Kini di Pakistan, jika anda kedapatan mengeluarkan pernyataan bermuatan hinaan kepada sahabat, istri, atau anggota keluarga Nabi Muhammad, anda bisa dituntut hukuman penjara selama 10 tahun bersama dengan denda sebesar 1 juta Rupee (181 juta rupiah) dengan tuduhan penistaan agama. Lebih parah, anda juga bisa dituntut hukuman mati jika muatan penistaannya dinilai “melampaui batas”.
Hal ini karena pada 17 Januari lalu, Parlemen Pakistan, melalui Majelis Nasional, telah mengamandemen Undang-Undang (UU) Penodaan Agama secara lebih ketat. Selain penambahan masa hukuman, UU yang baru itu juga dapat digunakan untuk menghukum siapa saja yang menghina orang-orang yang berhubungan dengan Rasulullah.
Majelis Nasional mengesahkan RUU Hukum Pidana (Amandemen) dengan menambah masa dan bobot hukuman bagi penista agama. Di Indonesia, UU Penistaan Agama (PNPS 1965) dibentuk untuk “memproteksi” agama-agama resmi negara. Di Pakistan, UU serupa diformulasi secara lebih spesifik, yaitu larangan untuk menghina sosok sakral agama Islam, Nabi Muhammad.
Dalam tiga dekade terakhir, sekitar 1.500 warga Pakistan telah didakwa dengan penistaan agama. Dalam kasus yang diliput media internasional, Junaid Hafeez, seorang dosen universitas, dijatuhi hukuman mati atas tuduhan menghina Nabi di Facebook pada 2019. Hingga saat ini, hukumannya sedang dalam proses banding.
Jelas, gerak Parlemen itu memantik banyak kritik. Peter Jacob, Direktur Eksekutif Pusat Keadilan Sosial di Lahore Pakistan, mengkhawatirkan UU tersebut dapat memicu pelanggaran HAM dan untuk menargetkan agama minoritas.
“Amandemen itu merupakan sebuah perkembangan yang “merugikan”. Ujarnya. Ia melanjutkan bahwa banyak yang mempertanyakan urgensi amandemen soal penodaan agama itu. Menurut Jacob, para politisi yang mengesahkan RUU itu seakan tutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang lahir akibat UU Penodaan Agama. Undang-undang ini sensitif karena banyak tuduhan tidak berdasar yang dialamatkan pada kelompok minoritas yang berujung pada kekerasan massa dan pembunuhan atas nama hukum yang melampaui batas.
“Undang-undang baru ini sangat mengkhawatirkan,” kata Saroop Ijaz, penasihat senior Human Rights Watch di Asia, seperti yang dilansir oleh The New York Times. Menurutnya, Undang-undang penistaan agama yang ada di Pakistan memberikan peluang yang besar munculnya diskriminasi hukum dan penganiayaan atas nama agama selama beberapa decade terakhir. Mereka yang dituduh menghujat Islam berisiko menjadi sasaran hakim massa, disiksa secara fatal, bahkan ditembak oleh massa yang marah sebelum proses hukum dapat dilakukan. Fenomena ini sangat aneh. Memang tidak ada eksekusi dari negara untuk penodaan agama sejak tahun 1990, namun lebih dari 70 orang telah dibunuh oleh massa dan warga atas tuduhan menghina Islam di Pakistan.
Kekhawatiran akan amandemen ini, misalnya, datang dari penganut Syiah. Jumlah mereka adalah 20% dari total 230 juta penduduk Pakistan. Upaya untuk mengeliminasi Syiah sangat jelas terasa berkat hadirnya amandemen ini. Kelompok Sunni sebagai kelompok mayoritas Pakistan sering menuntut penangkapan orang-orang Syiah dengan tuduhan menghina sahabat Nabi Muhammad dalam prosesi Muharram tahunan yang memperingati pembantaian massal terhadap cucu Nabi Muhammad, Imam Husain, dan keluarga serta teman-temannya pada abad ketujuh. Melalui UU baru ini, mereka seolah dipersenjatai untuk mengeksekusi tuntutannya tersebut.
Tidak hanya dalam aspek sosial, UU tersebut juga menjadi “bola api” dalam ranah politik elit. Menurut Ahmet T. Kuru, di berbagai budaya dan selama berabad-abad, undang-undang penistaan agama cenderung diciptakan untuk melayani otoritas yang berkuasa dengan membungkam perbedaan pendapat politik. Dari abad pertengahan hingga saat ini, undang-undang ini membantu merekatkan aliansi antara pemimpin agama dan negara dalam mengkonsolidasikan kekuasaan.
Asumsi Kuru tersebut tampak benar adanya. Pada 2011 lalu, terdapat pembunuhan dua politisi senior yaitu Salman Taseer, Gubernur Provinsi Punjab, yang ditembak mati oleh salah satu pengawalnya sendiri. Taseer merupakan penentang hukum penistaan agama dan berkampanye untuk pembebasan Asia Bibi, seorang Kristen yang dihukum karena menghina Nabi Muhammad. Lalu pembunuhan Shahbaz Bhatti, seorang menteri federal dan seorang Kristen yang juga menentang hukuman mati yang dijatuhkan pada Asia Bibi, ditembak mati pada tahun yang sama.
Perlu diketahui, Asia Bibi adalah warga negara Pakistan beragama Kristen yang dituduh telah menghina Nabi Muhammad. Ia sempat dipersekusi oleh ulama dan warga di desanya sebelum di proses di kepolisian. Pada 2010, dia dijatuhi hukuman mati dan menghabiskan hampir satu dekade di sel isolasi. Lucunya, para pengecam hukuman terhadap Asia Bibi itu justru meninggal, sedangkan Asia Bibi sendiri dibebaskan pada 2018 dan dia sekarang hidup di Kanada sebagai warga yang bebas.
Berdasarkan kasus-kasus itu, Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan khawatir bahwa Undang-undang semacam itu kedepannya akan banyak disalahgunakan oleh pemerintah Pakistan. Amandemen ini kemungkinan besar akan digunakan sebagai amunisi untuk “menghajar” kelompok minoritas dan sekte-sekte agama.
Sebenarnya, sudah banyak intelektual Muslim menolak implementasi hukum penistaan dan kemurtadan untuk membungkam perbedaan pendapat agama. Mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengeksekusi siapa pun karena murtad, atau mendorong para sahabat untuk langsung membantai para penghina Nabi. Mengkriminalisasi penistaan juga tidak didasarkan pada teks suci utama Islam, Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa ratusan ayat Al-Qur’an yang mendorong perdamaian, kebebasan hati nurani dan toleransi beragama seakan lenyap dalam benak para perumus hukum penistaan agama.
Jelas, undang-undang penodaan agama bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah dengan mudah di Pakistan mengingat sentimen publik yang melingkupinya. Namun, ini masih menyisakan ruang untuk menghindari penyelewengan. Masih banyak negara di dunia yang masih mengoperasikan UU itu, termasuk di Indonesia. Tentu Indonesia tidak sekejam Pakistan. Sampai saat ini, UU PNPS 1965 mungkin masih dianggap relevan sebagai instrumen untuk “melindungi” sakralitas enam agama resmi negara. Namun sebagai warga negara, kita tentu mempunya tanggung jawab untuk mengawasi agar ia tidak disalahgunakan atau bergerak melampaui batas.