Di tengah keasyikan saya menonton video-video shitpost yang menghibur itu, tiba-tiba nyempil sebuah video yang berisi penjelasan bahwa “Islam punya solusi atas masalah virus Corona di Wuhan”. Langsung saja saya simak pemaparannya. Saya penasaran apa kira-kira yang dapat menjadi solusi atas kekhawatiran kita dalam menghadapi epidemi Corona.
Namun, baru beranjak pada keterangan solusi pertama saja saya langsung kecewa berat. Diceritakan bahwa “solusi Islam atas masalah virus Corona adalah dengan memakan-makanan yang halal dan thayyib (baik). Jangan memakan makanan yang haram, seperti Klelawar yang menjadi penyebab virus Corona di Wuhan, China.”
Saya sebelumnya membayangkan bahwa akan ada jawaban yang jelas tentang obat apa dari Islam yang bisa menjinakkan virus Corona tersebut. Namun, solusi yang diberikan itu sama sekali tidak nyambung dan sebanding dengan judul yang diberikan.
Problemnya begini, virus Corona tersebut kan sudah muncul bahkan saat ini menyebar hanya dengan melalui medium udara. Jika solusi Islami yang diberikan tadi adalah tidak memakan makanan yang haram seperti Klelawar. Toh virusnya bakalan nyebar lewat pertukaran udara yang kita hirup–atau dengan kata lain melalui droplet (cairan) disaat orang sedang bersin atau batuk.
Walaupun kita tidak memakan Klelawar pun, kita tetap memiliki kemungkinan untuk tertular virus tersebut, jika persebarannya masuk ke Indonesia. Dengan demikian, solusi yang diklaim Islami dan bombastis bakal mampu mengatasi virus Corona tersebut tidak ada gunanya dan hanya omong kosong.
Terkait dengan situasi demikian ini, kok rasa-rasanya ada sebuah sindrom pada sebagian saudara muslim kita yang begitu terobsesi memberikan label Islami atas sebuah problem yang dihadapi kekinian. Saya kemudian teringat, beberapa waktu yang lalu sempat menyimak video pendek seorang ustadz yang memiliki latar belakang dokter.
Si ustadz tersebut menjelaskan dengan penuh antusias bahwa “makanan yang kita makan itu mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita” katanya. Si ustadz-dokter tersebut mencontohkan bahwa orang-orang Barat yang memakan Babi akan berperilaku LGBT. Menurutnya bahwa Babi itu hewan yang tak memiliki komitmen dengan pasangannya. Babi akan berganti-ganti pasangan alias berperilaku seks bebas.
Kemudian, si ustadz-dokter tersebut memberikan kesimpulan bahwa fenomena LGBT di Barat sana itu disebabkan oleh kebiasaan kebanyakan orang Barat yang mengonsumsi Babi, karena tertular perilaku seks bebas Babi.
Dalam menyerap informasi ustadz-dokter tersebut, syaraf-syaraf otak saya sedikit menegang. Perasaan saya ada yang tidak beres dari apa yang dijelaskan ustadz-dokter tersebut. “Sepertinya ada yang salah” batin saya. Tak berselang lama, saya lalu ingat bahwa bukankah semua hewan itu berperilaku seks bebas.
Saya teringat dengan salah satu ayam kampung yang dipelihara oleh bapak saya. Suatu ketika ayam jantan peliharaan bapak saya itu menghilang. Padahal, di kandang belakang rumah kami itu, si ayam jantan memiliki tugas untuk memberikan servis kepuasan seksual tiga ayam babon supaya dapat terus bertelur dan menghasilkan keturunan.
Rupa-rupanya si ayam jantan tersebut kabur bersama ayam betina lain yang lebih muda. Dan sudah menjadi pemahaman umum bahwa ayam jantan memiliki kebiasaan untuk terus berganti-ganti pasangan sesuai kehendak hatinya.
Namun, keanehan yang terjadi adalah keluarga saya dan kita semua pemakan ayam ini tidak lantas menjadi LGBT. Dengan demikian, tidak masuk dinalar jika si ustadz-dokter tadi memberikan klaim bahwa fenomena LGBT di Barat itu disebabkan oleh mengonsumsi Babi. Dengan demikian, alih-alih hendak memberikan penjelasan ilmiah (karena latar belakangnya adalah dokter), si ustadz-dokter tersebut malah menebar teori konspirasi.
Terkait dengan teori konspirasi ini, rupa-rupanya banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini. Banyak teori konspirasi yang berseliweran di sekita kita. Mulai klaim bahwa Perahu Raksasa Nabi Nuh As yang legendaris itu berasal dari Papua.
Selain itu ada klaim lain misalnya, bahwa yang membangun Candi Borobudur adalah Nabi Sulaiman As. Ada juga yang mempercayai bahwa kencing Onta memiliki khasiat untuk kesehatan. Ada pula yang menyebut bahwa Adolf Hitler mati di Indonesia. Semuanya itu teori konspiratif. Karena tidak ada bukti empiris dan logisnya.
Ternyata, terkait dengan teori konspirasi tersebut juga marak menjangkiti nalar sebagian saudara muslim kita dalam berislam. Ada sebuah sindrom untuk memberikan label Islami kepada solusi atas persoalan yang ada. Cara-cara demikian itu terlalu memaksakan untuk mencari legitimasi jawaban atas sebuah persoalan dari ajaran Islam.
Seperti misalnya pada video yang telah disebutkan di awal dengan memaksakan legitimasi jawaban dari Islam tentang virus Corona. Dan bisa diprediksi, jawabannya adalah konspirasi belaka. Klaim tersebut tidak mampu memberikan penalaran yang empiris dan logis. Dan naasnya, sebuah upaya pemaksaan pemberian solusi yang harus Islami dari masalah yang bukan keahliannya tersebut malah merendahkan ajaran Islam itu sendiri.
Seharusnya, etika sebagai seorang muslim yang cinta dengan ilmu pengetahuan dalam menghadapi virus Corona tersebut adalah dengan ikhtiar dan berdoa. Dalam berikhtiar kita harus mempelajari ilmu sains (khusunya kajian tentang virus) dengan sungguh-sungguh dan mengikuti logika dan sistematika ilmunya. Dan di satu sisi lagi, selain ikhtiar ilmiah, kita sembari berdoa kepada Allah Swt supaya semuanya terjaga dalam keadaan baik-baik saja. Wallahua’lam.