Wajah Ganda Gelar Habaib di Indonesia

Wajah Ganda Gelar Habaib di Indonesia

Ternyata, gelar Habaib punya wajah yang berbeda dalam sejarah Indonesia. Benarkah demikian?

Wajah Ganda Gelar Habaib di Indonesia
Indonesia berhutang banyak kapada Hababib dan sudah sepatutnya menghormatinya, tapi mencintai berlebihan juga dibenci oleh Allah. Bagaimana seharusnya bersikap? Pict by Istimewa

Gelar habaib tidak saja muncul sebagai tradisi masyarakat. Gelar habaib lebih mencerminkan tinggi-rendahnya tingkat status sosial, bahkan kualitas keberagamaan seseorang. Betulkah demikian?

Orang yang bergelar habib, biasanya memiliki posisi khusus di masyarakat. Ini karena mereka dinisbahkan sebagai keturunan-keturunan Rasulullah. Selain habib, gelar lain dengan makna serupa adalah gelar syarif, sayyid, iyek atau ayip. Farha Ciciek, seorang syarifah bermarga Assegaf, mengakui kehadiran tradisi gelar dan peghormatan tersebut.

“Keturunan Arab di Indonesia memang terbagi dua. Ada Arab ningrat (habib), ada Arab biasa,” ungkapnya. Bahkan, Farha mengakui pernah melihat bahkan merasakan hal itu. “Saat saya pergi ke Madura, orang-orang masih mengejar saya, hanya untuk ngalap berkah (memperoleh berkah, red.),” katanya sambil tertawa.

Boleh jadi, penghormatan kepada kaum habaib itu lantaran besarnya jasa mereka. Konon, di awal-awal lahirnya Islam, kaum habiblah yang berjuang menyebarkan Islam di Tanah Air. Berdasarkan data sejarah, mereka masuk melalui jalur perdagangan. Lalu, mulai berbaur dengan masyarakat setempat, di antaranya melalui medium perkawinan. Di samping itu, mereka juga menempuh jalur kekuasaan dan budaya.

Dalam jalur perdagangan dan perkawinan, penyebaran tradisi kehabiban tidak terlalu berhasil. Berbeda dengan jalur kekuasaan dan budaya. Melalui kedua jalur itu, hasil yang dicapai jauh lebih besar, karena daya cakup dalam mempengaruhi seseorang, bahkan diperkuat dengan proses pemaksaan melalui kekuasaan. Belakangan, penyebarannya terjadi melalui jalur media, baik cetak maupun elektronik, pengajian dan ceramah-ceramah agama, atau pembentukan organisasi-organisasi habaib.

Anehnya, gelar dan kultur kearaban itu, baik pada sebagian kalangan habaib maupun masyarakat umumnya, tidak saja dipandang sebagai bentuk kekhasan budaya Arab. Lebih dari itu, gelar dan kultur itu dinilai mencerminkan wewenang dalam urusan agama, lebih istimewa dibanding kelompok yang lain. Hal ini diakui Habib Rizieq bin Hussein bin Shihab, pimpinan Front Pembela Islam (FPI). Menurut penuturan Habib Rizieq di Syir’ah 02-red, sikap demikian juga dimiliki oleh masyarakat lainnya di Indonesia (suku Jawa, Sunda, atau Padang, red.). “Jadi, ya wajar saja,” tandasnya.

Apakah FPI yang kini dipimpinnya, yang disorot sebagian kalangan kental dengan simbol-simbol Arab, mengembangkan pandangan itu? Ia menjawab, Islam melihat tradisi Arab, dapat dibedakan kepada tiga pandangan: budaya Arab yang dibiarkan berkembang, dipertahankan, atau dihilangkan.

“Sebagai organisasi yang didirikan untuk amar makruf nahi munkar, maka FPI harus mempertahankan budaya-budaya yang semestinya dipertahankan Islam,” ungkapnya.

Jadi, simbol-simbol yang digunakan FPI, lanjutnya, seperti sorban, gamis, kopiah putih, jenggot juga merupakan tradisi Arab yang mesti dipertahankan. Apakah tidak terkesan arabisasi Indonesia? “Sepertinya tidak demikian,” tuturnya diplomatis.

Selain FPI, organisasi lain yang dimotori oleh tokoh dari kalangan habaib adalah Ikhwanul Muslimin pimpinan Habib Husseiin Alhabsyi. Namun demikian, untuk sebagian kalangan, sikap dan tradisi tersebut tidak seluruhnya menunjukkan kemuliaan, keistimewaan dan kesalehan seseorang.

