Sejarawan Yuval Noah Harari pernah menyebut dalam bukunya Homo Deus (2018) bahwa umat manusia pada milenium ketiga atau awal abad ke-21 ini telah benar-benar menang melawan musuh-musuhnya. Salah satu dari sekian musuh (lama) yang pernah membunuh ratusan juta jiwa manusia itu adalah epidemi, wabah, bakteri atau virus.
Pada masa yang lampau atau tepatnya tahun 1330 masehi, demikian menurut Harari, negeri-negeri di Asia Tengah dan Asia Timur dilumat oleh virus menakutkan yang disebut sebagai “maut hitam” yang memiliki nama latin yestina petis. Virus mematikan itu menjangkiti penduduk melalui gigitan kutu. Ia melumpat dari pakaian satu penduduk dan melompat ke pakaian penduduk lain dan menggigitnya.
Virus itu dikabarkan juga menjangkiti tikus. Ini membuat persebarannya menjadi semakin cepat. Kutu melompat dari satu pakaian ke pakaian lain. Dan, tikus juga berkembang biak dari satu rumah penduduk ke rumah lain sampai menyebar ke seantero kota, negeri hingga benua. Ia menumpang melalui kapal-kapal dagang antar wilayah zaman itu.
Alhasil, ia akhirnya menyebar ke seluruh benua Asia, Eropa dan Afrika Utara. Bahkan, virus itu tidak perlu waktu lama, alias hanya kurang dari dua tahun untuk menyebar sampai pesisir Samudera Atlantik.
Di Inggris, virus maut hitam menyebabkan 4 dari 10 penduduknya meninggal dunia. Populasi penduduk Inggris menyusut tajam dari 3,7 juta jiwa menjadi 2,2 juta jiwa setelah virus menyerang. Kemudian di kota Florensia, Italia kehilangan separo populasi penduduknya: yang semula 100 ribu jiwa menyusut menjadi 50 ribu jiwa.
Sejarah virus yang menakutkan belum berakhir. Pada tahun 1520 masehi, virus cacar (smallpox) menyebar dari tubuh Francesco de Egula, seorang budak Afrika yang diangkut oleh kapal serdadu Sepanyol yang sedang bertolak dari Kuba menuju Meksiko untuk melanjutkan penjajahan.
Dari kapal serdadu Sepanyol itu, rupanya yang membahayakan bukanlah 900 prajurit yang siap menindas dan menjajah penduduk Pribumi Meksiko. Namun, sebuah bakteri dari tubuh seorang budak Afrika yang perawakannya sudah tak berdaya menjadi ancaman serius. Virus itu menyebar hingga membunuh hampir separo dari penduduk Meksiko, terjadi penyusutan dari 22 juta jiwa menjadi 14 juta jiwa.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, virus benar-benar menjadi ancaman besar bagi umat manusia. Tak hanya maut hitam dan cacar, namun ada juga virus flu TBC (tubercolosis) yang membunuh hampir seluruh penduduk kota Hawai di Amerika Serikat pada tahun 1778.
Semua virus tersebut berhasil membunuh jutaan jiwa manusia. Umat manusia tak berdaya menghadapinya. Pada masa penuh kepanikan dan kebingungan itu, suku Maya di Semenanjung Yukatan, Meksiko menyebut tiga dewa jahat sebagai biang keladinya (Expetz, Uzannkak dan Sojakak). Kaum Maya menuduh bahwa tiga dewa itu pada malam hari terbang mengitari seantero desa untuk menyebarkan virus mematikan itu ke rumah-rumah penduduk.
Serupa dengan suku Maya, suku Aztec di Mexico juga mempersalahkan dewa Tezcatlipoca dan Xipetotec sebagai penyebab wabah yang membunuh banyak penduduk. Mereka lalu merapal mantra-mantra untuk mengusir nasib sial yang menimpa mereka itu.
Dengan mengucapkan mantra-mantra sakti tersebut, mereka berharap kesialan itu bakalan lenyap. Namun, ternyata mantra-mantra itu tak ada dampaknya. Parade kematian masih terus berlangsung, bahkan semakin banyak memakan korban.
Menanggapi wabah yang sama, penduduk negeri Eropa memohon kepada bapa-bapa suci di Gereja untuk mendoakan supaya wabah kematian itu segera lenyap. Nahas, mereka mendapatkan nasib yang sama dengan penduduk suku Maya dan Azec di Meksiko yang gagal melawan wabah itu. Mereka kehilangan banyak penduduk kotanya.
Pada masa lampau itu, rupanya mantra-mantra dan do’a-do’a dari orang suci tidak menyelesaikan persoalan. Kalau menyimak penuturan dari Harari (2018), berbagai virus yang mematikan itu berhasil dijinakkan melalui penanganan kedokteran modern. Dengan penemuan biologi dan berbagai penemuan ilmu pengetahuan modern lain yang mendukung, virus itu baru di jinakkan.
Virus cacar yang pada tahun 1520 masehi telah membunuh hampir 10 juta jiwa penduduk Meksiko itu, pada tahun 2014 yang lalu dilaporkan bahwa sudah tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang mati karena cacar. Oleh kedokteran modern, virus itu dapat dijinakkan dengan penanganan yang efisien.
Bahkan, menurut Harari (2018) virus-virus yang muncul belakangan seperti SARS pada tahun 2002/2003, flu burung pada tahun 2005, flu babi pada tahun 2009/2010, dan Ebola pada tahun 2014 dapat dikendalikan secara efisien dan tidak membunuh banyak jiwa manusia.
Dengan demikian, dari pengalaman sejarah yang telah berhasil menjinakkan berbagai virus tersebut, sepertinya kita saat ini tidak perlu cemas secara berlebihan dalam menghadapi virus corona jenis baru atau COVID-19 yang menurut penuturan Presiden (02/03) sudah menjangkiti dua saudara kita di Depok.
Jika strategi dan metode penanganannya tepat sesuai kaidah kedokteran modern, virus tersebut tentu akan dapat mudah kita kendalikan. Sejarah dan pengalaman sudah membuktikan, banyak virus lain sudah berhasil dijinakkan.
Tetapi, manusiawi saja: kita bahkan boleh khawatir dengan lawatan COVID-19, jika penanganan penyelenggara negara kita hanya mengulangi apa yang telah dilakukan oleh suku Maya, suku Aztec dan penduduk Eropa abad pertengahan dengan hanya merapal mantra-mantra dan berdoa, tanpa kejelasan progres kinerja.
Jurnalisme krisis, krisis jurnalisme.. pic.twitter.com/NTrYQnQY4Z
— Wisnu Prasetya (@wisnu_prasetya) March 2, 2020
Atau, ya, kita pun kelewat sah untuk menjadi panik, jika para pewarta yang semestinya mengabarkan situasi terkini dengan etika jurnalistik yang ketat, justru cenderung “mengobral” kepanikan dengan, misalnya, hal-hal yang tidak perlu setamsil memakai masker berlebih. Ringkasnya, khawatir boleh, gegabah jangan!!