Wajah Islam semakin murung. Timur Tengah, sebagai tanah kelahiran Islam, sudah tidak lagi bisa diharapkan dapat mengembalikan citra Islam sebagai agama kemanusiaan, agama yang membangun sejarah peradaban umat manusia bukan yang dijadikan alat untuk menghancurkannya sebagaimana dilakukan oleh sekelompok orang yang melakukan tindak kekerasan atas nama Islam.
Negara-negara Islam di Timur Tengah sudah tercabik-cabik dalam konflik. Harapan satu-satunya hanya pada Islam Indonesia, Islam yang membawa cita-cita luhur sebagai rahmat bagi umat manusia. Misi inilah sebetulnya yang pernah dibawa dan disuarakan oleh Kiai Hasyim Muzadi di tahun 2000-an. Tepatnya pasca serangan terorisme terhadap menara kembar WTC dan markas besar militer Amerika Pentagon.
Waktu itu “islam” dianggap sebagai pihak tertuduh mendalangi aksi terorisme itu. Seolah membenarkan tesis Huntington bahwa musuh Barat setelah komunisme adalah Islam. Wajah Islam mulai suram karena dituduh ikut menyumbang sejumlah aksi-aksi terorisme di dunia. Islam dianggap memberikan legitimasi teologis bagi aksi-aksi kekerasan atas nama agama ini.
Melalui jaringan terorisme al-Qaeda dan ISIS, mereka menyerukan Jihad Global ke seluruh dunia.
Melalui ICIS (International Conference of Islamic Sholars) Kiai Hasyim Muzadi menyuarakan Islam yang membawa pesan-pesan perdamaian, Islam rahmatan lil alamin. Di tengah reputasi dan citra islam semakin merosot di mata dunia akibat ekstrimisme-terorisme, Kiai Hasyim seolah ingin mengabarkan pada dunia bahwa Islam rahmatan lil alamin betul-betul ada dan nyata. Dan itu ada di Indonesia (Nusantara).
“Orang-orang Eropa harus melihat Islam Indonesia,” kata kiai kelahiran Malang 8 Agustus 1944 ini.
Karena itu, ia menginisiasi ICIS, mengumpulkan puluhan pemimpin dunia, untuk bersama-sama menyuarakan perdamaian, mengembalikan citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Menurutnya, kehadiran ICIS ini penting di tengah maraknya kekerasan atas nama agama. Ia khawatir jika ekstrimisme-terorisme terus dibiarkan, pemikiran moderat akan tergerus oleh pemikiran radikal. Sehingga, katanya, perlu upaya sistematis dalam menangkal dan menangani ancaman terorisme dan anti-terorisme yang mewujud dalam islamophobia.
Baginya, kedua ancaman itu (terorisme dan anti terorisme) bisa diurai dengan cara menghadirkan Islam yang ramah bukan Islam yang marah.
Gagasan mendirikan ICIS ini, oleh Kementerian Luar Negeri saat itu, dijadikan sebagai sarana second track untuk desiminasi Islam rahmatan lil alamin a la Indonesia ke luar negeri. Juga sebagai sarana diplomasi B to B (business to business).
“Dalam mendirikan ICIS, Kiai Hasyim Muzadi terinspirasi oleh Komite Hijaz yang dilakukan oleh Mbah Wahab Chasbullah, di mana saat itu Mbah Wahab ingin menyebarkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus melawan ajaran Wahabi,” tutur Arif Zamhari, menantu Kiai Hasyim (6/7). “Melalui ICIS ini, Kiai Hasyim Muzadi ingin mendiseminasikan ajaran Islam yang ramah dan toleran ke dunia,” tambahnya.
Jadi, sebelum muncul gagasan internasionalisasi Islam Nusantara sebagaimana muncul pada Muktamar NU ke-33 di Jombang, Kiai Hasyim Muzadi sudah melakukan kampanye itu ketika menjabat Ketua Umum PBNU dua periode 1999-2009. Jauh sebelumnya, ketika ia masih menjabat ketua PWNU Jawa Timur, Kiai Hasyim pernah diundang ke Amerika untuk mengenalkan Islam Indonesia.
