Namanya Asrul, baru berusia 34 tahun. Perawakannya kecil, berkumis tipis di wajah. Selama 12 tahun terakhir, ia memilih berkarir menjadi jurnalis. Sempat bekerja di media online dan ditugaskan 10 tahun di Palopo, Asrul kemudian bekerja di media online berita.news (PT Aurora Media) sejak 2019.
Perkenalan saya dengan kasus Asrul terjadi sejak ia ditahan polisi Januari 2020. Ia dijemput paksa oleh polisi dari rumahnya, diperiksa tanpa didampingi oleh penasihat hukum, dan setelah diperiksa langsung mendekam di rutan Mapolda. Atas nama SAFEnet, saya sempat mengirim surat jaminan penangguhan penahanan ke Kapolda Sulsel pada 14 Februari 2020, meminta agar Asrul dilepaskan dari rutan. Tapi Asrul terus ditahan hingga 36 hari, sampai kemudian dibebaskan karena tekanan publik pada 5 Maret 2020.
Baru setahun kemudian, saya bertemu langsung dengan Asrul. Wajahnya menyimpan kecemasan. Saya maklum, karena ia akan menghadapi sidang kedua, hari ini 23 Maret 2021. Selama pertemuan, saya mendengar langsung kasus hukum yang ia alami, termasuk dampak buruk yang harus ia hadapi akibat UU ITE.
Untuk yang belum mengetahui kasus hukumnya, secara ringkas bisa saya ceritakan kembali. Kasus Asrul bermula pada 14 Juni 2019, saat Muhammad Asrul diadukan ke polisi dengan aduan pencemaran nama baik oleh Farid Karim Judas karena tiga berita dugaan korupsi yang dituliskannya di media online berita.news pada 10, 24, dan 25 Mei 2019.
Tiga tulisan yang dipermasalahkan itu berjudul “Putra Mahkota Palopo Diduga “Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M”, tertanggal 10 Mei 2019, “Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas” tertanggal 24 Mei 2019, dan “Jilid II Korupsi jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik Untuk Farid Judas?” tertanggal 25 Mei 2019.
Pada 17 Desember 2019, Farid Kasim Judas membuat aduan yang tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LPB / 465/ XII / 2019 / SPKT. Polisi pun segera menindaklanjuti laporan itu dengan penangkapan. Pada 29 Januari 2020 pukul 13.05 WITA Muhammad Asrul dijemput paksa dari rumahnya oleh kepolisian. Selanjutnya ia dibawa ke Polda Sulawesi Selatan untuk dimintai keterangan tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Muhammad Asrul mulai diperiksa dan menjalani BAP oleh penyidik sejak pukul 15.30 WITA sampai 20.30 WITA. Namun, begitu selesai menjalani BAP, Muhammad Asrul tidak diperbolehkan pulang. Ia langsung ditahan di Rutan Mapolda Sulsel sejak 30 Januari 2020 hingga 5 Maret 2020. Tapi kasus tidak berhenti di sana.
Mulai 16 Maret 2021, kasus Asrul mulai disidangkan. Jaksa mendakwa Asrul dengan pasal berlapis: 1. Berita bohong – pasal 14 UU No 1/1946 2. Ujaran kebencian – pasal 28 ayat 2 UU ITE 3. Pencemaran nama – pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Ancaman pidana bagi Asrul bila terbukti bersalah, maksimal 10 tahun. Kasus ini menimbulkan ketidakadilan. Polisi dan Jaksa telah mengabaikan surat dari Dewan Pers yang menjelaskan berita yang ditulis Asrul adalah produk karya jurnalistik yang mekanisme sengketanya diselesaikan lewat Dewan Pers dan bukan lewat pengadilan pidana.
Ketidakadilan lain yang ia alami adalah dampak buruk yang harus dihadapi Asrul. Selama 8 bulan sejak ditangguhkan penahanannya di Rutan Mapolda, Asrul dilarang untuk menulis berita dan pakai medsos. Akibatnya, ia tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya. Anaknya sampai bertanya-tanya kenapa ayahnya tak kerja? Asrul terpaksa bilang, ia masih kerja tapi di rumah saja. Belum lama ini, karena tidak bisa memberikan nafkah kepada keluarga, Asrul menghadapi gugatan cerai. Duh!
Saya kerap bingung kalau ada orang yang lancang bertanya di mana letak ketidakadilan UU ITE? Apakah kasus Asrul ini tidak cukup jelas memerlihatkan kejadian ketidakadilan itu?
Jurnalis bekerja bukan untuk dirinya sendiri, ia bekerja untuk kepentingan publik. Dan kepentingan publik yang diemban oleh Asrul lewat pemberitaannya adalah mengungkap perilaku korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak boleh dianggap sepele. Mengungkap korupsi dengan teknik jurnalisme investigasi adalah peran yang dapat dilakukan oleh wartawan/jurnalis.
Bagaimana bisa berita yang telah dinyatakan oleh Dewan Pers lewat surat dengan nomor 187/DP-K/III/2020 sebagai produk jurnalistik dan karenanya dilindungi oleh UU Pers justru bisa disidangkan di pengadilan dengan pasal kabar bohong, ujaran kebencian, dan pencemaran nama? Sengketa pers seharusnya diselesaikan lewat mekanisme sengketa pers sesuai dengan Pasal 1, 5, 11, dan 15 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Saya menulis ini dengan kemarahan yang luar biasa. Terutama pada mereka yang ngotot tidak mau melakukan revisi UU ITE dengan berbagai alasan. Secara khusus pada dosen hukum pidana yang menganggap tidak ada masalah bila ada produk pidana yang tidak mematuhi prinsip legalitas lex scripta, lex certa, lex stricta. Juga pada ahli-ahli yang mendaku memahami hukum, tapi memilih tutup mata pada persoalan ketidakadilan ini.
Kita sudah sama-sama menyaksikan bagaimana hukum tidak berpihak pada peristiwa yang pernah menimpa jurnalis BanjarHits Diananta Putra Sumedi. Kasus-kasus ITE terbaru ini sudah jelas-jelas menunjukkan bagaimana UU ITE secara hukum melanggar prinsip legalitas lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis. Lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas. Lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi.
Bukankah kita butuh pers yang bekerja untuk publik? Pers yang mengawasi kinerja pemerintah yang korup? Mau sampai kapan kita biarkan ketidakadilan ini bekerja di negeri ini? Lalu cukupkah kasus-kasus ini diselesaikan dengan pembuatan pedoman interpretasi yang hanya mengatur tata cara? Saya sebagai orang yang pernah merasakan jerat UU ITE dan selama 8 tahun ini mendampingi mereka yang kena kasus UU ITE berkepentingan untuk mengatakan kepada kita semua: jawabannya hanya satu, bukan sekedar membuat pedoman interpretasi, tapi hapus pasal bermasalah di UU ITE dan segera revisi total UU ITE! Membiarkan ketidakadilan ini terus ada di dalam UU ITE sama saja mendiamkan pembungkaman pers dan demokrasi.
Masa Anda masih saja tidak setuju revisi UU ITE?
*Artikel ini sebelumnya dimuat pertama kali di blog pribadi Damar Juniarto