Daulah Umayyah memegang kekuasaan selama 90 tahun lamanya, memerintah lebih dari 33 juta jiwa, menyatukan wilayah-wilayah peninggalan Romawi dan Sasani dari Transoxania, Pakistan, wilayah Maghrib, sampai ke dataran Iberia. Demi menjaga kekuasaannya, Umayyah melakukan modernisasi dengan mendirikan dewan-dewan yang bisa mengontrol sampai daerah terjauh.
Baca juga: Wabah dalam Peradaban Islam (3): Wabah Amwas, Perdebatan Kalam dan Benih Daulah Umayyah
Setiap peristiwa tidak selalu berdiri sendiri-sendiri secara terpisah, melainkan lebih sering justru saling berjalin kelindan satu sama lain, kait-mengkait. Setiap peristiwa musti bersifat multidimensional, tidak hanya secara empiris tetapi juga spiritual.
Ketika manusia mulai terbiasa menempatkan aktivitas politik dan ekonomi sebagai pusat laju peradaban, kita mendapatkan pelajaran yang begitu berharga akhir-akhir ini. Alam, dengan segala kekhasannya, memiliki takdir sendiri yang berada jauh di luar kendali manusia.
Bahasa Arab menjadi bahasa wajib menggantikan bahasa Persia dan Yunani yang telah digunakan selama ratusan tahun; mata uang baru diciptakan untuk mengakomodasi perekonomian, menggantikan mata uang Bizantium dan Sasani; baju-baju zirah dibuat lebih kuat dan tahan senjata; jalur komunikasi diperkuat dengan memperkenalkan layanan surat-menyurat yang menghubungkan Damskus dengan ibukota provinsi; pendirian bangunan-bangunan penting.
Lewat Daulah Umayyah, struktur kekuatan Islam mencapai titik modernisasi yang belum pernah dipikirkan para pemimpin sebelumnya. Sistem kekuasaan diubah dari pemilihan lewat musyawarah menjadi pewarisan, lantas kekuatan dipusatkan di Damaskus, Syria. Orang-orang non-muslim diberikan kelonggaran dan tetap menjadi warga negara.
Namun di balik hasil-hasil yang dicapai tersebut, Daulah Umayyah terus berada dalam masa tegang. Pendirian daulah Umayyah ditendai dengan perang saudara pertama, fitnah, yang menewaskan Ali bin Abi Thalib beserta putranya. Perang saudara kedua muncul dari pemberontakan Abdullah bin Zubair, lalu perpecahan dalam tubuh daulah sendiri antara al-Walid II dan Yazid III dalam peristiwa perang saudara ketiga.
Belum lagi Kufa yang tidak pernah betul-betul tunduk dalam dekapan Damaskus. Meningkatnya Syiah dan Khawarij serta orang-orang yang masih tetap menaruh simpati kepada Ali dan Hasan. Juga dari Bani Hasyim yang tidak menerima Bani Umayyah menjadi pemimpin. Mungkin Daulah Umayyah bisa melebarkan kekuasaannya, namun tetap tak bisa meredakan watak purba kesukuan dalam jiwa orang-orang Arab.
Kekacauan ini ditambah oleh kemiskinan dan wabah yang tak selesai-selesai. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Badzl al-Ma’un fi Fadli al-Ta’un mengatakan, selama pemerintahan Daulah Umayyah, tak satu tahun pun daerah-daerah metropolitan yang berada dalam kontrolnya tidak terjangkiti wabah. Entah kenapa, secara tiba-tiba, wabah yang datang silih berganti, mereda dan hilang setelah suksesi Abbasiyah.
Bahkan Syria, pusat kekuasaan daulah Umayyah, menurut al-Tamimi, dari zaman dahulu hingga berakhirnya kekaisaran Marwan, Syria dijangkiti wabah hampir setiap tahun, terutama di Damaskus, Yordania dan Palestina, serta daerah-daerah yang berdekatan dengannya dan daerah pesisir. Penderitaan itu bertambah karena para pemimpin daerah tersebut selalu mengungsi dari kerajaan mereka ke padang-padang luas dan gurun-gurun tandus, mereka bertahan di sana selama wabah menjangkiti kota.
Al-Madaini mengemukakan bahwa ada sekitar 15 wabah yang menjangkiti keseluruhan wilayah Umayyah sampai tahhun 131 H. Namun penelitian terbaru Ahmad al-Adawi dalam buku al-Tho’un fi al-Asri al-Umawi (2018) menemukan ada 20 wabah yang datang selama masa daulah Umayyah dengan rata-rata bertahan selama empat setengah tahun.
