Jamaahnya dari beragam kalangan. Pria-wanita, paruh baya, orang tua dan anak muda. Rakyat jelata hingga petinggi negara pun ikut serta. Ustaz Abdus Somad misalnya, video ceramahnya digemari oleh Gubernur NTB TGB Zainul Majdi, ketua MPR Zulkifli Hasan, hingga wakil presiden Jusuf Kalla.
“Apapun bisa kita lihat sekarang. Dakwah di medsos, di Youtube, ada semua. Pertanyaan saya, siapa yang menyaring, bahwa yang disampaikannya itu, apa benar, dan bukan pendapat atau tafsir pribadi. Karena sekarang ini, banyak sekali saya melihat fenomena yang gampang sekali mengkafirkan orang,” kesah Presiden Jokowi di Konferensi Internasional dan Multaqa IV Alumni Al-Azhar di Islamic Center NTB, Oktober 2017.
Pernyataan Presiden Jokowi patut jadi perhatian, tentang otoritas, penyaring lalu-lintas informasi dan prosedur dakwah di media sosial. Ketika dakwah tidak lagi sebatas penyampaian di mimbar-mimbar formal dan sakral, tapi bergerak ke mimbar-mimbar virtual, berupa teks, gambar, hingga video. Para penikmatnya lintas usia, namun mayoritas adalah generasi kelahiran tahun 1980 ke atas. PEW Research Center menyebutnya sebagai generasi milenial.
Karakter milenial sebagai “The Me Me Me Generation” yang disematkan Majalah TIME pada 2013, cenderung menjadi ciri umum (meski tidak selalu), yaitu bersifat individualistik, bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap realitas. Mereka familiar dengan media sosial. Survei CSIS, menyatakan bahwa 81,7% generasi milenial mempunyai Facebook; 70,3% menggunakan Whatsapp; 54,7% memiliki Instagram. Media sosial menjadi wadah generasi milenial ‘berkumpul’ dan membentuk ruang sosial baru.
Ruang sosial baru itulah yang diakrabi para ustaz zaman now. Mereka mengisi ruang itu guna memenuhi dahaga spiritualitas masyarakat yang mengalami kekeringan ruhani di tengah beragam kompleksitas permasalahan hidup era modern. Sehingga ketika ustaz Abdus Somad, Hanan Ataki, Adi Hidayat, Syafiq Riza Basalamah, Khalid Basalamah, Arifin Ilham, Bahtiar Nasir, Felix Siauw, dan ustaz lainnya muncul, mereka disambut bak dewa.
Bagi generasi milenial yang haus ilmu agama dan tidak memiliki kecakapan dalam memahami al-Qur’an tersebab bukan bahasa tuturan, mereka akan langsung bergairah dengan ustaz zaman now. Antusiasme mereka berlipat karena para ustaz menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Hadis secara ringkas dan sederhana. Kebanyakan memahami al-Qur’an dari sisi informatif, penggalian makna dan melupakan sisi performatif, bagaimana al-Qur’an itu hidup dan mengalami proses transmisi dan transformasi dalam kehidupan sosial masyarakat.
Mereka berusaha untuk memahami ajaran Qur’an dan Hadis sebagaimana dipahami, ditafsirkan, dan diaplikasikan di masa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad. Semua pesan dipahami secara tekstual sebagai inti pesan Tuhan yang harus diaplikasikan di mana pun dan kapan pun, sebagaimana dipahami dan dipraktekkan oleh generasi awal Islam dan Nabi Muhammad. Sering didengungkan dengan kalimat ‘menghidupkan kembali sunnah nabi’. Terutama pada sunnah yaumiyah nabi, semisal tata cara makan dan berpakaian. Di saat yang sama lupa berinovasi dan menghidupkan sunnah yang sifatnya esensi, semisal pengamalan akhlak, prinsip keadilan, keunggulan (khaira ummah). Dalam aliran tafsir, pemahaman agama semacam ini dikategorikan sebagai quasi-obyektivis tradisionalis. Selainnya, ada kelompok yang quasi-objektivis modernis dan kelompok subyektivis.
Belajar agama, menurut kelompok ini, adalah memahami dan mengamalkan teks al-Qur’an dan Hadis secara apa adanya, yang kadang sering melupakan banyak aspek di dalam dan di sekitar teks, juga konteks sosio-historisnya. Oleh karena itu, ustaz zaman now cukup hanya menyuguhkan dalil dari Qur’an dan Hadis, dan disampaikan dengan ringkas, komunikatif, dan terkesan rasional. Dengan pemahaman yang simple seperti itu dan asal mampu menguasai panggung, maka dia akan mendapat tempat di benak khalayak.
