Melakukan Kebaikan Ini, Pahalanya Sempurna

Melakukan Kebaikan Ini, Pahalanya Sempurna

Melakukan Kebaikan Ini, Pahalanya Sempurna

Islam senantiasa mendorong penganutnya untuk berbuat baik antar sesama manusia tanpa memandang ras, jenis kulit, dan latar belakang agama. Tetapi seringkali motif kebaikan seseorang dilandasi oleh berbagai alasan. Mulai dari ingin mendapatkan pujian dan pengakuan orang, mengharapkan ganjaran pahala dari  Allah SWT, ingin memperoleh tempat yang telah dijanjikan di akhirat berupa surga, ingin berbagi kenikmatan murni karena terdorong ingin membantu orang yang sedang kesulitan, hingga yang memang tidak mengharapkan apapun dari tindakan baiknya kepada orang lain.

Banyak cara orang melakukan kebaikan termasuk menunjukkan akhlak yang baik kepada orang lain. Nabi Muhammad SAW dalam banyak kesempatan juga telah banyak mengajarkan umatnya melalui sabdanya,”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia menghormati tamunya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari maka hendaknya ia berkata baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam,(HR. Ahmad).”

Berbuat baik kepada orang lain memang memberikan kebahagiaan tersendiri terlebih jika yang menerima kebaikan kita merasa bahagia dan ikut terbantu. Dalam benak kita mungkin melakukan kebaikan adalah yang hal yang mudah karena dalam agama Islam hanya dengan tersenyum kepada orang lain saja sudah termasuk berbuat baik. Tetapi ada perbuatan baik yang sulit diterapkan kecuali orang-orang yang bejiwa besar dan berhati ikhlas. Jika seseorang mampu melakukan kebaikan itu, maka nilainya akan sempurna di mata Allah SWT yaitu menyedekahkan barang yang disukai kepada orang yang membutuhkan. Banyak kisah sahabat yang bercerita tentang hal itu.

Seperti kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu yang terkesan dengan firman Allah SWT,”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, (Q.S. Ali ‘Imran: 92).

Diceritakan bahwa Zaid bin Haritsah memiliki kuda yang diberi nama Dandil. Ia sangat menyukai kuda itu. Suatu hari ia ingin menafkahkan kudanya untuk digunakan dalam perang dan datang kepada Rasulullah seraya berkata,”Wahai Rasulullah, engkau tahu betapa aku menyukai kuda ini tetapi aku ingin menfkahkannya di jalan Allah.”

Rasulullah SAW pun menerima kuda tersebut dan membawanya kepada Usamah bin Zaid lalu beliau menaikan Usamah di atas kuda itu. Ketika melihat hal itu, Zaid merasa sedih karena kuda yang diberikan untuk digunakan di jalan Allah itu ternyata digunakan oleh Usamah dan berkata,”Wahai Rasulullah, tujuanku memberikan kuda ini untuk digunakan di jalan Allah bukan untuk diberikan kepada anakku agar ia dapat menaikinya. Rasulullah SAW menjawab,”Aku memberikan kuda ini kepada Usamah, anakmu, karena Allah telah menetapkan pemberianmu itu sebagai pahala.”

Kisah yang sama pula terjadi pada sahabat yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari. Ia memiliki Unta jantan yang kuat dan sangat disukainya. Ia juga terkesan dengan firman Allah SWT,”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, (Q.S. Ali ‘Imran: 92).

Suatu hari, ia didatangi seorang tamu seraya berkata,”Wahai Abu Dzar, aku bingung mau makan apa hari ini.” Abu Dzar menjawab,”Kalau begitu, pergilah menuju kandang untaku dan pilihlah unta yang terbaik untuk disembelih.” Maka keluarlah sang tamu menuju kadang dan tidak lama kemudian kembali menemui Abu  Dzar dengan membawa unta kurus yang dipilihnya. Ketika Abu melihatnya ia berkata,”Demi Allah, engkau telah menghianatiku. Bukankah tadi aku sudah bilang ambillah unta terbaik (gemuk, sehat dan berisi).” Tamu itu menjawab,”Wahai Abu Dzar, tadi aku telah melihat unta yang terbaik, tetapi aku sisakan untukmu barangkali suatu hari nanti kau akan membutuhkannya.” Abu Dzar menjawab lagi,”Sesungguhnya yang kubutuhkan adalah sesuatu yang dapat menolongku ketika kepalaku telah berada di dalam tanah.”

Abu Dzar dan para sahabat lainnya menyadari bahwa sesungguhnya hari di mana mereka dikuburkan adalah hari sebenarnya yang mereka tunggu-tunggu dan harus dipersiapkan selagi nyawa masih berada di kandung badan. Mereka rela memberikan benda kesayangan mereka demi mendapatkan kebaikan yang sempurna.