Perempuan seringkali perannya dipinggirkan dalam sejarah. Ada banyak cerita yang tidak menyenangkan dari sejarah perjalanan perempuan, baik di ruang publik ataupun domestik. Buya Syafi’i Maarif mengatakan, salah satu bentuk kecelakaan sejarah dalam umat Islam selama berabad-abad adalah tidak dihargai dan dihormatinya perempuan. Sebagaimana diketahui, sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasul, perempuan tidak dihormati dan dianggap sebagai kelas kedua di kalangan bangsa Arab. Mereka dianggap pembawa sial, bayi perempuan dikubur hidup-hidup, dan disingkirkan jauh-jauh bila mereka menstruasi. Setelah Rasulullah datang, harga diri perempuan diangkat dan mereka dimuliakan seperti halnya laki-laki. Rasulullah tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Semuanya sama di hadapan Rasulullah.
Sayangnya, perjuangan Rasulullah dalam mengangkat harga diri perempuan itu tidak sepenuhnya disadari oleh umat Islam, khususnya di era modern ini. Ego mengatasnamakan laki-laki masih sering didengar dalam kehidupan suami-istri. Contoh paling sederhana, peran perempuan dalam pernikahan digambarkan sepenuhnya mengurus laki-laki. Suami merasa lebih superior daripada istri. Akibatnya, untuk minum kopi setiap paginya selalu berharap dibuatkan istri, apalagi urusan mencuci pakaian, masak, mengurus anak, dan lain-lain. Semuanya diharapkan dari istri.
Kalau seorang laki-laki bisa berpikir rasional dan tidak mengandalkan ego dan keakuannya, mestinya dia tidak perlu berharap pada istrinya untuk dibuat kopi setiap pagi. Mengapa? Membuat kopi tentu tidak membutuhkan skill yang terlalu tinggi. Apa salahnya bikin kopi sendiri, tanpa berharap dari istri. Tentu, penulis perlu garis bawahi, bukan berati istri tidak boleh membuat kopi untuk suaminya. Silahkan saja. Yang bermasalah ada cara pikir laki-laki yang selalu mengandalkan urusan domestik kepada istri, padahal perempuan bisa punya peran lebih di rumah tangga dan lingkungannya daripada sekedar mengurus urusan dapur.
Apabila hal-hal praktis seperti ini masih dibebankan kepada perempuan dalam hubungan pernikahan itu sama saja dengan penjajahan terhadap kebebasan perempuan. Apalagi hal semacam ini terkadang diperkuat dengan alasan teologis. Misalnya dengan menggunakan dalil, “Siapa yang menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan suami istri, maka Malaikat akan melaknat perempuan itu sampai pagi”. Bayangkan saja, seorang istri sudah mengurus anak, menyuci pakaian anak dan suaminya, pagi-sore di dapur untuk menyiapkan makanan dan segala urusan rumah yang selama ini diurusi perempuan. Lalu perempuan tak boleh menolak ajakan suaminya karena di situ ada murka Tuhan?
Menilai itu semua, tak logis dan tak sejalan dengan naluri keagamaan, justru murkanya Tuhan bagi laki-laki jika istrinya diperlakukan dengan sesuai kehendak ia sebagai laki-laki. Sebab, konsep pernikahan secara hukum fikih adalah ikatan yang mengikat ia sebagai suami istri, tapi secara praktek dan inti pernikahan membutuhkan prinsip kerja sama antara dua pihak sebagai yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan dan timbal balik.
Lalu apa yang mesti diupayakan untuk membangun dan menerapkan konsep ketersalingan dan kemitraan dalam hubungan pernikahan terhadap istri/perempun? Paling tidak ada tiga hal yang harus ditanamkan:
Pertama, perempuan beda jenisnya, setara posisinya. Arogansi laki-laki terhadap perempuan disebabkan karena laki-laki hanya memandang aspek perbedaan jenis saja, tanpa melihat perempuan sebagai makhluk Tuhan yang sama dan setara dengan laki-laki. Sebab itu, laki-laki dan perempuan dalam konteks pernikahan tak selamanya dipandang sebagai hukum fikih. Fikih melihat laki-laki dan perempuan sebatas aspek tubuh. Nur Jabir mengatakan, bila memandang laki-laki dan perempuan sebagai jenis tidak akan menjelaskan hakikat laki-laki dan perempuan, tapi hanya terkait dimensi tubuh. Karena itu, istri mestinya dipandang pada dimensi ruhnya sebagai manusia, dipandang pada hakikat penciptaannya bahwa ia sama dan setara dengan yang lain. Jika demikian, maka tak ada lagi ego sebagai laki untuk “menindas” kebebasan perempuan dalam keluarga.
Kedua, posisikan perempuan sebagai manusia modern. Adanya ketimpangan perlakuan terhadap perempuan sesungguhnya bukanlah seduran ajaran Islam, sebab Islam tak pernah menilai pada jenis dan bentuk tubuh tapi dinilai pada pengabdian dan ketundukannya. Nabi SAW menegaskan, “Manusia itu tak ubahnya gigi sisir, seseorang memiliki kelebihan atas yang lainnya ada pada amal baiknya.”
Sebab itu, keegoan laki-laki terhadap perempuan adalah warisan buruk yang membayangi pikiran manusia. Hampir dalam setiap peradaban dan kebudayaan manusia, perempuan selalu tunduk pada dogma dan egoisme kaum laki. Menurut Muslim Abdurrahman adanya ketimpangan terhadap perempuan salah satunya masih kuatnya sistem patriarki. Akan berbeda jika warisan lama itu dibuka jendela baru melihat era modern di mana perempuan tak lagi seperti gambaran cerita kelam sejarah, kini perempuan bisa berkiprah, duduk sepadang dan berkarya yang sama. Dengan kesadaran demikian, relasi suami istri akan terlihat menghargai dan saling memahami posisi masing-masing.
Ketiga, mengembalikan subtansi pernikahan. Islam mensyariatkan pernikahan untuk memenuhi dua kebutuhan dasar manusia (basic needs) selain kebutuhan sandan dan pangan yaitu kebutuhan biologis, dengan ikatan pernikahan Islam membolehkan untuk berhubungan badan, tak hanya itu kebutuhan ruhani akan tercapai yaitu ketenangan dengan jalur pernikahan yang disebut sakinah (ketenangan dan tentramnya hati).
Dalam konteks pernikahan, sakinah akan tercapai jika dua unsur terpenuhi yaitu mawaddah dan rahmah. Menurut Imam al Thabari berarti adanya sikap saling menyayangi, mengasihi dan berlemah lembut kepadanya. Sebab itu, jika masih mengedepankan keakuan sebagai laki-laki itu bukanlah wujud nyata dari sikap mawaddah dan rahmah.