Mewabahnya virus corona menjadikannya sebagai salah istilah yang paling banyak dicari di Google sepanjang awal tahun 2020. Saya iseng-iseng cari via fitur Google Trends. Tanggal 26 Januari sampai 1 Februari menjadi rentang waktu melonjaknya pencarian dengan kata kunci “virus” di mesin pencari Google. Pencarian istilah itu sempat turun selama Februari, dan melonjak lagi di minggu kedua bulan Maret ini.
Majalah TIME bahkan sempat mengunggah artikel yang berisi glosarium kata kunci yang paling banyak dicari warganet seputar virus Corona ini sejak awal tahun. Dalam bahasa Inggris tentunya. Contohnya seperti kata kunci; virus, pandemic, outbreak, incubation,social distancing, dan lainnya.
Masyarakat Indonesia pada akhirnya juga terpapar dengan istilah baru, seperti social distancing dan Lockdown. Saya belum tahu persis bagaimana dua istilah tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Yang pasti, bahasa kita jadi berkembang berkat (atau akibat?) adanya wabah virus corona ini.
Istilah virus sendiri juga cukup menarik untuk ditelusuri. Usut punya usut, istilah ini mengalami perkembangan secara kebahasaan. Berdasar penelusuran iseng-iseng saya, istilah virus berasal dari bahasa Latin virulentus, yang artinya beracun. Sementara istilah virus sendiri pertama kali digunakan setidaknya pada tahun 1728 sebagai istilah kedokteran. Kurang lebih artinya adalah “agen yang menyebabkan penyakit menular”.
Adapun KBBI mencatat definisi virus sebagai “mikroorganisme yang tidak dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop biasa, hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron, penyebab dan penular penyakit, seperti cacar, influenza, dan rabies.”
Zaman berganti. Generasi digital berperan dalam pergeseran istilah virus yang semula istilah medis menjadi istilah komputer. Virus sebagai bahasa perkomputeran mulai dipakai tahun 1972. Istilah ini merujuk pada penyebab kegagalan fungsi dalam sebuah sistem operasi mesin komputer. Sejak ide virus komputer itu tertanam di benak manusia, virus sebagai sebuah istilah sudah mulai menjauh pelan-pelan dari sebuah konsep penyakit yang menyerang tubuh manusia.
Kemungkinan besar dari gagasan virus sebagai istilah komputer ini lah mulai ada penambahan definisi dalam KBBI, yang menjelaskan virus sebagai “program ilegal yang dimasukkan ke dalam sistem komputer melalui jaringan atau disket sehingga menyebar dan dapat merusak program yang ada.”
Virus berubah menjadi sebuah konsep terbayang, sebagai sesuatu yang menjalar pada perangkat lunak, alih-alih tubuh manusia. Meski secara praktis ia tetap mengandung unsur ancaman dan jadi penyebab gagal fungsi sebuah sistem. Bukankah karena adanya konsep gangguan perangkat lunak itu kita lantas rajin memasang anti-virus di komputer kita? Secara berkala, pengguna komputer melakukan pemeriksaan dan pembersihan memastikan fungsi sistem yang ada pada perangkat komputer kita berjalan sehat sebagaimana mestinya.
Bayangan virus sebagai ancaman dan penyakit makin menjauh lagi, setelah era disrupsi media sosial mengenalkan istilah “viral” kepada kita. Menurut KBBI versi daring, viral mempunyai definisi “bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus”. Saya tidak mendapatkan data kapan pastinya istilah viral ini mulai masuk ke dalam KBBI. Besar kemungkinan ia mulai dikenal dalam satu dekade terakhir, ketika intensitas penggunaan media sosial meningkat dan menjadi keseharian. Bahkan disebut mampu menggerakkan revolusi seperti yang terjadi di Arab.
Menariknya, istilah virus yang semula mengandung konsep ancaman dan penyakit – oleh karenanya dijauhi, dan punya konotasi negatif – sekarang justru diselebrasikan secara besar-besaran dan digandrungi sebagai legitimasi popularitas.
Warganet berlomba-lomba membuat konten supaya tersebar luas alias viral. Selucu mungkin, seaneh mungkin. Ada kesenangan dan kebanggan tersendiri jika cuitan atau unggahan di Facebook disukai, dikomentari dan dibagikan kepada orang banyak. Padahal, ketika sebuah konten “viral”, sebenarnya ia punya nuansa yang sama dengan virus, yakni kekuatan penyebarannya yang cepat, masif, dan menghampiri manusia.
Bukan kebetulan juga seseorang yang mampu membuat konten viral di media sosial disebut sebagai influencer – sebuah kata yang, lagi-lagi, muncul dari tengah wabah. Menurut sebuah artikel di Majalah Newyorker, kata influencer dalam bahasa inggris mempunyai benang merah dari peristiwa wabah influenza yang mewabah di Amerika Serikat pada tahun 1918.
Begitu jauh dan panjang perjalanan sebuah kosakata, yang tadinya muncul dari sebuah wabah, kini justru dirayakan, diimitasi, dan tentunya menjadi tren baru. Bahkan “influencer” sudah menjadi profesi yang menghasilkan uang dan menjadi penghidupan banyak generasi digital.
Banyak lagi istilah atau kosakata yang berkembang di sekitar kita, yang sudah demikian berjarak dari makna aslinya. Misalnya, pecah yang berarti “terbelah menjadi beberapa bagian”, sekarang makin lekat digunakan jauh dari makna asalnya. Contoh, “Konsernya pecah banget, asli!” makin akrab di percakapan sehari-hari anak muda, serta digunakan secara ekspresif karena sepadan dengan “seru”, atau “menyenangkan”. Maknanya yang tersirat malah cenderung positif.
Mewabahnya corona tidak bisa dielakkan sebagai fenomena besar yang skalanya mungkin menyamai Perang Dunia. Liga-liga sepakbola dunia dihentikan, ekonomi melambat, manusia mulai sadar untuk berhadapan dengan musuh yang tak terlihat di skala super-mikro. Ini jadi semacam penanda peradaban, akan terjadinya perubahan hidup manusia di masa depan dalam skala besar-besaran. Ilmu pengetahuan, ekonomi, kedokteran, atau bisa jadi, dalam wilayah berbahasa.