Sebagian orang menganggap memakai celana cingkrang bagian dari sunnah Nabi. Bahkan, mereka menganggap orang yang menggunakan celana melebihi mata kaki masuk neraka dan shalatnya tidak sah. Tak heran bila shalat jamaah, orang yang berpandangan seperti ini, sibuk memperhatikan celana orang: apakah cingkrang atau tidak. Sebab mereka memahami urusan panjang celana berpengaruh pada keabsahan shalat.
Merespons masalah ini, Ustadz Arrazy Hasyim dalam pengajiannya mengatakan celana cingkrang tidak ada pada masa Nabi. Yang ada hanya sarung cingkrang. Sebab redaksi hadisnya berbunyi, “Man jarra idzarahu atau tsaubahu”. Idzar atau tsaub dalam hadis ini maknanya adalah sarung. Karenanya, seluruh ulama, kata Ustadz Arrazy, sepakat menyatakan bahwa Nabi pakai sarung, bukan pakai celana.
Kenapa Nabi pakai sarung? Rasulullah memakai pakaian yang lazim digunakan orang pada masa itu. Beliau tidak menggunakan pakaian yang berbeda dengan kaumnya. Malah dalam sebagian riwayat dikatakan bahwa memakai pakaian yang berbeda dengan mayoritas penduduk termasuk bagian dari libas al-syuhrah, yang diharamkan dalam Islam. Karena kebanyakan orang pada masa itu memakai sarung, makanya Nabi pakai sarung.
Abu Bakrah, dalam riwayat al-Bukhari, menyaksikan pada suatu hari Nabi SAW keluar rumah menggunakan sarung. Ujung sarungnya menjulur hingga mata kaki. Artinya, beliau tidak memakai sarung cingkrang. Bahkan, Nabi SAW memakai sarung itu ketika shalat. Kalau memang dikatakan pakai sarung atau celana melebihi mata kaki masuk neraka atau shalatnya tidak sah, pasti Nabi tidak mau melakukan.
Maka dari itu, hadis larangan sarung atau celana cingkrang perlu dipahami secara utuh, tidak sepotong-potong. Memang ada larangan memakai sarung cingkrang, tapi di situ ada alasannya, yaitu bila timbul kesombongan dalam hati. Kalau tidak ada rasa sombong dalam hati, para ulama membolehkan menggunakan sarung atau celana melebihi mata kaki.