Tempo hari, sempat viral di media sosial, unggahan sepasang sandal yang terukir di bagian tumpuan tungkak-nya aksara Arab. Ditengarai, hal itulah yang kemudian menyulut perdebatan di kolom komentar.
Sebagai seorang santri yang saking akrabnya dengan persoalan sandal, saya tentu sangat mengerti apa yang diimajinasikan oleh si empu sandal tersebut. Dan jangan kira mengukir di atas karet itu mudah. Karenanya, sungguh ironi ketika “karya seni” yang mustinya diapresiasi itu, namun malah dicaci maki. Gak mutu bin ndak nyambung lagi komentar-komentarnya. Hadeuh…
Lagian, ukiran itu juga bermaksud untuk menerangkan kalau sandal itu ada kanan (yamiin) dan kiri (syimaal). Bukan nama orang, ayat Alquran, apalagi lafaz Allah.
Entah itu sebuah konspirasi atau bukan, akun fiktif atau tidak, dan lepas dari fenomena pengumpat-pengumpat itu, perlu kita akui dan sadari bahwa itulah salah satu potret kelam situasi kehidupan media sosial kita.
Bagi warganet yang memiliki kewarasan berpikir dan kesadaran kritis, barangkali akan tersipu menanggapi postingan itu. Sebab, hari ini siapa bisa menjamin keamanan sepasang sandal Swallow—dan sejenisnya— yang ketika di bawa ke Masjid misalnya, tidak dilirik orang. Atau minimal tidak pindah tempat lantaran dipakai bersuci jamaah lain.
Akan tetapi apakah dari sekian banyak warganet kita adalah orang waras semua?
Saya berasumsi tidak. Ya, laiknya dunia nyata, dunia maya pun terdapat orang sakit jiwa. Dan orang gila sekali pun juga memiliki Hak Asasi Manusia untuk menjadi bagian dari warganet. Tanpa terkecuali.
Memang, di media sosial siapa saja berhak ngomongin apa saja. Mulai dari fungsinya sebagai jejaring silaturahim, potret megahnya kehidupan sosialita, hingga meluapkan birahi kebencian. Baik sebagai unggahan sendiri maupun di kolom komentar orang lain.
Yang terakhir itu efeknya bahkan bisa meletup di mana saja dan kapan saja. Baik dipicu oleh isu receh beda kaus, meme, beda pandangan politik dan utamanya agama, juga yang paling krusial adalah nalar kebencian yang semakin kaffah menghadapi itu semua.
Yang paling mujarab dari semua itu, biasanya merupakan akibat dari semangat menggebu untuk menjadi ‘yang paling benar’ atas nama agama. Sugesti ber-amar ma’ruf nahi munkar atau ‘jihad’ di jalan Allah—dalam tingkatan paling mulia—kentara sekali sehubungan dengan hal ini. Dengan catatan, kalau aktor di balik pengumbar kebencian itu bukanlah akun fiktif yang terorganisir.
Kendati memang, baik amar ma’ruf nahi munkar atau jihad merupakan perintah agama. Ayatnya pun terang dan cukup melimpah kita temui dalam Alquran. Bahkan Sayyidina Ali, sebagaimana dicatat oleh ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, mengatakan bahwa jihad paling utama adalah amar ma’ruf nahi munkar.
Adapun Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menyebut amar ma’ruf nahi munkar tidak cocok kecuali untuk orang yang tahu apa yang ma’ruf, dan paham apa yang munkar, selain juga semestinya mengerti prioritas masalah dan bagaimana skema menegakannya.
Akan tetapi dalam manifestasinya, misi mulia itu seringkali dibelokkan oleh segelintir oknum, demi mencapai kepentingan pragmatisnya. Sehingga wajar saja jika pesan utama dari amar ma’ruf nahi munkar justru mengalami degradasi nilai.
Alhasil di tangan orang bodoh, tambah Zamakhsyari, barangkali justru akan melarang yang ma’ruf dan memerintahkan sebaliknya. Bisa juga ia tahu hukum, tetapi hanya menurut mazhabnya sendiri, sementara buta mengenai pengetahuan mazhab saudara lainnya, lalu melarang sesuatu yang sebenarnya baik-baik saja.
Pada titik inilah kemudian, ketidaksetujuan seseorang kepada tokoh, ulama, dan bahkan pejabat pemerintahan diekspresikan lewat sebuah penghinaan yang hqq. Alih-alih melahirkan produktivitas pemikiran, gagasan yang jernih, atau fokus kebijakan. Ketidaksetujuan kepada pihak yang berbeda malah berkutat di level keki satu sama lain. Stigma-stigma negatif yang sama sekali tidak berdasar pun diucapkan dengan penuh kebencian.
Celakanya kalau itu bukan disebabkan oleh ketidak-mengertian, melainkan oleh sikap tak rendah hati yang disponsori oleh perasaan paling suci.
Maka, menjadi jelas bagaimana kebanggan diri seperti itu bisa menjelma menjadi suatu bentuk kezaliman, dan dalam hal ini media sosial muncul sebagai contoh dengan warganet fasik— istilah teknis agama untuk segala jenis kerusakan moral—sebagai salah satu bagian dari penghuninya. Dan apapun itu, yang namanya fasik tentu rumit sekali prosesnya untuk mencairkan sebuah pahala. Apalagi ganjaran surga. Wallahhu a’lam.
Anwar Kurniawan, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.