Dalam bukunya Membangun NU Pasca Gus Dur ia bercerita ketika diundang ke Negeri Paman Sam itu atas sponsor The United States Information Agency (USIA). Di sana ia membicarakan banyak hal, terutama menyangkut tema-tema sperti: bagaimana Islam Indonesia berdialog dengan demokrasi, HAM, civil society, hingga kehidupan toleransi di Indonesia.
Baginya, Islam Indonesia memiliki keunikan tersendiri dibanding Islam-Islam di belahan dunia ini. Karakter Islam Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai tawasut (moderat), tawzun (keseimbangan), I’tidal (keadilan), merupakan kekuatan tersendiri bagi Islam Indonesia ketika berhadapan dengan modernisasi dan globalisasi.
Sebagai bagian dari strategi Kiai Hasyim dalam me-mainstreaming moderatisme Islam ke belahan dunia lain, ia mendirikan PCI NU (Pengurus Cabang Istimewa NU) di sejumlah negara. Gagasan cerdas ini baru dilakukan ketika Kiai Hasyim menjabat Ketua Umum PBNU. Sebagai organisatoris yang meniti karir organisasinya merangkak dari bawah ini, Kiai Hasyim paham betul bahwa perjuangan dan dakwah lewat organisasi jauh lebih strategis dibanding dakwah di luar organisasi.
Kiai Hasyim ingin agar citra Islam rahmatan lil alamin yang tercermin dalam Islam Indonesia ini dapat dikenal dan bisa memecah kebuntuan dialog peradaban akibat munculnya ekstrimisme-terorisme yang diekspor dari Timur Tengah.
Sebagai bentuk konsistensi perjuangan beliau dalam menyemai Islam yang berperadaban, Kiai Hasyim juga pernah menjabat sebagai Presiden WCRP (World Conference on Religion for Peace), sebuah organisasi internasional para pemuka agama untuk perdamaian dunia. Jabatan serupa pernah diisi oleh Gus Dur.
WCR sendiri didirikan pada 1070. Ia berpusat di Markas Besar PBB di New York. Pada pertemuan di Kyoto, hadir 600an tokoh dari berbagai macam agama perwakilan dari 100 negara di Dunia.
Beberapa program yang dijalankan adalah menghentikan perang, mengakhiri kemiskinan dan melindungi bumi. Mereka telah berupaya untuk membantu upaya rekonsiliasi di Irak, menjadi mediator dalam perang antar suku di Sierra Leone serta membantu jutaan anak yang terinfeksi virus HIV di Afrika.
Kiai Hasyim dipilih sebagai ketua karena perannya dalam pengembangan perdamaian, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Kiprah Kiai Hasyim dalam dunia internasional diakui diantaranya oleh Hidayat Nur Wahid. Politisi dan Wakil Ketua MPR RI ini mengatakan, pemikiran Kiai Hasyim soal Islam moderat dikagumi dunia internasional. Pemikirannya menjadi soft diplomasi dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang kondusif
Din Syamsuddin, ketua umum Muhammadiyah 2005-2015, menyebut Kiai Hasyim sebagai promotor Islam Rahmatan lil Alamin, baik di dalam maupun di luar negeri. Kepergian Kiai Hasyim di saat dunia Islam butuh sesosok pemimpin yang menyemai nilai-nilai Islam Rahmatan lil Alamin.
Gagasan dan pemikiran Kiai Hasyim menginternasionalisasi Islam Indonesia, Islam rahmatan lil alamin, terinspirasi Kiai Wahab Chasbullah salah satu pendiri NU. Kiai Hasyim juga mengaku sebagai pelanjut perjuangan Gus Dur menghadirkan Islam yang ramah, toleran, dan berpihak pada kemanusiaan.