Apa yang diungkapkan Ustaz Rahmat Baequni terhadap bentuk segitiga dan ‘anggapan’ mata satu di tempat pengimaman Masjid Al-Safar adalah bentuk ketakutan berlebihan terhadap ancaman Yahudi da disinyalir dapat merongrong keimanan seorang Muslim. Lalu, mengapa Ustaz RB mengaitkan bentuk ‘segitiga mata satu’ dengan iluminati, zionis, Dajjal, freemason, konspirasi, dan kaitannya dengan per-Yahudi-an?
Ternyata Ustaz Rahmat Baequni tidak sendirian, dalam sejarah Indonesia, bahkan menurut Martin van Bruinessen dalam artikelnya “Yahudi sebagai Simbol dalam Wacana Islam Indonesia Masa Kini”- sudah ada sejak masa Orde Baru. Bruinessen mengungkapkan bahwa sering kali kita menjumpai kata “Yahudi” dipakai sebagai julukan negatif bagi perkembangan, pemikiran atau sikap yang dianggap membahayakan umat Islam.
“Yahudi” telah menjadi simbol dari sesuatu yang tidak mudah diungkapkan secara eksplisit. Namun di sini, agaknya bukan hanya agama Yahudi, dan bukan juga kebijaksanaan resmi pemerintah Israel atau juga kelompok zionis ekstrim, melainkan sesuatu yang lebih abstrak. Dan hal ini yang sedang terjadi sekarang ini. Ustaz RB menakutkan adanya ancaman rongrongan keimanan dari sebuah bentuk yang dianggap simbol ilmunati. Apa yang sedang digaungkan oleh Ustaz RB kemarin menurut hemat penulis salah satunya adalah doktrin paham anti-semitisme.
Apa itu anti-semitisme?
Berawal dari kata dasarnya-Semit adalah sebuah kata sifat yang berasal dari nama Sem (Shem), salah satu dari tiga putra Nuh, atau lebih tepatnya dari turunan alih aksara Yahudi, yaitu Sem. Dalam bentuk kata benda mengacu pada seorang yang termasuk keturunan rumpun bangsa Semit (dikutip dari wikipedia). Selanjutnya semitisme dalam KBBI adalah politik yang cenderung menguntungkan orang Yahudi. Sementara anti-semitisme adalah suatu sikap permusuhan atau prasangka terhadap tindakan penganiayaan/penyiksaan terhadap agama, etnik, maupun kelompok ras, mulai dari kebencian terhadap individu hingga lembaga.
Nah, di dalam Islam sendiri tidak sulit mencari doktrin pembenaran untuk membenci Yahudi. Di dalam Alquran sendiri terdapat sejumlah ayat yang mengutuk orang Yahudi dalam konteks di Madinah, salah satunya yaitu Q.S. al-Baqarah [2]: 120:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Ayat ini seringkali dipakai untuk mencurigai dan membenci kaum Yahudi. Sering kali juga ayat ini dijadikan legitimasi seolah-olah menjadi bagian esensial dari Islam. Ayat tersebut juga sering kali dipukul rata ditujukan oleh seluruh Yahudi dan Nasrani, padahal konteks turunnya ayat tersebut ditujukan untuk Yahudi Madinah dan Nasrani Najran.
Di Indonesia sendiri paham anti-semitisme sudah ada sejak era Orde Baru. Masih dalam penelitian Bruinessen, anti-semitisme muncul di Indonesia tepatnya setelah Suharto tidak pernah mengijinkan para pemimpin Masyumi memegang peran penting lagi dalam dunia politik. Tak mau diam begitu saja, akhirnya mereka banting stir mengubah diri menjadi organisasi dakwah-Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. DDII ini dalam berdakwah berkiblat pada metode dakwah Ikhwanul Muslimin.
Dari sini DDII kita bisa melihat bahwa secara terang-terangan mencerminkan bentuk konservatif dan noefundamentalis Islam. DDII bergerak lebih jauh lagi yaitu kepada sikap puritanisme-membersihkan ritual dan kepercayaan dari segala unsur yang tidak berasal dari Alquran dan hadis. Mereka tidak menerima praktik-praktik tradisional maupun penafsiran liberal. Bahkan mereka semakin bergeser lagi ke arah pandangan Hanbali-Wahabi yang menjadi sponsor mereka.
Kaitannya dengan anti-semitisme, DDII dengan pemikiran dan wacananya menyebarkan paham anti-semitisme yang sangat keras. Meskipun di Indonesia pada waktu itu tidak ada populasi Yahudi selain segelintir keluarga keturunan Eropa atau Yahudi Usmaniah, namun tetap tidak mencegah penyebaran anti-semit.
Jika flashback memang benar ada kata-kata bijak, “sejarah pasti akan berulang, hanya saja menampakkan dalam bentuk yang berbeda, sosok dan setting yang berbeda. Namun masih dengan esensi dan pembelajaran yang sama.”