Tidak diragukan lagi bahwa Corona Virus (Covid-19) merupakan wabah yang saat ini tengah menjadi perbincangan dunia. Bahkan Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan status bahwa virus Corona sebagai wabah pendemi. Bagaimanapun juga, dalam hemat penulis, peringatan ini merupakan alarm yang boleh dibilang sebagai “alarm keras,” seiring WHO adalah representasi dari lembaga tingkat dunia.
Status pendemi, membedakan dari status endemi. Status endemi, hanya berlaku lokal di daerah tertentu saja yang mengalami gejala. Menjauhi lokasi yang ditetapkan sebagai endemi, dimaksudkan agar terjadi isolasi penyakit, sehingga tidak menyebar keluar daerah. Dengan demikian, penanganan bisa fokus di wilayah tersebut.
Lain halnya dengan status pendemi. Status pendemi atau pandemi, dicirikan dengan lokasi penyebarannya sudah mencakup wilayah geografis dalam scope global. Dengan demikian, kebutuhan isolasi wabah, sudah tidak bisa berlaku hanya pada wilayah asal sumber penyakit saja, melainkan sudah harus ke sejumlah wilayah yang ada kemungkinan terdampak.
Informasi terakhir yang penulis dapatkan dari Harian Kompas, yang dilansir per 12 Maret 2020, wabah ini sudah merambah ke 118 Negara di dunia, dengan jumlah korban terinfeksi mencapai total 119.179 orang pada Rabu 11 maret 2020. Adapun menurut laporan fin dot co id, dengan juga mengutip data dari WHO, menyebutkan bahwa jumlah korban kematian akibat wabah virus Corona itu sudah mencapai sedikitnya 4.291 kasus. Di Indonesia sendiri tingkat kematian akibat Corona, mencapai tingkat 2.94% dari 34 kasus positif Covid-19. Adapun tingkat kesembuhan, mencapai 14.7%. Pengukuran ini terhitung per 11 Maret 2020.
Bagaimana dengan potensi perkembangan virus Corona. WHO sendiri melansir bahwa kasus tersebut akan berpotensi terus meningkat. Namun sebesar apa potensi peningkatan itu bisa terjadi, dalam hal ini belum ada informasi lebih lanjut. Garis besarnya, WHO menginformasikan ada potensi besar peningkatan.
Bagaimanapun juga, adanya sebuah kasus berarti membutuhkan langkah penyikapan. Langkah penyikapan itu sudah pasti terkonsentrasi pada aspek mencegah (preventif). Bagaimanapun juga, langkah preventif adalah yang lebih utama dibanding langkah curatif (pengobatan). Apalagi, bila kasus yang perlu diantisipasi (saddu al-dzari’ah) berpotensi pada timbulnya halak (kerusakan) berupa hilangnya nyawa.
Permasalahan penyikapan terhadap ikhbar di atas, hakikatnya berkutat pada: Pertama, kebutuhan membantu pemerintah dalam melakukan langkah isolasi penyebaran wabah demi alasan kesehatan (al-hajr al-shahhy), yang berarti ada pada sikap harus menjauhi lokasi keramaian. Masalahnya adalah, masjid merupakan salah satu pusat keramaian itu, dan perintah menjauhi masjid karena darurat, berarti pula berpengaruh terhadap segala aktifitas yang ada di dalamnya, seperti shalat Jum’at. Kedua, apakah ikhbar WHO ini sudah bisa dijadikan patokan atau acuan darurat. Sebab ikhbar ada kaitannya dengan status adilnya pemberi ikhbar, yang dalam banyak versi kitab harus disampaikan oleh muslim. Ketiga, apakah ikhbar mengenai virus Corona dari non muslim merupakan bagian dari kasus thiyarah?
Tiga permasalahan ini, nampaknya tidak bisa dijawab lewat satu tulisan saja, sebab kebutuhan telaah dari ketiga aspek tersebut dari beberapa sudut pandang. Semua dimaksudkan agar kajian ini bersifat obyektif.
