
Saat ini, agama digunakan sebagai justifikasi dan senjata untuk berkonflik. Kita, kaum beragama, mesti bertanya pada diri kita sendiri, apakah ini benar-benar fungsi yang sebenarnya dari agama? Atau apakah ada cara lain yang memungkinkan agama berfungsi sebagai sumber inspirasi untuk menemukan solusi dari semua konflik ini?
Dalam pandangan saya, juga pandangan NU, dunia perlu berubah. Semua pihak perlu berubah. Saya akan menggunakan metafora “obat macam apa pun tidak akan bisa menyembuhkan pasien diabetes atau jantung, selama si pasien tidak mau merubah gaya hidupnya”. Salah satu ayat dalam Quran juga menyebutkan “innallaha laa yughayyiru maa bi qaumin hatta yughayyiru maa bi anfusihim” yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Selama ini kita selalu terlibat dalam konflik untuk memperebutkan barang, sumber daya, kekuasaan, apapun itu, dengan tujuan untuk mengalahkan pihak lain. Dan pada akhirnya, kita bahkan tidak mampu lagi membedakan bagaimana konflik ini bermula, dan bagaimana seharusnya konflik ini diselesaikan.
Bagi saya, yang tersisa saat ini adalah sebuah pilihan. Sebuah pilihan mendasar yang bisa memberi kita solusi nyata. Pilihan itu adalah apa yang kita sebut dalam Islam sebagai “Rahmah”. Rahmah berarti kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Kita “harus” memilih Rahmah, karena ini adalah awal dari semua hal baik yang kita selalu idamkan. Jika kita memilih Rahmah, baru kita bisa berbicara soal keadilan. Karena keadilan bukan hanya merupakan sesuatu yang kita inginkan, tapi juga tentang kemauan untuk memberikan keadilan bagi orang lain. Jika seseorang tidak memiliki Rahmah, tidak memiliki kasih sayang dan kepedulian terhadap orang lain, orang ini tidak akan pernah mau memberi keadilan untuk orang lain. Jadi, jika saya harus berseru pada dunia, aku ingin menyerukan pada dunia: “Mari memilih Rahmah”.
DR: Konsep Rahman dan Rahim memiliki kemiripan dalam Yahudi. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam dan Yahudi sejatinya memiliki kedekatan dalam spirit dan tradisi keagamaan. Pak Yahya, kami berterimakasih banyak atas seruan anda untuk memilih Rahmah, dan kami harap anda mampu menjadi inspirasi bagi muslim di seluruh dunia, dan kita harap kita bisa mencapai rekonsiliasi dan membawa berkah bagi seluruh masyarakat. Dan AJC akan selalu berusaha menjalani peran untuk memfasilitasi rekonsiliasi dan perdamaian sejati.[]