Bagaimana memahami isu-isu tentang agama di sosial media, terutama pasca Aksi Bela Islam yang menjadi selebrasi di Jakarta? Aksi Bela Islam dan peristiwa demo berjilid-jilid di Jakarta meskipun telah rampung, penulis ingin melihat pada bentang yang lebih luas, bagaimana generasi milenial terpengaruh oleh kampanye media sosial dan gerakan Islamisme?
Kajian tentang kencenderungan beragama bagi generasi milenial, belum banyak dipublikasikan dalam riset-riset di negeri ini. Sebagai lapisan generasi baru, generasi Milenial dengan rentang usianya, paling aktif bersuara di media sosial. Begitu juga, generasi ini juga paling besar prosentasenya dalam reaksi kampanye-kampanye di media sosial.
Milenial merupakan kelompok demografis setelah generasi X. generasi ini, lahir pada tahun 1980an sampai 2000. Dengan demikian, generasi milenial merupakan generasi muda yang saat ini berusia di kisaran 15-34 tahun. Riset-riset tentang generasi milenial telah dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional, semisal Boston Consulting Group (BCG) bekerjasama dengan University of Berkley pada 2011, dan survey Pew Research Center, pada 2010 yang bertajuk “Millenials: A Potrait of Generation Next”.
Lalu, bagaimana wajah anak muda dalam isu kebhinekaan dan deradikalisasi? Kekerasan dan kafir menjadi kata kunci yang membanjiri media sosial, dan diperbincangkan dalam keseharian anak muda. Sebagai kata kunci, kekerasan muncul setelah rentetan peristiwa di berbagai kawasan yang menampilkan wajah kekerasan, baik dalam dominasi isu antar kelompok (etnis, politik), maupun kekerasan atas nama agama. Di sisi lain, istilah kafir muncul dalam diskusi publik, dan semakin deras membanjiri media sosial, terutama dalam proses politik di DKI Jakarta.
Radikalisme Anak Muda
Survey yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerjasama dengan Jaringan GusDurian, mengungkapkan data menarik tentang kecenderungan radikal di antara anak muda. Sebanyak 88,2 persen dari 1200 anak muda yang disurvey, tidak setuju dengan kelompok agama yang melakukan kekerasan. Sedangkan, yang setuju hanya 3,8 persen. Sisanya, 8 persen menjawab tidak tahu dan tidak menjawab pertanyaan.
Survey ini, dilakukan di enam kota besar di negeri ini: Bandung, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak dan Makassar. Respondennya, 50 persen laki-laki dan 50 persen perempuan. Usia anak muda yang disurvey, berkisar pada umur 15-30 tahun. Dari latar belakang agama yang beragam, dari Islam, Kristen, Katolik, Budhha, Hindu dan Konghucu. yang mayoritasnya, beragama Islam (91,4 %). Sedangkan, dari asal suku sebagian besar dari Jawa (53 %) meskipun lokasi tempat tinggal tidak hanya di Jawa, namun menyebar di beberapa kawasan.
Dalam survey ini, digunakan metode Proportionate Stratified Random Sampling, dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan sampling error 2,98 persen. Agenda survey ini, diselenggarakan pada Agustus hingga Oktober 2016. Dengan indikator tentang persepsi keyakinan beragama, radikalisme dan kekerasan berbasis agama, toleransi dan sikap generasi muda, tokoh, media dan jaringan sosial, hingga isu nasionalisme dan solusi generasi muda.
Dari survey ini, dapat ditelisik beberapa data menarik. Ternyata mayoritas anak muda (44,3 persen ) yang disurvey berpendapat bahwa kekerasan tidak sejalan dengan nilai-nilai agama. Sedangkan, 18,1 persen berpendapat bahwa perbuatan ini tidak berperikemanusiaan. Sisanya, sebanyak 16,7 persen menyatakan kekerasan menodai agama dan 9,7 persen berpendapat sebagai perbuatan melanggar hukum.
Dalam konteks kepemimpinan, ada hal menarik tentang perdebatan antara apakah lebih baik memilih pemimpin muslim meski korup, dan pemimpin yang non-muslim yang bersih. Sebagian anak muda, dalam survey ini, berpendapat bahwa 57 persen tidak setuju dengan pandangan lebih baik memiliki pemimpin yang koruptor ketimbang non-muslim. Sedangkan, 10,9 sangat tidak setuju dengan pernyataan ini. Artinya, anak muda—yang terangkum dalam survey ini—memberi gambaran betapa indeks integritas pemimpin menjadi lebih penting daripada indeks kesalehan dengan instrumen agama. Pemimpin muslim atau non-muslim, tidak menjadi referensi utama daripada integritas. Mereka lebih menyukai pemimpin yang berintegritas, daripada terjebak pada kubangan isu agama.
Sementara, survey Jaringan GusDurian sangat menarik sebagai pembanding. Jaringan GusDurian melakukan pemetaan internet dan media sosial dengan target untuk mengetahui narasi utama ekstrimisme, serta pesan-pesan kunci ekstrimisme, dan pola persebarannya. Dari survey ini, yang menggunakan kerangka ICCT (The Internasional Centre for Counter Terrorism) sebagai acuan, muncul beberapa kata kunci kafir, sesat, syariah Islam, tolak demokrasi, jihad, antek asing, komunis, liberal dan beberap kata kunci negatif yang cenderung radikal.
Hasilnya, sebanyak 88,2 persen tidak setuju dengan kekerasan, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai agama (44,3 persen), tidak berperikemanusiaan (18,1 persen) dan membuat Islam ternoda (16,7 %). Dari kedua survey ini, terlihat gambaran jelas tentang wajah generasi milenial, yang mendominasi sasaran survey. Narasi-narasi media sosial berpengaruh dalam persepsi anak muda, lapisan generasi milenial. Meski demikian, mayoritas dari mereka tidak setuju dengan kekerasan atas nama agama.
Islamisme di Media Sosial
Narasi-narasi yang tampil di media sosial, menunjukkan betapa intensitas perbincangan tentang agama cenderung naik. Kampanye-kampanye keislaman, menjadi tren dengan segenap variannya. Bahkan, pada beberapa kondisi, kencenderungan politisasi atas isu-isu agama lebih tampak daripada pesan keagamaannya. Inilah, yang disebut Bassam Tibi, sebagai kecenderungan kelompok Islamis.
Bassam Tibi menulis tentang kecenderungan politisasi agama, dalam karya Islam dan Islamisme (Mizan, 2016). Menurutnya, Islam secara eksplisit berusaha memperluas ajarannya ke seluruh dunia. Islamisme mengubah universalisme Islam menjadi internasionalisme politik, yang berusaha menggantikan tataran sekuler yang ada dari negara-negara berdaulat dengan satu Islam. Internasionalisme Islamis menawarkan ummah bentukan (invented ummah). Dalam pandangan Tibi, ummah Islamis ini, tidak selayaknya ummah Islam tradisional, bukanlah komunitas iman tetapi gerakan politik yang anggotanya mendukung pemberlakukan hukum syariah secara ketat oleh negara (Tibi, 2016: 44).
Generasi milenial perlu jeli melihat perbedaan antara Islam dan Islamisme. Kesalahan memahami konsep ini, akan membuat generasi milenial tergelincir pada kekeliruan persepsi memahami isu-isu yang disangka membela agama, namun ternyata mereka membela politik dan kepentingan politisi. Kecerdasaan bermedia menjadi kuncinya. []