Mungkinkah Shalat Jum’at tidak dilaksanakan sementara?
Tidak diragukan lagi, bahwa wabah virus Corona merupakan wabah yang menyerupai wabah tha’un sebagaimana pernah terjadi dalam perjalanan tarikh/sejarah umat Islam. Tha’un itu adalah:
الطاعون : فهو قروح تخرج في الجسد، فتكون في المرافق، أو الآباط، أو الأيدي، أو الأصابع، وسائر البدن, ويكون معه ورم، وألَم شديد، وتخرج تلك القروح مع لهيب، ويسودّ ما حواليه، أو يخضر، أو يحمر حمرة بنفسجية، كدرة، ويحصل معه خفقان القلب، والقيء، وأما الوباء : فقال الخليل وغيره : هو الطاعون، وقال : هو كل مرض عام، والصحيح الذي قاله المحققون: أنه مرض الكثيرين من الناس في جهة من الأرض، دون سائر الجهات، ويكون مخالفاً للمعتاد من أمراض في الكثرة، وغيرها، ويكون مرضهم نوعاً واحداً، بخلاف سائر الأوقات؛ فإن أمراضهم فيها مختلفة، قالوا : وكل طاعون وباء، وليس كل وباء طاعوناً، والوباء الذي وقع في الشام في زمن عمر كان طاعوناً، وهو طاعون “عمواس”، وهى قرية معروفة بالشام .
“Tha’un adalah nanah yang keluar dari tubuh, terdapat di persendian, ketiak, tangan, jemari dan diseluruh tubuh, disertai bengkak dan sakit. Keluarnya nanah disertai dengan radang, di sekitarnya menjadi gosong (menghitam) atau hijau, merah ungu, keruh, disertai jantung berdebar-debar dan muntah. Pernyataan al-Nawawi ini mendasarkan diri pada keterangan dari Kholil dan lainnya yang mengatakan bahwa wabah itu adalah tha’un. Namun, ada juga ulama yang mengatakan bahwa wabah yang dimaksud dalam hadis itu adalah penyakit yang menggejala secara umum. Yang benar adalah apa yang dikatakan para peneliti, bahwa ia adalah penyakit yang banyak menimpa orang-orang di suatu tempat (epidemi) dan tidak di tempat lainnya. Kondisinya berbeda dengan penyakit yang diderita oleh sakit pada umumnya. Karakteristik penyakitnya ditengarai sebagai satu, meski mewabahnya ada beda waktu. Para ulama mengatakan: Semua tha’un adalah wabah, namun tidak semua wabah adalah tha’un. Wabah yang terjadi di Syam pada zaman Umar adalah tha’un, yang dikenal sebagai Tha’un Amwas. Disebut demikian karena terjadi pada desa tertentu di Negeri Syam.” (Syarah Muslim li al-Nawawi: 14/204).
Ketika mendapatkan informasi mengenai wabah tha’un, Sayyidina Umar pernah melakukan langkah tindakan preventif berupa menjauhi wilayah yang sedang terkena wabah tersebut. Sejarah merekam kebijakan tersebut sebagaimana disampaikan dalam Shahih dengan Nomor Hadits 5397 dan Shahih Muslim 2219.
عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغَ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الأَجْنَادِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ ، فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِأَرْضِ الشَّأْمِ ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : فَقَالَ عُمَرُ : ادْعُ لِي الْمُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ فجاء عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رضي الله عنه، وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ : إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْماً ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : (إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ
“Dari Abdulllah bin Abbas radhiallahu’anhuma sesungguhnya Umar bin Khatab radhiallahu’anhu pergi menuju negeri Syam. Sampai ketika di tanah Sargha, beliau menjumpai panglima pasukan, yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah dan beberapa shahabat lainnya. Mereka memberitahukan kepada sahabat Umar ibn Khathab bahwa telah terjadi wabah penyakit di negara Syam. Ibnu Abbas berkata bahwa Umar berkata: ‘Panggil para Muhajirin senior menghadapku!’ Kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu’anhu. Beliau waktu itu tidak hadir karena suatu keperluan, kemudian beliau berkata: ‘Sesungguhnya ada hal yang pernah aku ketahui berkaitan dengan masalah ini. Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika kalian mendengarnya (wabah penyakit) di suatu tempat, maka kalian jangan mendekat kepadanya. Kalau telah terjadi (wabah penyakit) di suatu daerah dan kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar lari darinya’,” (HR: Bukhari–Muslim).