Para ustaz zaman now beragam adanya. Ada yang pakar di bidangnya dan ada juga yang hanya bermodal kepercayaan diri dengan dalih hadis nabi, ‘sampaikanlah dariku walau satu ayat’. Di media sosial, pengikut atau fans berpengaruh penting. Tidak heran, banyak artis yang hijrah, kemudian menjadi ustaz atau pendakwah agama. Sebut saja nama Oki Setiana Dewi, Peggi Melati Sukma, Aktrie Patrio, Astri Ivo, Pipik Dian Irawati, Sakti Sheila On 7, Teuku Wisnu, Kiwil, dan Cesar.
Perhatian umat bergeser ke pundak mereka sepenuhnya. Terlebih dengan gaya dakwahnya yang tidak satu arah. Jamaah yang kebanyakan anak-anak muda itu merasa menemukan sebuah oase, jawaban atas permasalahan sehari-hari mereka secara cepat dan lugas. Hal ini tentu kontras dengan pengalaman dan persepsi lama bahwa belajar agama itu butuh waktu lama, harus ke pondok pesantren bertahun-tahun. Model belajar agama secara instan semacam ini menjadi alternatif yang dilirik, dinanti-nanti dan diluberi jamaah.
Misalnya ustaz Hanan Ataki, setiap mengisi kajian pada hari Rabu di Masjid Trans Studio Bandung, 3000an remaja laki-laki berkumpul. Segmen muda ini benar-benar ditekuni sosok pendiri komunitas Pemuda Hijrah ini dengan menampilkan konten dakwah kekinian. Ustaz Hanan pun menjadi otoritatif di kalangan generasi muda. Akun instagramnya diikuti 2,1 juta orang (per Februari 2018). Pria kelahiran Aceh 36 tahun lalu itu bahkan digemari jamaah dari Malaysia, Brunei, hingga Singapura. Menjadi idola di mana-mana.
Dahulu, penceramah adalah sosok yang benar-benar diakui kealimannya. Memiliki sanad keilmuan yang jelas dan merupakan orang khusus yang telah belajar agama bertahun-tahun. Dalam pandangan Ahmad Rafiq, dosen Ilmu Tafsir UIN Yogyakarta, saat ini terjadi pergeseran otoritas keagamaan. Menurutnya, otoritas keagamaan di zaman milenial ini adalah siapa yang muncul ke ruang publik secara intensif dengan tampilan meyakinkan sebagai publik figur, bukan seperti tampilan kiai kampung yang pakai sandal dan sarung.
Pada dasarnya, ustaz-ustaz gaul ini kategorinya sebagai penceramah yang mungkin cakap untuk sekadar sharing pengalaman keagamaan (semisal alasan memilih berhijrah), tetapi tidak punya kompetensi dan otoritas untuk menjadi mufti atau berfatwa tentang hukum syariat. Namun yang terjadi, mereka menjadi pemberi fatwa. Tersebab para jamaah bertanya beragam persoalan dan mereka menjawab sesuai pahamnya. Semisal pertanyaan tentang hukum mengucapkan selamat natal, hukum bercadar, hingga hukum pemimpin non muslim. Tentu, para jamaah milenial menuntut sebuah jawaban yang tegas. Sehingga, para ustaz ini memberi satu jawaban pasti berdasar interpretasi teks yang parsial, sembari meniadakan atau mereduksi banyak pandangan ulama lainnya. Padahal, khazanah keilmuan islam begitu kaya dengan ragam perbedaan interpretasi terhadap teks.
Kemunculan ustaz zaman now di media sosial telah merubah otoritas keagamaan, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini perlu disikapi secara bijak. Menyalahkan situasi tentu bukan solusi. Apalagi sikap reaksioner semisal membubarkan pengajian Ustaz Somad, Felix Siauw, Bahtiar Nasir, Syafiq Basalamah, dan semisalnya juga sangat tidak terpuji. Perebutan ruang sosial dan ruang media sosial harusnya dilakukan secara fair dan elegan.
Para ahli agama dan pemegang otoritas keagamaan dari organisasi moderat perlu melirik panggung gegap gempita ini, mengisi ruang pembanding. Jika ruang-ruang pembanding yang diisi oleh otoritas keagamaan ini hadir, maka tidak perlu risau dengan kontestasi. Dalam jangka panjang, ketika ustaz yang memiliki kapabilitas muncul, semisal Cak Nun, Gus Mus, Quraish Shihab, Nazaruddin Umar, maka masyarakat akan semakin dewasa dalam beragama dengan nilai-nilai dan karakter utama. Publik akan punya banyak pilihan dan arif di tengah keanekaragaman.
Muhammad Ridha Basri, Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Qur’an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.