Pandangan demikian diungkap oleh KH. Damanhuri, Pimpinan Pondok Pesantren Al Karimiyah Sawangan Depok dan salah seorang pendiri Front Pembela Islam (FPI), yang kami temui di kediamannya beberapa waktu lalu. Bagi KH. Damanhuri, simbol-simbol seperti jubah, atau udeng-udeng mungkin tidak seluruhnya mencerminkan kemuliaan dan kesalehan seseorang. Sebab, Islam tidak selalu berwajah tunggal dan ukuran kesalehan ditentukan amal baiknya, bkan simbol. “Saat saya studi di Mesir, pakaian gamis, sorban, atau peci putih juga dipakai oleh penggembala dan sopir taksi,” selorohnya.

Dalam kesempatan lain, Farha juga menambahkan, pandangan keistimewaan kelompok habaib dalam masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh ungkapan agama, pemimpin itu adalah dari Quraish. Dan kelompok habaiblah, yang dipandang lebih punya otoritas ke-Quraish-an dibanding kalangan Quraish lainnya.

Karena itu, lanjutnya, sebagian besar kelompok meyakini bahwa mereka adalah ningrat dunia dan akhirat, dan telah mendapat jaminan masuk surga. Cara pandang ini menjadi klop tersebar dalam kultur dan masyarakat Islam Indonesia yang juga hirarkis (beranak tangga), kiai-santri, tuan tanah-buruh, dan seterusnya. Perilaku-perilaku habaib akhirnya ditiru oleh masyarakat luas, perilakunya yang “nakal” dimaafkan karena keyakinan mereka akan kembali ke jalan yang benar. “Namun sesungguhnya perilaku-perilaku yang dipraktikkan habaib itu merupakan kultur Arab, bukan sebagai sunnah Nabi,” ujar tokoh gerakan perempuan ini.

Di beberapa tempat seperti Jawa Tengah, Madura, dan Maluku tengah kelompok-kelompok habaib memang mendapatkan keistimewaan tersendiri di masyarakat. Biasanya, masyarakat setempat sangat senang jika putri mereka dinikahkan dengan kelompok habaib, juga untuk ngalap berkah. Bahkan, ada juga di antara habaib memanfaatkan kesempatan itu.

Dalam urusan perkawinan di lingkungan keluarga habaib, biasanya sangat ketat dan berhati-hati menentukan pilihan putra-putrinya. Dalam urusan yang satu ini, demi menjaga nasab (keturunan, red.) putri-putrinya tidak dibolehkan kawin dengan non-habaib. Sebab, perempuan tidak bisa meneruskan nasab habaib.

Tradisi tersebut, masih menurut Farha, tidak seluruhnya sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Islam, tinggi-rendahnya kedudukan seseorang bukan ditentukan oleh habaib atau non-habaib, tetapi tingkat ketaqwaannya.

Yang unik, ternyata tidak sedikit kelompok habaib yang kental. Sebagian mereka dapat menerima budaya-budaya setempat. Mereka sangat terbuka terhadap tradisi lokal di mana mereka tinggal. Mereka sudah berbaur dengan tradisi pribumi. Bahkan ada dari mereka yang menikahkan putri-putrinya dengan masyarakat pribumi. Mr.Hamid al-Gadri menikahkan anaknya dengan seorang pria asal Jawa. Bagi Mr. Hamid al-Gadri, untuk melihat tinggi-rendahnya derajat seseorang, bukan dilihat dari segi nasabnya tetapi substansi keberagamaan.

Di Cirebon, ada seorang habaib yang dikenal “nyentrik” bernama Habib Yahya. Meskipun seorang habib, ia tak seperti habib kebanyakan. Singktanya mungkin lebih dikenal dengan orang Cirebon asli dengan khas tradisi Jawa. Sementara di Pekalongan, ada Habib Luthfi bin Yahya, Ketua Umum jam’iyyah Tarikat Muktabarah An-Nahdiyah. Sosok habib yang senang dengan lagu-lagu Michael Jackson, gemar main piano dan sangat kental dengan tradisi Nahdliyyin.

Unik memang. Fenomena lain dari gelar dan sosok habaib yang telah mendobrak keyakinan, gelar habib maupun kultur Arab bukan patokan tinggi-rendahnya kualitas kesalehan seseorang. Islam mengajarkan “Tidak ada keistimewaan antara yang Arab dan ‘Ajam (non Arab) kecuali taqwanya,” (al-Hadis). Islam adalah rahmat bagi alam semesta, jika rahmat ditafsirkan sebagai nilai-nilai kearaban justru akan mempersempit makna Islam dan meminggirkan budaya lokal yang tumbuh subur di masyarakat. []

 

Liputan ini sebelumnya pernah dimuat di Majalah Syir’ah, diterbitkan ulang atas persetujuan redaksi