Timnas Indonesia dan Perdebatan Identitas yang Tak Pernah Selesai

Timnas Indonesia dan Perdebatan Identitas yang Tak Pernah Selesai

Timnas Indonesia dan Perdebatan Identitas yang Tak Pernah Selesai

Timnas Indonesia dan Perdebatan Identitas yang Tak Pernah Selesai

Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang konon diucapkan oleh Gus Dur: Kita ini orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia, atau orang Indonesia yang beragama Islam? Pertanyaan tersebut mengantarkan pada perbincangan-perbincangan yang panjang, yang muaranya akan bertaut pada satu kata: identitas.

Diskursus keislaman dan keindonesiaan memang sempat menguat di Indonesia beberapa tahun yang lalu. Menguatnya eksklusivisme beragama dengan beragam atributnya menandai formalisasi yang terlihat semakin diwajarkan. Beberapa pihak kemudian memproblematisasi adanya Islam murni dan campuran yang skalanya bervariasi, mulai dari simbol berpakaian hingga ideologi negara.

Jika diurut lebih jauh, pertarungan wacana keislaman versus keindonesiaan ini sudah terjadi sejak lama. Pengkerengan keduanya bahkan mengakibatkan organisasi keislaman enggan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Gus Dur bersama tokoh-tokoh moderat NU kemudian berhasil meyakinkan para pemuka agama bahwa Indonesia dan Islam itu bukan entitas yang bertentangan. Keduanya bisa didudukkan, didialogkan, dan dijadikan silang warna yang memperkuat identitas kebangsaan. Penerimaan NU pada Pancasila tahun 1984 menandai penafsiran yang lebih lentur dan dialektis antara kelompok Islam dan nasionalis.

Gus Dur kemudian membawa wacana baru di awal 1980-an dengan artikelnya berjudul ‘Salahkah Jika Dipribumikan?’. Ia menggugat pensakralan simbol-simbol keislaman yang menurutnya sangat luaran. Ia mengurai beberapa objek seperti atap masjid, sebutan ibadah, dan ucapan salam. Mengapa ada kecenderungan orang mengkubahkan atap masjid? Mengapa orang lebih merasa kaffah kalau menyebut ibadahnya dengan kata ‘salat’ dibanding ‘sembahyang’. Bagaimana mungkin ucapan ‘selamat pagi’ dianggap kurang kadar kerejiusannya dibanding ‘assalamualaikum’?

Kegelisahan Gus Dur empat dasawarsa yang lalu nyatanya masih terus terjadi hingga hari ini. Meski saat ini kita bisa dengan sangat percaya diri menyebut seratus persen Islam dan seratus persen Indonesia. Kalimat yang mungkin masih sulit dipahami oleh sebagian orang yang belum sepenuhnya mampu berpikir secara gradasional dan masih terjebak pada contrasing yang serba tegas dan menegasi. Bahwa ada entitas tunggal yang asli (the origin), yang sudah dikristalisasi sehingga tidak bisa berkembang meski bertemu dengan banyak realitas.

Nasionalisme

Jika di masa lalu nasionalisme kerap dibenturkan dengan identitas keislaman, saat ini muncul perdebatan tentang tema nasionalisme dalam kadar yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Siapa pernah menyangka bahwa menjadi warga negara Indonesia akan dipermasalahkan sebegitunya? Hal ini terjadi di tengah gencarnya federasi sepakbola Indonesia (PSSI) melakukan langkah-langkah pemanggilan pesepakbola keturunan yang berkarir di luar negeri untuk membela Tim Nasional Indonesia. Terbaru, PSSI berhasil meyakinkan tiga pemain liga utama di Eropa untuk membela Indonesia, yaitu Mees Hilgers (FC Tweente), Eliano Reijnders (PEC Zwolle), dan Kevin Diks (FC Copenhagen).

Saya tidak akan membahas persoalan prosedural yang sudah banyak diulas para ahlinya. Di tulisan ini saya ingin merefleksikan bahwa membicarakan yang asli (the origin) memang bisa menjebak siapa saja. Saya coba ilustrasikan melalui geger Timnas Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. 11 pertama di laga versus Bahrain, hanya satu yang berasal dari Liga 1 Indonesia. Situasi ini membuat sebagian orang menyinyir, menyebut bahwa line up sudah tidak diisi oleh orang-orang pribumi.

Agak berlebihan komentar demikian. Istilah pribumi mengacu pada apa? Lalu identitas kepribumian itu domain siapa?

Saya punya pengalaman pelik soal terminologi pribumi, warga asli, atau yang semakna. Sebagai transmigran, ada saja orang-orang yang membenturkan para pendatang dengan isu-isu lokalitas. Misal dalam politik, sering terjadi peminggiran dan tatapan peliyanan dari orang-orang yang menon-pribumikan.

Di tempat yang lain (bukan di desa saya tinggal), ada kejadian rumah-rumah para petani transmigran dihujani bebatuan oleh warga setempat. Transmigran yang tak tahu menahu karena hanya ikut program negara, justru menjadi korban akibat sentimen ‘yang asli’ dari sekelompok orang. Konon, warga yang lebih dulu tinggal merasa terganggu karena ada perkampungan transmigran di tengah belum baiknya kondisi ekonomi warga setempat.

Para pemain naturalisasi di Timnas Indonesia (yang belakangan lebih nyaman disebut diaspora) juga mengalami hujan batu berupa komentar dari orang-orang yang mendaku lebih asli itu. Mereka disebut dengan banyak istilah yang intinya meliyankan mereka dari keaslian penduduk yang lebih dulu menetap. Semua dirangkai atas nama nasionalisme dan patriotisme.

Ironisnya, nasionalisme ini jadi perdebatan selama berpuluh-puluh tahun. Sejak negara bangsa didirikan, nasionalisme menjadi ideologi politik yang kerap dipakai untuk berbagai kepentingan. Sebagian mewujud pada bentuk chauvinisme hingga fasisme, sebagian menyerukan semangat persatuan yang tidak mengingkari multikulturalisme. Padahal, kita sama-sama pendatang. Yang membedakan hanya kapan datangnya.

Kolonialisme dan faktor kesejarahan membuat kita sekarang ada di fase yang kita rasakan. Maka nasionalisme mestinya sesuatu yang aktif. Artinya siapa saja bisa mengidentifikasi dirinya sebagai siapa. Nasionalisme bukanlah takdir yang mengalir dari garis keturunan. Karena orang yang lahir di satu tempat tertentu saja banyak yang ‘tidak nasionalis’ dan cenderung menindas.

Di masa kini kita bisa melihat dua wajah nasionalisme yang coba dipertarungkan wacananya. Wajah pertama adalah peliyanan pada pemain yang memilih membela negara, wajah kedua multikulturalisme yang menerimanya dan bahkan merayakannya dengan tengan terbuka.

Saya tidak tahu sampai di titik mana perdebatan ini akan terjadi. Sebagaimana saya contohkan di atas, identitas keislaman dan keindonesiaan saja masih terus ada meski telah disuarakan selama berpuluh-puluh tahun. Identitas nasionalisme ini bisa jadi terus bergulir tanpa batas waktu yang bisa diprediksi.

Oleh karenanya, silakan jika ada yang mau melanjutkan yang asli-yang aslian. Saya pribadi mau menikmati saja Timnas yang semakin kompetitif ini.