Wahid Foundation menyelenggarakan acara Halaqah Ulama serta Tokoh Muda Islam Indonesia bertema Penguatan Toleransi dan Gerakan Merespon Ekstremism di Bogor (1/8). Kegiatan ini diikuti oleh 35 peserta yang terdiri dari para ulama serta tokoh muda Islam yang akan mengkaji dan merumuskan pesan-pesan Islam sebagai agama toleran berdasarkan khasanah ilmu pengetahuan dan hukum Islam.
“Indonesia perlu menyebarkan lebih banyak pesan Islam Damai yang sebenarnya merupakan modal dasar bagi kita dalam berbangsa dan mengelola kehidupan beragama di Indonesia”, ujar Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, dalam acara pembukaan yang berlangsung pada pagi, 1 Agustus 2016 di Rancamaya, Bogor.
Acara tersebut dihadiri pula oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Teten Masduki, dan Dr, Bradley Amrmstrong PSM, Minister counsellor Political and Diplomacy dari Kedutaan australia dan Bp. Arif Dharmawan yang mewakili BNPT.
Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan panel diskusi menghadirkan perwakilan dari Kementrian Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Badan Nasional Penanganan Terorisme, Wakil dari Kementrian Agama, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Muhammadiyah serta dihadiri oleh perwakilan Kedutaan Besar negara sahabat.
Dalam kesempatan tersebut Wahid Foundation sekaligus meluncurkan Laporan Hasil Survey Nasional “Potensi Radikalisasi & Intoleransi Sosial – Keagamaan di Kalangan Muslim di Indonesia”. Bekerjasama dengan Lembaga Survey Indonesia (LS), survey yang melibatkan 1520 responden dari seluruh Indonesia ini dimaksudkan untuk memetakan persepsi intoleransi dan kecenderungan radikalisme umat Islam di Indonesia.
“Survey ini sekaligus membantu kami dalam mengidentifikasi faktor-faktor sosial keagamaan yang mempengaruhi persepsi intoleransi dan radikalisme di masyarakat”, ujar AA. Nugroho, Manajer Riset program PRIORITAS, Wahid Foundation.
Terkait kecenderungan radikalisme, hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan tidak bersedia untuk bersikap radikal. Sementara 7,7% responden menyatakan bersedia berpartisipasi serta 0,4% dari total responden mengaku pernah berpartisipasi dalam kegiatan yang berpotensi melibatkan kekerasan atas nama agama seperti melakukan sweeping, berdemonstrasi menentang kelompok yang dinilai menodai dan mengancam kesucian islam atau melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain.
Faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap kecenderungan intoleransi dan radikalisme terutama adalah pemahaman agama Islam yang bersifat literalis atau harfiah, “Apalagi jika pemahaman tersebut diberi ruang publik dalam bentuk ceramah atau pengajaran keIslaman”, lanjut Nugroho.
Menarik untuk mencermati bahwa 74,5% responden menganggap bahwa demokrasi masih merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik dan 82,3% responden menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar yang terbaik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan survey ini, Wahid Foundation merekomendasikan pentingnya penegakkan hukum yang tegas terhadap pelaku aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama termasuk pelaku tindakan ujaran kebencian (hatred speech) di muka umum.Pemerintah Daerah merupakan ujung tombak negara untuk memastikan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara.Untuk mengatasi kecenderungan intoleransi di kalangan umat Islam, diperlukan lebih banyak narasi damai yang disebarkan melalui berbagai kampanye yang sejuk sekaligus progresif.