Bagi sebagian sejarawan, inilah salah satu sebab yang menghambat Daulah Umayyah memajukan intelektualitas di masa itu, serta menjadi alasan kekaisaran itu jatuh dengan begitu cepat setelah invasi Bani Hasyim.
Wabah-wabah ini banyak membunuh para pemuka dan tokoh-tokoh politik yang berpengaruh. Dalam al-Bidaya wa al-Nihaya, Ibn Katsir menceritakan perihal al-Mughirah yang dengan tergesa meninggalkan Kufa setelah wabah menyebar di tahun 49 H. Setelah mereda, dia kembali memasuki Kufa. Namun wabah menginfeksinya dan meninggal.
Gubernur Irak, Ziyad bin Abihi meninggal ketika wabah menjangkiti Irak di tahun 53 H. Putra mahkota, Ayyub bin Sulaiman bin Abdul Malik meninggal karena wabah pada tahun 96 H. Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz wafat pada tahun 101 H., ketika dia sedang menjabat sebagai penasihat bagi ayahnya.
Cucu Sayyidah Khadijah (cucu tiri Nabi Muhammad), Hind bin Hind bin Abi Hala meninggal dalam serangan wabah yang terjadi selama tiga hari di Basrah pada tahun 683. Hanya dalam tiga hari, sekitar 21.000 orang meninggal, dengan rata-rata kematian 7.000 orang setiap hari. Orang-orang yang masih hidup kesusahan untuk menguburkan jenazah-jenazah tersebut, begitu juga dengan pemakaman Hind bin Hind yang sempat terbengkalai beberapa lama.
Tidak sampai lima tahun berselang, muncul Tha’un al-Jarif pertama. Wabah ini, yang menyebar di Irak dan Syam, hampir setiap hari memakan 70.000 korban. Kekuatan yang melemah karena wabah membuat sisa-sisa kekaisaran Romawi menyerang Syam. Abul Malik bin Marwan harus melakukan rekonsiliasi dan membayar jizyah kepada Romawi sebanyak 1.000 dinar (sekitar 2.5 miliar rupiah) setiap minggu.
Akhir Daulah Umayyah ditutup dengan wabah Muslim bin Qutaibah yang terjadi pada 747 M (131 H) di Basrah. Wabah ini muncul di awal tahun, terus sampai Sya’ban dan Ramadan, dan mereda pada bulan Syawal. Setiap hari sekitar 1000 orang meninggal.
Bencana alam, bahkan wabah, selalu mengiringi pergeseran politik, sosial dan ekonomi, dan pada gilirannya membangkitkan atau meruntuhkan suatu peradaban. Alam berkembang dan berevolusi dengan sangat tidak cerdas (unintelligent) menurut Charles Darwin yang atheis itu. Tidak cerdas dan selalu tidak sesuai dengan kerangka yang telah digariskan manusia. Dengan kecerdasan, manusia tidak bisa menjadi satu-satunya pewaris sah alam semesta.
Wabah yang terjadi selama kekaisaran daulah Umayyah:
- Wabah al-Mughirah bin Syu’bah terjadi di Irak pada tahun 669
- Wabah Ziyad bin Abihi terjadi di Kufa pada 672
- Wabah al-Basra terjadi di Basra (Irak) pada 683
- Wabah al-Syam terjadi di Syam pada 684
- Wabah Masr terjadi di Mesir pada 685
- Wabah ibn Zubair terjadi di Basrah pada 688
- Wabah Masr terjadi di Fustat pada 689
- Wabah al-‘Am terjadi di Syam, Basrah, dan Hijar pada 698-699
- Wabah Masr terjadi di Mesir pada 704
- Wabah al-Fatayat terjadi di Basrah, Wasit dan Kufah pada 705-706
- Wabah al-Syam terjadi di Syam pada 714
- Wabah ‘Adi bin Artah terjadi di Basrah pada 718
- Wabah Masr terjadi di Mesir pada 723
- Wabah Wasit terjadi di Wasit pada 732
- Wabah al-Syam terjadi di Syam pada 733
- Wabah al-Basra terjadi di Basrah pada 737
- Wabah al-Syam terjadi di Syam, Mesir dan Afrika pada 743
- Wabah al-Ghurab terjadi di Syam pada 744
- Wabah Muslim bin Qutaibah terjadi di Basrah pada 747