KH Hasyim Muzadi: Penggerak Islam Kultural yang Diterima Banyak Golongan

KH Hasyim Muzadi: Penggerak Islam Kultural yang Diterima Banyak Golongan

KH Hasyim Muzadi dianggap lebih bisa diterima pelbagai tokoh dengan latar belakang golongan yang berbeda-beda

KH Hasyim Muzadi: Penggerak Islam Kultural yang Diterima Banyak Golongan
Almarhum KH Hasyim Muzadi adalah ulama yang disegani dari pelbagai kalangan.

Bagi kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama), setidaknya ada dua nama Hasyim yang melekat dalam memori mereka. Pertama, tentu Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari, beliau adalah pendiri sekaligus Rais ‘Aam pertama Jam’iyyah (baca: organisasi) ini.

Tokoh kharismatik NU yang sekaligus kakek dari KH. Abdurrahman Wahid, presiden Republik Indonesia ke-4. Kedua, KH. Hasyim Muzadi. Nama yang disebut terakhir ini secara garis keturunan memang tidak berhubungan dengan Hasyim yang pertama. Namun, perannya di organisasi yang didirikan tahun 1926 ini cukup besar.

Kiai Hasyim adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Muzadi dan Rumyati. Menurut penuturannya dalam buku “Membangun NU Pasca Gus Dur” (1999: 3), keluarga beliau sebagaimana umumnya warga Nahdlatul Ulama, secara ekonomi tidak datang dari kalangan berada. Sehari-hari, bapak dan ibu berjualan tembakau dan kue-kue. Terkadang untuk membiayai sekolah anak-anaknya, harus menunggu dagangan laku terlebih dahulu.

KH. Hasyim Muzadi dikenal sebagai sosok Kiai dengan penampilan yang tenang dan bersahaja. Selain sebagai pengurus organisasi terbesar di Indonesia ini juga dikenal sebagai mubalig yang nyaris tak kenal lelah untuk memberikan ceramah ke berbagai tempat di pelosok negeri ini. Ceramah-ceramah keagamaannya sangat khas. Penuh isi dan tak jarang mengeluarkan joke-joke segar yang merupakan ciri khas dari muballigh NU.

Keahliannya dalam bidang ceramah diakui oleh banyak kalangan. Menurut Ulinnuha (Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Kulliyatul Quran, Depok asuhan beliau) Kiai Hasyim memiliki keahlian dalam mengolah kata.

Materi yang rumit sekalipun bisa menjadi sangat mudah dicerna pendengarnya. Konon, beliau mengamalkan doa Nabi Daud As yang salah satu faidahnya tidak memberi kesempatan bagi pendengar ceramah kecuali menyimak dan menunggu kalimat demi kalimat

Jenjang pendidikan dasarnya ditempuh di Madrasah Ibtidaiyyah di Tuban. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Gontor Ponorogo dan menyelesaikannya pada tahun 1963. Seusai menamatkan pendidikan di Pesantren Gontor, Hasyim yang merasa belum cukup puas mendalami ilmu agama ini, pada tahun yang sama ia melanjutkan pendidikan pesantrennya di Senori Tuban asuhan Kiai Fadhal dan Pesantren Lasem Rembang.

Setahun kemudian, tahun 1964 ia baru melanjutkan jenjang pendidikan strata satu di Institut Agama Islam Negeri Malang (kini UIN Maulana Malik Ibrahim) dan selesai pada tahun 1967.

Pengabdi Sejati

Pria kelahiran Tuban 8 Agustus 1944 ini adalah seorang organisatoris ulung. Pengabdiannya di Nahdlatul Ulama -organisasi yang melambungkan karirnya- ini dimulai dari ranting, cabang, wilayah, hingga pengurus pusat.

Pengalamannya mengabdi di Nahdlatul Ulama dimulai dari jabatan Ketua Ranting Bululawang Malang tahun 1964, Wakil Ketua PCNU Malang tahun 1971-1973, Ketua PCNU Malang tahun 1973-1977, Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992, Ketua Wilayah Jawa Timur tahun 1992-1997. Hingga Ketua Umum PBNU dua periode 1999-2000.

Selain di organisasi NU, ia juga aktif di sejumlah organisasi-organisasi otonom NU seperti Ansor dan PMII. Bahkan di tahun 1985-1990 ia merupakan ketua GP Ansor.

