Non-Muslim atau orang-orang di luar agama Islam banyak dibahas dalam al-Quran. Sedikitnya ada beberapa terma untuk menyebutkan non-Muslim, di antaranya adalah: Musyrik, Kafir, Yahudi dan Nasrani. Banyak sekali ayat al-Quran yang mengulas mengenai empat kelompok tersebut dengan beragam tema dan derivasi penggunaan katanya. Dua kata yang terakhir adalah terma khusus yang merujuk pada dua agama samawi dalam rumpun Abrahamic Religion bersama dengan Islam.
Kita tidak bisa pungkiri bahwa gesekan antar ketiga agama tersebut sejak wahyu al-Quran diturukan kepada Nabi Muhammad saw hingga sekarang masih cukup berpengaruh. Contoh konkrit dari perseteruan antar ketiga agama ini adalah perebutan Yerussalem yang diklaim sebagai kota suci dari masing-masing agama.
Pada 6 Desember 2017 lalu misalnya, secara sepihak Donald Trump selaku presiden Amerika Serikat menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Peristiwa ini menandakan ketegangan yang tidak pernah redup dalam hal perebutan legitimasi sebagai pemilik penuh kota suci, Yerussalem. Meskipun dapat dikatakan bahwa agama sebagai sumber konflik di Yerussalem merupakan kesimpulan yang terlalu cepat, karena ada banyak faktor lain yang menjadi musabab terjadinya perpecahan, akan tetapi bagi sebagian pihak memang mereka (Yahudi dan Nasrani) tidak pernah memiliki iktikad baik kepada Islam.
Kenyataan seperti di atas tampaknya mempetontonkan konflik yang tidak berkesudahan hingga sekarang ini. Hal ini juga dikuatkan dengan ayat-ayat al-Quran yang menyebutkan bahwa mereka akan senantiasa memusuhi Islam. Terutama sekali Yahudi dan Nasrani. Q.S al-Baqarah [2]: 120 mengonfirmasi hal ini:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.
Ayat di atas adalah satu dalil al-Quran yang seringkali digunakan untuk menyatakan bahwa Yahudi dan Kristen adalah dua agama yang selamanya akan berusaha merusak Islam. Kelompok Yahudi dan Nasrani adalah dua agama yang selalu menganggap Islam sebagai musuh. Mereka tidak akan pernah rela kepada Islam.
Pertanyaannya kemudian apakah benar ayat tersebut secara langsung menjadi jaminan Allah swt bahwa semua orang Yahudi dan Kristen di seluruh dunia ini memiliki niat jahat kepada Islam, agar orang-orang Muslim murtad dan menjadi Yahudi atau Nasrani? Lalu dalam konteks kehidupan di Indonesia yang plural ini, patutkah kita yang hidup dalam keragaman mencurigai tetangga-tetangga kita yang non-Muslim?
Untuk memahami ayat di atas, sudah seharusnya kita melihat penafsiran-penafsiran para ulama yang tertuang dalam beragam kitab tafsir. Sangat tidak memadai untuk memahami suatu ayat dengan hanya mengandalkan terjemahan lalu menarik kesimpulan atas dasar terjemahan. Mari kita telusuri bagaimana para mufassir memahami ayat tersebut.
Al-Thabari dalam Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran dan juga Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menguraikan ayat diatas dengan redaksi kata ganti orang kedua (mukhathab) yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Dan sangat tegas bahwa ayat tersebut khusus kepada Nabi Muhammad saw dengan memakai kata “kamu”. Lebih lanjut Al-Thabari menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan agar Nabi Muhammad saw berhenti untuk mengikuti kehendak orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan mengabulkan segala permintaan mereka hanya agar mereka masuk Islam. Karena tidak akan sama antara Yahudi dan Nasrani, begitu pun antara kedua agama tersebut dengan Islam. Dan tidak akan mungkin ada dua atau tiga agama dalam diri seseorang.
Selaras dengan al-Thabari dan Ibnu Katsir, al-Qurthubi pun menjelaskan bahwa ayat tersebut ditujukan khusus kepada Rasulullah saw. Bahwa bukan tujuan bagi Nabi Muhammad saw untuk mengikuti kehendak orang Yahudi dan Nasrani. Bukan pula tujuan Nabi Muhammad saw untuk berdakwah agar orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Akan tetapi tujuan dakwah Islam Nabi Muhammad saw adalah semata-mata mengharapkan ridha Allah swt.
Bahkan Ibnu ‘Abbas sebagaimana dikutip oleh al-Baghawi menerangkan bahwa konteks turunnya ayat ini adalah dalam masalah kiblat. Perlu diketahui bahwa pada masa awal perintah Shalat, kiblat pertama bagi Rasulullah dan para sahabat adalah menghadap Baitul Maqdis. Kemudian turunlah Q.S al-Baqarah [2]: 144 yang memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk berkiblat ke Masjidil Haram. Sejak saat itu, orang-orang Yahudi Madinah dan orang-orang Nasrani Najran meminta Rasulullah saw. agar tetap berkiblat ke Masjidil Aqsa. Tetapi Allah kemudian menurunkan ayat ini Q.S al-Baqarah [2]: 120.
Dengan menelusuri berbagai kitab tafsir, seperti empat kitab tafsir yang telah dijelaskan di atas, tampaklah bahwa ayat 120 dalam surat al-Baqarah, tidak ditujukan untuk memerintahkan orang-orang Muslim menaruh curiga kepada umat non-Muslim. Berbaik sangka (husnudzan) kepada siapa pun, termasuk orang Kristen dan Yahudi adalah sesuatu yang diajarkan Islam. Sebagaimana sabda Nabi dalam Sahih Muslim:
لَا يَمُوتُ أَحَدُكم إلا وهو يُحسِّن باللَّه الظن
Janganlah salah seorang di antara kalian mati terkecuali telah berbaik sangka kepada Allah swt.
Dalam konteks hadis di atas, Abu Sulaiman al-Khattabi menerangkan bahwa husnudzan adalah buah dari amal baik dan jika seseorang berburuk sangka, maka itu adalah tanda buruk amalnya. Dalam hadis lain yang terdapat dalam Sahih Bukhari Rasulullah saw bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ
Jauhilah oleh kalian prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.
Melihat konteks global dunia di zaman modern ini, hubungan antar ketiga agama di dalam masyarakat sipil tidak jarang saling mendukung satu sama lain. Misalnya saja, sejak terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat dengan kampanye anti-Islam, orang-orang Yahudi juga orang-orang Kristen ikut serta dalam aksi protes yang pernah dilakukan Muslim AS di depan Trump Tower di New York seperti dilansir oleh www.independent.co.uk. Aksi solidaritas tersebut menunjukkan bahwa hubungan antar agama sudah sangat cair dalam masyarakat sipil.
Pun begitu pula dengan konflik kota suci Yerussalem. Dalam kaca mata politik, aksi Donald Trump yang dengan sepihak mengakui bahwa Yerussalem sebagai ibu kota Israel dikecam oleh dunia Internasional. Pengecaman tersebut tidak hanya datang dari Negara-Negara yang notabene Islam ataupun berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia, tetapi Negara-Negara seperti Italia, Perancis dan Jerman, pun ikut mengecam tindakan AS. Hal ini menandakan bahwa di dunia yang semakin global dan plural ini, sudah semestinya Indonesia mampu menjalani kehidupan yang harmonis tanpa rasa curiga yang dilandaskan pada identitas agama masing-masing.