Apa yang disampaikan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf ini merupakan informasi dari Nabi mengenai tata cara pencegahan wabah penyakit melalui jalan isolasi. Dan selanjutnya, sahabat Umar ibn Khathab menggunakan dua sumber informasi dari Panglima Pasukan dan Abdurrahman ibn ‘Auf itu untuk memutuskan hukum agar pasukan muslimin tidak melewati wilayah Amwas, supaya tidak tertular oleh epidemi tersebut.
Berangkat dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa segala hal penyakit yang bersifat ganas dan membawa pada potensi halak (kerusakan) berupa kematian, pada dasarnya bisa dikategorikan sebagai wabah tha’un. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asyqalani menyampaikan dalam kitabnya:
وفِي هذا الحَدِيث جَوَاز رُجُوع مَن أَرَادَ دُخُول بَلدَة فَعَلِمَ أَنَّ بِهَا الطَّاعُون، وَأَنَّ ذَلِكَ لَيسَ مِن الطِّيَرَة، وَإِنَّمَا هِيَ مِن مَنْع الإِلقَاء إِلَى التَّهْلُكَة، أَو سَدّ الذَّرِيعَة وَفِي الحَدِيث أَيضاً: مَنْع مَنْ وَقَعَ الطَّاعُون بِبَلَدٍ هُوَ فِيها مِن الخُرُوج مِنهَا
“Di dalam hadis ini, disampaikan kebolehan seseorang yang hendak memasuki suatu daerah yang di wilayah tersebut terdapat wabah Tha’un untuk mengurungkan niatnya. Dan hal ini bukan termasuk kategori tindakan yang menyerupai thiyarah, melainkan termasuk larangan menjerumuskan diri dalam kerusakan, atau antisipasi terhadap potensi negatif yang timbul dari suatu kejadian (saddu al-dzari’ah). Dan di dalam hadits itu juga terdapat larangan bagi penduduk yang berada di lokasi wabah untuk keluar dari wilayahnya.” (Fathu al-Bari, Juz 10, halaman 186-187).
Jadi, dengan merujuk pada ibarat ini, tindakan pencegahan (preventif) memang diambil dalam rangka merebaknya wabah sehingga menjadi sulit ditanggulangi. Karena umumnya penyakit itu menular akibat berdekatan dengan agen penyebar penyakit, maka menjauhi agen penyebar itu, merupakan hal yang lebih dikuatkan oleh syariat seiring berlakunya larangan menjerumuskan diri dalam kerusakan. Allah SWT berfirman:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah ayat 195)
Rasulullah ﷺ suatu ketika juga pernah bersabda:
إذا كان الوباء – أو الطاعون – في بلد فلا تخرجوا منه ولا تدخلوا إليه
“Jika wabah tha’un melanda suatu daerah, maka kalian jangan keluar dan jangan memasuki wilayah epidemi-nya” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Jika, masjid yang di dalamnya merupakan tempat berkumpulnya orang sehingga diduga besar kemungkinan menjadi agen penyebar wabah coronavirus (tha’un), seumpama lewat shalat Jum’at, maka dalam pertimbangannya menjauhi masjid atau bahkan tidak mengadakan shalat Jum’at terlebih dulu, bisa jadi juga merupakan bagian dari tindakan pencegahan dampak negatif wabah penyakit (saddu al-dzari’ah). Namun, hal ini masih membutuhkan telaah dari para kalangan arif bijaksana dalam soal hukum. Adapun yang disampaikan oleh penulis dalam ruang terbatas ini hanyalah melempar wacana. Semoga bermanfaat