Bagaimana sebenarnya kata kafir? Dari segi bahasa, kafir berasal dari kata ka fa ra yang berarti menutup. Allah menutupi dosa hamba-hambanya, atau membatalkan sangsi atas suatu pelanggaran, itu juga dapat disebut dengan kata: kaffara. Menutupi dosanya.
“Bahkan jika ada seorang petani yang menggali tanah untuk ditanami benih lalu ditutupnya kembali tanah tersebut, itu pun dari segi bahasa bisa dinamakan kafir”, jelas Prof. Quraish Syihab dalam satu video di kanal youtube Najwa Shihab.
Lebih lanjut Prof. Quraish menjelaskan, bila ditinjau dari sisi agama, kata kafir juga memiliki berbagai arti. Pada umumnya kafir disematkan kepada seseorang yang menutupi dirinya dari kebenaran atas keesaan Allah dan agama, padahal ia mengetahui kebenaran tersebut. Terhadap sesorang yang tertutup dari kebenaran lantaran ia tidak memiliki informasi yang cukup, ini pun juga disebut sebagai kafir.
Pengertian kafir juga disandarkan kepada seseorang yang percaya pada ajaran agama, namun ia tidak melaksanakan kewajiban yang diemban, sehingga ia tertutup dari apa yang diperintahkan Allah. Al-Quran juga menyebutnya demikian.
Najwa Shihab sebagai pemandu dalam dialog tersebut lalu bertanya: Jadi bila ada Muslim yang tidak shalat, ia pun bisa disebut kafir?
Menurut Prof. Quraisy, seorang yang kikir pun, karena menutupi harta dengan kekirannya itu, juga bisa dinamakan kafir. Akan tetapi beliau mengingatkan, “Yang buruk ialah mencap seseorang dengan sebutan kafir sebelum terkumpul hampir semua bukti tentang kekufurannya”.
Mengutip pendapat Imam Ghazali: Kalau ada seseorang melakukan pelanggran agama dan sudah terbukti 99%. Maka jangan cap ia sebagai kafir, sebelum terbukti 100%.
Nabi bersabda:
مَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa menuduh seseorang dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak lah demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada orang yang menuduh”
Dalam video berjudul ‘Shihab & Shihab eps. 20 – Kafir’ tersebut, Najwa juga mengajukan pertanyaan: lalu bagaimana dengan anggapan yang menyatakan bahwa non muslim adalah kafir, sehingga ia dapat diperangi? Prof Quraisy dengan tegas menjawab: Itu salah besar.
Menurut hukum Islam, kelompok non muslim yang hidup berdampingan dengan kelompok Muslim dengan tentram dan damai, mereka dinamakan sebagai kafir dzimmi. Yaitu golongan non muslim yang berhak mendapat jaminan rasa aman.
Nabi bersabda:
“Barangsiapa yang memusuhi atau menganiaya seorang kafir dzimmi maka aku lah musuhnya”.
Allah juga menyatakan:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.
Jadi di dalam Islam, tidak ada perintah untuk berperilaku tidak adil, bahkan kepada non muslim sekalipun. Allah memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menganut apa yang diyakininya, karena Allah memberi kebebasan nurani kepada setiap orang.
“Dan masing-masing akan mempertanggung jawabkan perbuatannya kelak di hadapan Tuhan,” tutup Prof Quraisy.