Sehari menjelang Pilkada serentak lalu, saya iseng memposting infografik berisi peta koalisi di beberapa daerah. Menilik peta yang saya kutip, partai-partai sekelas PKS, Gerindra, dan PDI-P yang kelihatan suka ‘ribut’ di tingkat nasional justru begitu ‘mesra’ saat mencalonkan kandidat kepala daerah, baik di beberapa provinsi maupun kabupaten/kota. Kaget?
Bagi orang awam yang pengetahuan politiknya sebatas dari postingan grup Whatsapp, tentu saja hal mengherankan. Sehingga, tidak lama setelah menyebarkan informasi tersebut saya menerima banyak pesan singkat, dari tuduhan tidak mendukung dakwah islam hingga menyebarkan fitnah. Belum cukup kekagetan umat, fakta lain yang cukup menghebohkan kembali muncul. Kini giliran gubernur NTB yang membuat berita: beliau menyatakan dukungan kepada Joko Widodo agar maju kembali menjadi presiden.
Bagi ulama lulusan Mesir ini, petahana perlu diberikan kesempatan kembali agar program yang sekarang dilaksanakan dapat dilanjutkan demi kesejahteraan rakyat. Sayangnya, bagi beberapa aliansi, keputusan tersebut sangat mengecewakan. Tuan Guru Bajang yang sebelumnya dielu-elukan, kini balik dihujat bahkan dianggap sebagai pengkhianat hanya karena pilihan politiknya yang berbeda.
Melihat berbagai sepak terjang politisi menjelang 2019, kita sebetulnya tidak perlu gampang kagetan dan mudah berburuk sangka. Esensi dari politik sendiri adalah bagaimana memperoleh kekuasaan, sedangkan cara memperolehnya tidak pernah ada standar yang baku. Asalkan tidak melanggar konstitusi dan hukum agama, tentu sah-sah saja bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam politik.
Bagaikan pisau, politik juga memiliki dua sisi dilihat dari bagaimana cara kita memanfaatkannya. Jika dipergunakan dengan baik kita bisa memotong sayur dan buah. Di sisi lain, tidak jarang kita temukan pisau merupakan alat pembunuh yang memakan banyak korban.
Begitu halnya dengan politik, bila dipegang oleh orang yang arif, tujuan kesejahteraan rakyat akan lebih mudah tergapai. Sebaliknya, bila disalahgunakan, korupsi tentu merajalela dan rakyat tentu makin sengsara. Dari sini, sudah barang jelas bahwa kita semua menginginkan kekuasaan dipegang oleh orang yang kapabel dan dapat memanfaatkan kekuasaan sepenuhnya untuk kemakmuran bersama.
Masalahnya, pilihan politik tidak jauh beda dengan selera kita makan. Ada yang asyik-asyik saja bila disuguhi masakan orang Padang, eh di sebelahnya ada orang yang cocok dengan semua makanan, asalkan halal. Dan tentu kita tidak berhak memaksakan selera kita kepada orang lain. Tiap individu pasti memiliki pertimbangannya masing-masing.
Ketika sudah maklum dengan segala perbedaan dan pandangan di meja makan, mari kita bawa filosofi yang sama di ranah politik. Berikan kesempatan tiap orang mengekspresikan partisipasi politiknya, dengan tatanan moral sebagai panduannya. Pun bila ada perbedaan pilihan, mari saling hargai dan hormati jangan sampai merusak ukhuwah islami. Tidak lucu ‘kan kita harus berkonflik dengan anggota keluarga hingga para kolega, sedangkan para politisi di atas sana malah asyik bersantap makan ria dan (ternyata) berkoalisi ria tanpa banyak gembar-gembor.
Ingat,pada gelaran Pilpres 2019 nanti bukan waktunya untuk saling hujat karena beda pandangan politik, justru harus menjadi momentum menggalang persatuan umat yang selama ini kurang piknik. Betul nggak nih?