Karir Politik

Selain mengabdi di organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama Kiai Hasyim Muzadi juga sempat berkarir di dunia politik. Pada tahun 1972 hingga 1982, Kiai Hasyim tercatat sebagai anggota DPRD Kab/Kota dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pada periode 1986-1987 melalui Partai Persatuan Pembangunan ia menduduki anggota DPRD tingkat Provinsi Jawa Timur.

Sebagaimana dinyatakan secara langsung (1999: 6), Kiai Hasyim berkecimpung dalam dunia politik selama lebih dari lima belas tahun. Ia menyebut dunia politisi sebagai dunia herek-herek, sebuah istilah untuk menyebut bentuk-bentuk agitasi politik yang banyak tipu daya khas Orde Baru. Sebuah pengalaman yang jelas lebih dari cukup untuk memahami karakteristik kekuasaan ala Orde Baru.

Bahkan pada pemilihan presiden tahun 2004 ia menjadi calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri dimana pasangan ini kalah di putaran kedua dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pada era pemerintahan Presiden Jokowi, Kiai Hasyim Muzadi diberikan mandat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Gerakan Islam Kultural

Abdurrahman Wahid (1999: ix-x) dalam pengantar buku Hasyim Muzadi bertajuk Membangun NU Pasca Gus Dur mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga model pendekatan gerakan Islam. Pertama, pendekatan sosio-politik, yakni sebuah pendekatan yang lebih menonjolkan warna ideologis Islam dengan menekankan perlunya keikutsertaan Islam dalam sistem kekuasaan.

Kedua, pendekatan kultural, sebuah kecenderungan menampilkan sosok Islam dalam kesadaran hidup sehari-hari tanpa terlalu dikaitkan dengan kelembagaan apapun. Ketiga, pendekatan sosio-kultural, yang mengutamakan sikap mengembangkan pandangan-pandangan keagamaan dan perangkat kultural.

Dari ketiga pendekatan ini, menurut Gus Dur, Hasyim Muzadi sebagai figur yang sudah bergelut lama dalam budaya NU serta matang dalam berorganisasi, berusaha mengintegrasikan kegiatan atau gerakan keagamaan ke dalam kegiatan kebangsaan secara keseluruhan. Ia menggunakan pendekatan ketiga; sosio-kultural, yang mengutamakan sikap mengembangkan pandangan-pandangan keagamaan dan perangkat kultural. Sebuah pandangan seorang figur yang selalu ingin mengimplementasikan garis-garis khittah 1926 dalam bentuk yang lebih konkret.

Analisa Gus Dur di atas dikuatkan oleh sikap dan pandangan Kiai Hasyim sendiri dalam mengurai hubungan antara Agama dan Negara Kebangsaan. Bagi Kiai Hasyim (1999: 42), paham keagamaan harus diletakkan pada fungsinya yang kreatif. Yakni, bertugas luhur menjalankan fungsi profetiknya: membangun keadilan sosial dalam Negara bangsa. Paham kebangsaan bisa berfungsi kritis, mengadakan koreksi dan pembaharuan, memberikan landasan pemikiran teologis yang mendasar sekaligus realistis.

Meski demikian, upaya yang demikian ini, menurut Kiai Hasyim, tidaklah mudah. Sebab, menurutnya (1999:42), membangun rasa kebangsaan yang disemai dengan paham keagamaan adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah, karena hal itu terus menerus memerlukan pemeliharaan dan persemaian dari seluruh elemen bangsa.

Perjuangan ini ibarat kita sedang melakukan sebuah perjalanan panjang yang terkadang melewati puncak-puncak nan terjal, sehingga tak pelak dihadang oleh persoalan-persoalan konflik agama yang dilakukan oleh sejumlah oknum. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa terus dituntut untuk bersama-sama memperjuangkan kerukunan, demokrasi, dan kebebasan.

Dalam bidang tulis menulis Kiai Hasyim terbilang kurang produktif. Beliau hanya menerbitkan tiga karya; Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, Jakarta, 1999. NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta, 1999. Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002. Meski demikian, kita masih bisa menikmati ceramah-ceramah keagamaannya yang sudah cukup banyak dapat dinikmati di internet.

*Tulisan ini muncul pertama kali di Beritagar.id kerjasama dengan Islami.co