Sebenarnya, santernya kritikan yang dilancarkan publik kepada pemerintah, wakli rakyat, dan elit politik lainnya adalah anugerah yang patut disyukuri bagi yang berkenaan. Sebab manusia yang paling sial adalah dia yang tidak seorangpun berani menyalahkan, meskipun nyata-nyata banyak luput yang dilakukannya.
Jika Anda benar-benar seorang sahabat baik, tidak mungkin kan Anda membiarkan kawan yang upilnya melorot tanpa aba-aba kesana kemari sehingga diam-diam diketawain banyak orang?
Repotnya, di dunia yang serba bebas bicara ini, ada juga pihak-pihak yang, untuk alasan sangat remeh, berbuat jahat pada pemimpinnya sendiri. Kesalahan pemerintah dikatakannya sebagai kebenaran absolut. Kebodohan dinyatakan sebagai kecemerlangan. Kekonyolan dibilangnya kemuliaan. Api dikata air, air dibilang api. Neraka diviral-viralkan sebagai surga. Sedang surga disembunyikan entah di mana.
Kalau pemimpin mereka berjalan di tengah-tengah banyak orang padahal sedang lupa menutup resleting celana dan kelihatan anunya, para penjahat ini akan mengatakan, “Lihat! itulah trend modis paling toppp! Sungguh, dalam negara tropis dengan cuaca yang serba sumuk, Bapak sangat memahami arti kesehatan organ.
Rakyat musti tau, bahwa ini adalah terobosan, langkah cerdas, dan wajib dibenarkan”. Argumen-argumen dibangun, disebar, diviralkan dalam utas-utas twitter.
Tapi, toh itu semua huznudzon saya saja. Kritik yang merupakan potensi anugrah atau pujian-pujian yang menghancurkan itu ‘kan kalau sang pemimpin mau mendengarkan, mencerna, dan menghayatinya. Kalau tidak, ya, segala bisikan, teriakan, demonstrasi, aksi masa, dan keriuhan apa saja yang memperingatkan pemerintah untuk “nutup resleting” tidak ubahnya sama saja dengan suara ember ngglimpang yang tak memiliki makna apa-apa.
Lagi pula siapa sih saya, Anda, atau kita? Berani-beraninya mau memberikan kritikan dan masukan segala. Sementara, orang-orang terkenal, tokoh-tokoh hebat yang lebih memiliki kemungkinan terdengar suaranya, sudah teriak-teriak dengan berbagai cara juga tak bisa mengubah apapun.
Bahkan, sekelas organisasi masyarakat paling besar sekalipun tidak bisa banyak berbuat untuk sekedar menghalang-halangi aurot pemimpin agar tak makin tampak senonoh. Tapi apa daya, kalau itu semua malah dinilai kegaduhan belaka. Suara-suara peringatan itu justru dianggap membuat ketidakstabilan nasional.
Atau, barangkali para wakil rakyat kita memang sedang sibuk-sibuknya mengabdi, tenggelam dalam pekerjaannya sehingga suara apapun menjadi tak kedengaran. Pun demikian dengan pemerintah. Kalaupun peringatan-peringatan dan teriakan kita sebagai orang kecil terdengar, itu sama sekali tak mengurangi kekhusyu’an mereka dalam bekerja ibarat masyhur cerita khusyu’-nya Ali dalam sholatnya hingga bahkan tak lagi bisa merasakan mata panah yang dicerabut dari daging tubuhnya.
Maka, boleh jadi, dari sudut pandang lain, justru kita rakyat biasa yang bising inilah yang berpotensi membatalkan kekhusyukan pemerintah dalam bekerja. Rakyat tak semestinya perlu mengganggu wakil-wakil yang dibayarnya untuk nyupiri negara ke arah sejahtera.
Sebab pemimpin sudah pasti mengerti adagium fiqh ini: “Langkah dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait langsung pada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manauthun bi al-maslahah)”.
Para pemimpin kita tentu saja sudah berhati-hati dalam melangkah. Juga tidak sembarangan dalam menyusun kebijakan. Terbukti, dalam beberapa waktu terakhir, dan terutama hari-hari ini, RUU Ciptaker yang penuh polemik itu tetap selesai meskipun dalam suasana tidak menentu.
Pekerjaan tetap rampung sekalipun harus lembur larut-larut menahan ngantuk yang amat sangat. Target tetap tercapai walaupun dalam suasana pandemi yang menggoyahkan mental jiwa seluruh warga bangsa.
Betapa pemimpin kita tak hanya sekadar melangkah, namun berlari sekuat tenaga! Tentu saja kaidah fiqh diatas tak mungkin salah, sehingga atas langkah dan kebijakan pemimpin-pemimpin kita hari ini, sudah selayaknya kita berharap-harap akan datangnya kesejahteraan kehidupan di masa yang akan datang.
Kalaulah kelak bahagia dan sejahtera itu tak segera tampak mendatangi kita, barangkali bisa juga kita mengingat salah satu pernyataan wakil rakyat yang suatu kali diprotes mengenai keberpihakan suatu rancangan perundang-undangan atau kebijakan yang akan mereka buat. Sebelum menjawab, dia justru bertanya balik, “rakyat yang mana dulu?”
Jadi, mungkin saja, kita terlampau GR bahwa wakil-wakil dan pemimpin kita itu bekerja untuk kita. Mereka melangkah, mereka membuat kebijakan, mereka bekerja, mereka mencipta kesejahteraan untuk rakyat, tapi rakyat yang selain kita.
Lalu siapa? Entah, barangkali kita perlu mewawancari lagi sang wakil rakyat tadi.